Sunday, November 23, 2025
HomeBeritaKesepakatan Gas Israel–Mesir terancam gagal akibat ketegangan di Gaza-Sinai

Kesepakatan Gas Israel–Mesir terancam gagal akibat ketegangan di Gaza-Sinai

Kesepakatan besar terkait ekspor gas alam Israel ke Mesir terancam kolaps di tengah perselisihan politik internal Israel serta meningkatnya ketegangan dengan Kairo terkait situasi di Gaza dan Sinai.

Hal itu disampaikan sejumlah pejabat senior di Kementerian Perminyakan Mesir dan para pakar industri energi.

Perjanjian senilai 35 miliar dollar AS itu seharusnya memasok 130 miliar meter kubik gas hingga 2040, namun kini mandek hanya beberapa hari sebelum batas implementasi pada 30 November.

Sumber tingkat tinggi di Kementerian Perminyakan Mesir mengatakan kepada Al-Araby Al-Jadeed bahwa pasokan gas Israel saat ini berada di kisaran 850 juta hingga 1 miliar kaki kubik per hari, sesuai perjanjian 2019.

Namun, Israel belum memenuhi komitmen peningkatan pasokan sebagaimana diatur dalam kesepakatan pembaruan Juli 2025, yang menargetkan kenaikan menjadi 1,3 miliar kaki kubik per hari pada akhir 2025, 1,6 miliar pada musim semi 2026, dan 1,8–2 miliar pada musim panas.

Menurut sumber tersebut, Israel sebelumnya mengaitkan rendahnya pasokan dengan masalah teknis yang telah diselesaikan pada Oktober lalu.

Namun, pemerintah Israel sejak itu—dengan dukungan sejumlah komite Knesset—menunjukkan niat untuk membekukan perluasan kesepakatan tersebut akibat perbedaan politik dengan Mesir terkait Gaza, kehadiran militer Mesir di Sinai, dan isu harga di masa depan.

Perusahaan yang mengoperasikan ladang gas Leviathan, sumber utama kesepakatan, terus mendorong implementasi perjanjian. Namun indikator pasar Mesir dan langkah pemerintah terbaru menunjukkan bahwa Kairo bersiap menghadapi penurunan pasokan gas Israel secara tajam—bahkan kemungkinan penghentian sebagian hingga musim panas 2026.

Pekan ini, otoritas perminyakan Mesir mengeluarkan tender pembelian tiga kargo LNG spot untuk pengiriman November. LNG itu akan diregasifikasi di Alexandria dan Ain Sokhna sebelum dialirkan ke jaringan nasional.

Data kementerian menunjukkan adanya kesepakatan dengan perusahaan Saudi, Prancis, Belanda, dan Azerbaijan untuk memasok 20 kargo LNG sebelum akhir tahun, serta kontrak 125 kargo LNG untuk 2026 dari lebih dari 70 pemasok.

Pakar energi Hossam Arafat mengatakan Israel dapat membatalkan kesepakatan perluasan tanpa penalti finansial karena sifatnya masih berupa “nota kesepahaman yang tidak mengikat”. Ia menegaskan bahwa “kesepakatan itu belum berlaku.”

Ia menambahkan bahwa pembatalan tidak akan memengaruhi perjanjian 2019, yang memungkinkan pasokan hingga 1 miliar kaki kubik per hari hingga 2035, meski perjanjian itu sendiri telah beberapa kali terganggu akibat kondisi kahar, termasuk perang Israel di Gaza dan serangan balasan Iran ke Tel Aviv.

Arafat menilai pemerintahan Benjamin Netanyahu menjadikan kesepakatan ekonomi itu sebagai “alat permainan politik” untuk bertahan di kekuasaan dan menghindari proses hukum atas tuduhan korupsi dan kegagalan keamanan.

Ia juga menyebut tekanan kelompok sayap kanan Israel telah menghambat kesepakatan dan mempertahankan agresi di Gaza serta memicu ketegangan dengan Mesir demi keuntungan politik dalam negeri.

Meski demikian, ia menyebut Israel tidak dapat menghentikan seluruh ekspor gas ke Mesir karena tekanan dari mitra ladang Leviathan, termasuk Chevron yang memiliki 39,66 persen saham, serta NewMed Energy dan Ratio.

Perusahaan-perusahaan tersebut optimistis dapat mengekspor 130 miliar meter kubik gas ke Mesir hingga 2040 dan memperoleh 20 miliar dollar AS, mengingat tidak ada rute ekspor alternatif selain melalui jaringan Mesir atau dipakai untuk konsumsi domestik—yang dinilai akan membuang investasi senilai 15 miliar dollar AS.

Arafat mengatakan para mitra Leviathan memberi tenggat hingga 30 November bagi pemerintah Israel untuk mendapatkan persetujuan Kementerian Energi terkait perluasan kapasitas dan otorisasi pembangunan pipa darat menuju perbatasan Mesir. Ia memperingatkan bahwa kegagalan pemerintah Israel memenuhi tenggat itu dapat mengancam investasi dan menghentikan ekspor selama bertahun-tahun.

Ia menambahkan bahwa tekanan dari Menteri Energi Amerika Serikat, yang mendukung kesepakatan tersebut, kemungkinan akan mendorong Israel menerima perluasan karena negara itu tidak memiliki fasilitas pencairan gas seperti Mesir yang memungkinkan ekspor ulang ke Eropa.

Seorang pejabat sektor gas Mesir menyebut wacana Israel mengekspor gas ke Siprus atau Eropa melalui Yunani sebagai “tidak logis” karena membutuhkan infrastruktur bernilai hingga 10 miliar dollar AS dengan tingkat pengembalian yang “sangat rendah”. Ia menyebut wacana tersebut sebagai “aksi media”.

Menurut pejabat itu, keengganan kepresidenan Mesir menanggapi ancaman Israel mencerminkan keinginan untuk tidak memberi Netanyahu “panggung politik”. Menurut dia, jika ancaman itu dilaksanakan, hal tersebut justru akan memperlihatkan kepada dunia ketidakmampuan Israel memenuhi komitmen dagangnya.

Pizaro Idrus
Pizaro Idrus
Kandidat PhD bidang Hubungan Internasional Universitas Sains Malaysia. Peneliti Asia Middle East Center for Research and Dialogue
ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler