Sunday, November 23, 2025
HomeBeritaIsrael batalkan aksi protes pengungsi Sudan atas dukungan UEA kepada RSF

Israel batalkan aksi protes pengungsi Sudan atas dukungan UEA kepada RSF

Polisi Israel membatalkan dua aksi unjuk rasa yang direncanakan para pengungsi Sudan untuk memprotes kekejaman yang terjadi di Sudan oleh kelompok paramiliter Rapid Support Forces (RSF).

Salah satu aksi direncanakan berlangsung di depan Kedutaan Uni Emirat Arab (UEA) di Herzliya, kota di utara Tel Aviv. Demonstrasi itu dimaksudkan untuk menyoroti dukungan UEA kepada RSF, yang dituduh melakukan genosida di Sudan.

Menurut laporan Haaretz, pada Selasa polisi memberi tahu penyelenggara bahwa aksi di depan kedutaan “dengan tingkat kepastian tinggi dapat menyebabkan kerusakan serius terhadap keamanan negara dan ketertiban umum”.

Asosiasi untuk Hak Sipil di Israel kemudian mengajukan petisi ke Mahkamah Agung agar keputusan tersebut dibatalkan. Namun, setelah para hakim menerima posisi Dewan Keamanan Nasional yang menyatakan bahwa aksi itu dapat merugikan hubungan luar negeri dan keamanan Israel, petisi ditarik dan keputusan polisi pun tetap berlaku.

Salah satu pengungsi Sudan, Anwar Suliman, mengatakan kepada Middle East Eye bahwa mereka telah mengajukan izin untuk menggelar aksi pada 20 November. Tidak lama kemudian, polisi menolak memberikan otorisasi sehingga ia meminta bantuan asosiasi tersebut.

“Kami ingin memprotes di depan Kedutaan UEA di Herzliya karena dukungan mereka terhadap apa yang terjadi di Sudan,” kata Suliman. Ia menambahkan bahwa mereka juga merencanakan acara peringatan di Tel Aviv, termasuk menyalakan lilin bagi para korban RSF, namun polisi membatalkan rencana itu.

Pada Rabu, polisi menyatakan acara peringatan tersebut juga dapat membahayakan hubungan luar negeri dan keamanan nasional. Mereka melarang komunitas pengungsi Sudan berkumpul di sebuah taman di Tel Aviv.

Menurut Suliman, pembatalan itu dilakukan agar “tidak ada demonstrasi atau tanda protes terhadap UEA”. Ia menuduh UEA meminta Israel mencegah aksi tersebut dan menyatakan kekhawatiran bahwa “Israel sedang melakukan hal-hal kotor dengan mereka”.

MEE sebelumnya melaporkan bahwa UEA memberikan dukungan logistik dan militer yang signifikan kepada RSF. Sejak perang di Sudan pecah pada April 2023, RSF dituduh melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk dugaan genosida terhadap komunitas Masalit.

Tuntutan untuk menggelar aksi di depan Kedutaan UEA meningkat setelah RSF, yang didukung UEA, merebut kota el-Fasher di Darfur pada 26 Oktober. Kota berpenduduk 260.000 jiwa itu berada dalam pengepungan selama 18 bulan sebelum diserang. Kesaksian yang muncul menunjukkan terjadinya pembunuhan massal, kekerasan seksual, dan pengusiran warga sipil. Gubernur Darfur, Minni Arko Minnawi, mengatakan kepada MEE bahwa 27.000 warga tewas dalam tiga hari pertama serangan.

Suliman mengatakan bahwa komunitas mereka tidak akan menyerah. “Media Israel tidak memberitakan pembantaian di Sudan,” ujarnya, seraya menambahkan bahwa “hanya Haaretz yang mau menyentuh isu ini”.

Menurut data Kementerian Dalam Negeri Israel per September 2025, terdapat 1.845 pencari suaka Sudan di Israel. Pada 2000-an, ribuan warga Sudan tiba di negara itu, namun pemerintah mengategorikan mereka sebagai “penyusup”. Hanya beberapa ratus yang akhirnya memperoleh status sementara setelah proses hukum panjang, sementara lainnya dideportasi ke negara ketiga melalui program “keberangkatan sukarela”.

Pada 2012, protes menentang keberadaan pengungsi Sudan sempat terjadi di Israel. Saat itu, anggota Knesset dari Likud, Miri Regev—kini Menteri Transportasi—menyebut warga Sudan sebagai “kanker dalam tubuh kami”.

Pada 2018, mereka yang menolak meninggalkan Israel ditempatkan di pusat detensi Holot, sebelum program itu dibatalkan oleh Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.

Laporan Hotline for Refugees and Migrants menyebut bahwa Israel menempatkan berbagai hambatan terkait pekerjaan, perumahan, dan layanan kesehatan bagi para pencari suaka. Para pejabat publik juga kerap menggambarkan mereka sebagai pelaku kriminal atau penyebar penyakit berdasarkan stereotip rasial, meskipun jumlah mereka kurang dari seperempat persen populasi Israel. Mereka bahkan kerap dianggap sebagai ancaman demografis dan keamanan.

Pizaro Idrus
Pizaro Idrus
Kandidat PhD bidang Hubungan Internasional Universitas Sains Malaysia. Peneliti Asia Middle East Center for Research and Dialogue
ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler