Warga Palestina di Jalur Gaza menyambut dengan penuh keraguan resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang memberi mandat pemerintahan asing dan pengerahan pasukan internasional di wilayah yang porak-poranda akibat perang.
Setelah lebih dari dua tahun serangan intensif Israel, sebagian besar dari 2,3 juta penduduk Gaza kini mengungsi di wilayahnya sendiri dan kekurangan kebutuhan dasar seperti pangan, tempat tinggal, listrik, serta pelayanan kesehatan.
Banyak warga sebelumnya berharap PBB dapat membantu meringankan krisis kemanusiaan yang kian memburuk. Namun, menurut warga Gaza Abu Malek Jerjawi, resolusi Dewan Keamanan PBB (DK PBB) yang dirancang Amerika Serikat justru menunjukkan bahwa kebutuhan kemanusiaan belum menjadi prioritas utama.
“Dewan Keamanan seharusnya memprioritaskan rekonstruksi dan percepatan bantuan kemanusiaan,” ujarnya kepada Middle East Eye. “Lebih dari satu juta orang membutuhkan tempat tinggal, sementara suplai dasar masih diblokir Israel.”
Ia menilai resolusi tersebut “sangat mengecewakan” karena mengaitkan pemulihan kemanusiaan dengan persyaratan politik. “Menyamakan rekonstruksi dengan proses pelucutan senjata adalah sebuah bencana,” tambahnya.
Mandat Baru untuk Gaza
Resolusi DK PBB 2803 yang diadopsi pada Senin lalu memberi dukungan atas pembentukan badan pemerintahan transnasional yang dipimpin Presiden Donald Trump dan pembentukan pasukan internasional untuk memastikan “proses demilitarisasi Gaza” serta penonaktifan permanen senjata kelompok bersenjata.
Resolusi itu memberi wewenang pada pasukan internasional untuk “menggunakan semua langkah yang diperlukan” dalam menjalankan mandatnya.
Keterkaitan antara bantuan kemanusiaan dan persyaratan politik memicu kekhawatiran bahwa pemulihan bagi lebih dari dua juta warga Gaza akan terhambat oleh tuntutan yang sulit dicapai dalam waktu dekat.
Citra satelit yang dirilis Pusat Satelit PBB (UNOSAT) menunjukkan bahwa, hingga Oktober, sekitar 81 persen bangunan di Gaza hancur atau rusak akibat perang. Total 198.273 struktur terdampak, termasuk lebih dari 123.000 bangunan yang hancur total.
Kini sebagian besar warga Gaza hidup di tempat penampungan darurat seperti tenda, sekolah, dan rumah-rumah yang rusak berat.
“Suara Kami Tidak Dianggap Penting”
Warga Gaza lainnya, Nermin Basel, mengatakan bahwa ia hanya bisa mempercayai rencana internasional jika menjamin hak para pengungsi untuk kembali.
“Pergi bukan pilihan kami. Tinggal berarti mati,” kata ibu tiga anak itu. “Setiap rencana perdamaian harus memastikan kami dapat kembali. Jika tidak, bagaimana kami bisa percaya bahwa perdamaian itu untuk kami?”
Sebelum penutupan sisi Gaza di perbatasan Rafah oleh Israel pada Mei 2024, diperkirakan 100.000–115.000 warga Gaza meninggalkan wilayah itu sejak perang dimulai pada Oktober 2023.
Rencana 20 poin yang diumumkan Trump pada September 2025 bersama Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dikritik karena tidak melibatkan warga Palestina dan dinilai mengikis hak mereka atas tanah.
“Rencana itu tidak membawa keadilan atau perdamaian,” kata Basel. “Mengumumkan rencana tanpa suara kami seolah menunjukkan bahwa kami tidak penting.”
Kekhawatiran Pasukan Internasional
Jerjawi menilai resolusi tersebut berpotensi menciptakan ketegangan baru. Ia khawatir pembentukan pasukan internasional justru dapat memicu konflik, bukan meredakannya.
Faksi-faksi bersenjata Palestina, termasuk Hamas, menolak resolusi tersebut. Hamas menegaskan tidak akan melucuti senjata karena “perlawanan terhadap pendudukan adalah hak yang dijamin hukum internasional”.
Kelompok itu mengatakan bahwa persenjataan mereka “terikat pada keberlanjutan pendudukan”, dan bahwa isu pelucutan senjata hanya dapat dibahas sebagai bagian dari proses politik yang menjamin berakhirnya pendudukan, pembentukan negara, dan penentuan nasib sendiri bagi rakyat Palestina.
“Saya selalu memahami bahwa PBB dan Dewan Keamanan bertujuan mendorong keamanan dan perdamaian,” kata Jerjawi. “Namun, mandat yang diberikan kepada pasukan ini bisa saja justru memperpanjang perang.”


