Wednesday, November 19, 2025
HomeBeritaOPINI - Gaza milik Palestina, bukan properti Barat

OPINI – Gaza milik Palestina, bukan properti Barat

Oleh: Ranjan Solomon

Pemungutan suara terbaru di Dewan Keamanan PBB terkait Gaza—di mana Rusia dan China secara tegas abstain sementara negara-negara Barat sekali lagi mencoba mengatur hasilnya—menjadi momen yang mungkin kelak dicatat sejarah sebagai pergeseran yang halus namun menentukan. Bukan karena resolusi itu sendiri mengubah fakta di lapangan. Tidak. Gaza tetap hancur, rakyat Palestina tetap berada di bawah cengkeraman kekuatan pendudukan yang tak terkendali, dan Washington tetap berperan sebagai penjaga global dari impunitas Israel.

Yang membuat pemungutan suara ini penting adalah karena hal itu memperlihatkan sesuatu yang lama ditutupi Barat: bahwa rakyat Palestina tidak lagi menerima, dan dunia tidak lagi percaya, gagasan bahwa Gaza adalah wilayah yang perlu dikelola, diadministrasikan, “distabilkan,” atau direkonstruksi oleh penguasa eksternal—dengan dalih kebaikan. Bukan oleh Amerika Serikat. Bukan oleh Eropa. Bukan oleh cetak biru Trump–Netanyahu yang dibungkus bahasa kemanusiaan. Bahkan tidak oleh institusi internasional yang menganggap diri mereka netral tetapi pada kenyataannya mempertahankan status quo.

Era ketika Kekuatan Besar bisa begitu saja menunjuk diri mereka sebagai penjaga Palestina, menentukan siapa yang memerintah Gaza dan bagaimana, kini sedang mencapai puncaknya. Pemungutan suara itu memperlihatkan kelelahan dari sandiwara imperial ini. Gaza bukanlah protektorat. Bukan wilayah gagal yang menunggu perwalian. Bukan arena strategis untuk eksperimen Barat dalam “pemerintahan pascakonflik.” Gaza adalah tanah yang diduduki, milik rakyat yang menuntut—dan berhak atas—pemerintahan sendiri sepenuhnya.

Bersikeras bahwa rakyat Palestina memerlukan penjaga bukan hanya menipu secara politik. Secara hukum juga tidak dapat dipertahankan. Gaza bukan properti yang menunggu pemilik. Gaza bukan kekosongan geopolitik yang bisa diisi kekuatan global dengan “solusi” mereka. Gaza adalah tanah Palestina, dan menurut hukum internasional, hanya rakyat Palestina yang memiliki hak menentukan masa depannya.

Segala hal lain—rencana rekonstruksi Barat, “mekanisme keamanan,” wacana stabilisasi yang dipimpin Arab, hingga usulan menyerahkan Gaza kepada administrasi asing—hanya bungkus tipis dari proyek lama yang sama: menolak kedaulatan Palestina dengan kedok pengelolaan yang “bertanggung jawab.”

Pemungutan suara DK PBB dan mitos penjagaan netral

Barat sangat ingin mengesahkan resolusi yang melegitimasi visinya soal “hari esok” Gaza—visi yang secara kasar telah diungkap Trump dan Netanyahu, yaitu bahwa Gaza harus dikontrol, dipecah, dan diarahkan oleh pihak lain selain rakyat yang tinggal di sana. Bahasa resolusi itu berusaha menyelundupkan gagasan bahwa Gaza membutuhkan transisi yang diawasi secara ketat, dengan aktor Palestina “yang dapat diterima” yang diseleksi oleh Israel dan Amerika Serikat.

Rusia dan China abstain bukan karena acuh tak acuh, tetapi untuk menegaskan hal yang jelas: resolusi ini tidak pernah soal penentuan nasib sendiri rakyat Palestina. Ini soal menciptakan persetujuan bagi struktur pemerintahan yang dirancang eksternal. Dengan menahan dukungan mereka, Moskow dan Beijing menunjukkan bahwa upaya Barat memaksakan tatanan penjagaan atas Gaza tidak memiliki legitimasi.

Yang lebih penting, masyarakat Palestina sendiri telah membuat proposal semacam itu usang. Di Gaza, Tepi Barat, maupun diaspora, pesannya jelas: tidak ada lagi wali, tidak ada lagi penjaga, tidak ada lagi pihak ketiga yang menentukan kehendak rakyat Palestina.

Hukum internasional jelas: Gaza bukan milikmu untuk diperintah

Berdasarkan Konvensi Jenewa Keempat dan prinsip inti Piagam PBB, hak rakyat yang berada di bawah pendudukan bukanlah untuk diadministrasikan pihak ketiga, melainkan untuk menjalankan penentuan nasib sendiri secara nasional. Setiap “otoritas transisi” yang dipaksakan kekuatan asing—seberapa pun lembut bahasa kemanusiaannya—melanggar prinsip ini.

Status Gaza jelas:

  • Israel adalah kekuatan pendudukan.

  • Pendudukan itu ilegal.

  • Blokade merupakan hukuman kolektif.

  • Hak pemerintahan sendiri sepenuhnya berada di tangan rakyat Palestina, bukan koalisi internasional yang mengaku bertindak atas nama mereka.

Upaya Barat berulang kali merancang arsitektur administrasi Gaza bukanlah proposal; itu pelanggaran hukum yang dibungkus bahasa diplomatis. Bahkan penekanan bahwa Gaza harus dikelola oleh “institusi Palestina yang direformasi” dan diseleksi oleh kekuatan Barat adalah pelanggaran prinsip dasar penentuan nasib sendiri.

Konfigurasi politik pemerintahan Palestina sepenuhnya domain rakyat Palestina. Bukan Tel Aviv. Bukan Washington. Bukan Brussel. Dan tentu saja bukan bekas kekuatan kolonial yang masih bergulat dengan kenyataan bahwa era mereka telah berakhir.

Gaza bukan properti

Barat masih berbicara tentang Gaza seolah-olah itu masalah properti. Tempat untuk direkonstruksi, diadministrasikan, diamankan, dibatasi, atau disewakan. Ruang untuk didesain ulang melalui “paket pembangunan” dan “pakta keamanan.” Namun Gaza bukan zona manajemen krisis—ia merupakan salah satu komunitas Palestina tertua dan terpenting. Gaza, secara faktual, adalah entitas sejarah yang telah dihuni secara terus-menerus selama lebih dari 4.000 tahun, berfungsi sebagai pusat perdagangan vital dan persimpangan peradaban antara Mesir dan Levant.

Bagi Barat, berpikir dalam kerangka properti terasa alami. Tanah adalah milik. Milik adalah kekuasaan. Kekuasaan dimiliki mereka yang mampu menegakkannya. Ini adalah konsep kapitalis tentang hak atas tanah dan penyewa.

Bagi rakyat Palestina, paradigma ini sangat berbeda. Tanah adalah memori, kepemilikan, dan hak untuk eksis sebagai suatu bangsa. Gaza menyimpan sejarah hidup pengusiran: keluarga-keluarga yang berakar di desa-desa yang kini menjadi bagian dari Israel, membawa trauma Nakba, memegang kunci rumah yang mereka diusir secara paksa. Gaza bukan unit administrasi. Ia adalah jantung kehidupan bangsa Palestina.

Inilah alasan setiap upaya mempartisi, merehabilitasi, menginternasionalisasi, atau menugaskan ulang Gaza selalu gagal. Karena Palestina bukan masalah manajerial—ia adalah persoalan nasional. Barat terus mencoba mengatur tanah, sementara rakyat Palestina menegaskan haknya mengatur diri sendiri.

Mengapa Barat tidak bisa memerintah Gaza

Kegagalan Barat bukan sekadar moral. Ia bersifat struktural. Rekam jejaknya di Timur Tengah adalah rangkaian bencana yang berakar pada asumsi patronizing yang sama: bahwa Arab dan Muslim membutuhkan bimbingan, pengawasan, dan disiplin dari kekuatan “maju.”

Di Irak, Afghanistan, Libya, dan Lebanon, penjagaan asing justru merusak lebih banyak daripada membangun. Namun Gaza kasusnya lebih nyata. Selama puluhan tahun, negara-negara Barat membiayai blokade, melindungi Israel dari akuntabilitas, mempersenjatai pendudukan, dan memfitnah ekspresi politik Palestina. Mereka bukan aktor netral. Mereka adalah rekan arsitek dari bencana ini.

Seorang penjaga tidak bisa sekaligus menjadi pendukung penindasan. Klaim Barat atas pemerintahan yang “bermanfaat” tidak kompatibel dengan dukungan mereka selama puluhan tahun atas dominasi Israel terhadap kehidupan Palestina. Jika Barat benar-benar menginginkan Gaza bebas, aman, dan stabil, mereka akan berhenti mempersenjatai negara yang membom warganya, meratakan rumah sakit, menahan pangan anak-anaknya, dan menghancurkan lingkungan mereka. Sebaliknya, Barat menawarkan proposal “administrasi bertanggung jawab” yang diharapkan diterima rakyat Palestina dengan syukur.

Tidak ada rakyat yang diduduki dalam sejarah yang menerima syarat semacam itu—dan rakyat Palestina tidak akan menjadi yang pertama.

Pemerintahan sendiri Palestina bukanlah aspirasi; ia adalah keniscayaan. Barat, dengan kecanggihan yang kasar, masih bertindak seolah kedaulatan Palestina adalah hak istimewa yang bisa diberikan ketika Palestina telah “matang” menjadi aktor politik yang diterima. Pandangan ini adalah peninggalan kolonialisme. Logika yang sama digunakan Inggris di Mandat Palestina, dengan dalih bahwa rakyat Palestina belum mampu memerintah tanah yang telah mereka huni selama berabad-abad.

Sejarah terus menegaskan dirinya. Setiap pemberontakan, setiap gelombang perlawanan, setiap penegasan identitas nasional adalah pengingat bahwa rakyat Palestina tidak meminta izin untuk eksis sebagai bangsa. Mereka menegaskannya sebagai hak. Pemungutan suara DK PBB mungkin tidak menghadirkan pembebasan, tetapi mengungkap kebenaran yang lebih dalam: dunia tidak lagi yakin dengan narasi Barat tentang ketidakmampuan Palestina. Konsensus global yang berkembang mengakui bahwa Gaza tidak bisa diperintah oleh kekuatan eksternal karena kekuatan eksternal itu sendiri bertanggung jawab atas kehancuran.

Dari Perwalian Menuju Pembebasan: Pergeseran Sudah Terjadi

Dunia berubah. Generasi muda di berbagai benua menolak narasi kolonial lama. Kepemimpinan Afrika Selatan, negara-negara Amerika Latin, blok-blok Afrika, aliansi Asia—semua semakin berbicara dengan bahasa yang ingin dihapus Barat: bahasa keadilan anti-kolonial.

Gaza bukan krisis kemanusiaan yang harus dikelola. Ia adalah perjuangan pembebasan yang harus diakui. Inilah sebabnya visi Trump–Netanyahu tentang masa depan Gaza—yang berupa zona terkendali, enclave demiliterisasi, dan gubernur yang ditunjuk pihak eksternal—sudah mati sebelum dimulai. Hanya mereka yang salah memahami situasi saat ini yang masih percaya rakyat Palestina akan menerima pengaturan semacam itu.

Pemungutan suara DK PBB tidak menyelesaikan perjuangan. Namun, hal itu memperlihatkan batas-batas penjagaan Barat dan keteguhan tekad rakyat Palestina. Kotak peralatan imperial sudah kosong. Apa pun yang tersisa, tidak bernilai dan usang. Bahasa perwalian telah kehilangan legitimasi. Rakyat Palestina membuat jelas bahwa masa depan Gaza tidak akan dinegosiasikan di atas kepala mereka—ia akan dibentuk oleh tangan mereka sendiri.

Dunia tidak bisa memerintah Gaza. Barat tidak bisa menstabilkan Gaza. Israel tidak bisa mendesain ulang Gaza. Tidak ada koalisi internasional yang bisa mengadministrasi Gaza tanpa menjadi bagian dari mesin yang menolak kedaulatan Palestina.

Masa depan Gaza adalah milik rakyat Palestina—bukan sebagai konsesi, tetapi sebagai hak yang berakar pada sejarah, hukum, dan kelangsungan bangsa yang tidak bisa dihapus. Tidak ada lagi penjaga. Tidak ada lagi perantara. Tidak ada lagi wali.

Rakyat Palestina akan memerintah Gaza—karena Gaza adalah Palestina, dan Palestina milik rakyatnya.

Ranjan Solomon dari Goa, India, adalah seorang komentator politik dan advokat hak asasi manusia dengan komitmen jangka panjang terhadap pluralisme budaya, kerukunan antarumat beragama, dan keadilan sosial. Ia memperjuangkan hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasib mereka sendiri, bebas dari narasi hegemonik. Ia dapat dihubungi di [email protected]. Tulisan ini diambil dari opininya di Middle East Monitor.

Pizaro Idrus
Pizaro Idrus
Kandidat PhD bidang Hubungan Internasional Universitas Sains Malaysia. Peneliti Asia Middle East Center for Research and Dialogue
ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler