Monday, November 24, 2025
HomeBeritaPeneliti Israel: Universitas Israel aktor kunci dalam kejahatan sistemik terhadap warga Palestina

Peneliti Israel: Universitas Israel aktor kunci dalam kejahatan sistemik terhadap warga Palestina

Peneliti antropologi Israel, Maya Wind, menyoroti keterlibatan mendalam universitas Israel dalam menopang proyek kolonialisme Zionis dan memperkuat sistem apartheid terhadap warga Palestina.

Temuan Wind, yang dipublikasikan dalam wawancaranya dengan Mediapart, memberi landasan tambahan bagi seruan pemboikotan akademik terhadap institusi pendidikan tinggi Israel.

Wind menegaskan bahwa sejak awal pendiriannya, universitas-universitas di Israel diberi mandat untuk menjadi bagian integral dari pembangunan aparatus represif negara.

Institusi-institusi itu, menurutnya, tidak pernah dirancang sebagai ruang akademik netral, melainkan sebagai instrumen yang mendukung “yahudisasi”.

Kebijakan yang mendorong kolonisasi, perluasan permukiman, dan pendudukan ruang hidup Palestina.

Dalam wawancara tersebut, jurnalis Younès Abzouz mengingatkan bagaimana gerakan mahasiswa di berbagai kampus Barat menyerukan pemutusan hubungan akademik dengan universitas Israel.

Melalui bukunya Towers of Ivory and Steel: How Israeli Universities Deny Palestinian Freedom, Wind berupaya menyusun dasar ilmiah dan moral bagi tuntutan boikot tersebut.

Contoh keterlibatan yang lebih jelas

Bersandar pada arsip militer Israel dan dokumen internal universitas, Wind menjelaskan bahwa lokasi kampus-kampus tersebut dipilih secara strategis di wilayah Palestina—baik di dalam perbatasan 1948 maupun di tanah-tanah yang diduduki pada 1967.

Penempatan itu, katanya, bertujuan memperkuat kontrol demografis dan mendukung pertumbuhan permukiman.

Ia mencontohkan Universitas Ben-Gurion di Negev, yang dibangun untuk mendorong perluasan permukiman Yahudi di selatan dan mendorong perpindahan paksa warga Badui Palestina.

Contoh lain adalah Universitas Haifa di Galilea, universitas Ibrani dan Universitas Ariel di Tepi Barat—seluruhnya memiliki fungsi memperkuat integrasi pemukiman ilegal dan memperluas aneksasi de facto.

Wind, yang kini menetap di Kanada, juga menggambarkan hubungan historis antara kampus dan industri militer Israel.

Banyak kapasitas riset militer tumbuh dari laboratorium universitas; sejumlah perusahaan senjata besar bahkan berakar dari riset akademik.

Hingga kini, kerja sama keduanya berlangsung erat, mulai dari pengembangan teknologi sampai pelatihan rutin bagi perwira militer.

Menurut Wind, universitas turut berperan dalam menyediakan pembenaran hukum atas berbagai kebijakan pendudukan—salah satu bentuk keterlibatan paling jelas dalam reproduksi sistem apartheid.

Wind mencatat bahwa setelah peristiwa 7 Oktober, dukungan universitas terhadap militer meningkat pesat.

Sejumlah kampus memberikan berbagai kemudahan bagi mahasiswa yang sedang bertugas—mulai dari beasiswa khusus hingga akses pinjaman bank—agar mereka dapat tetap melanjutkan pendidikan sambil berperang di Gaza.

Di saat yang sama, tindakan represif terhadap mahasiswa dan akademisi Palestina justru meningkat.

Beberapa mahasiswa ditangkap karena unggahan di media sosial, sementara akademisi hukum terkemuka, Prof. Nadera Shalhoub-Kevorkian, sempat ditahan karena komentar yang berkaitan dengan penelitiannya mengenai apa yang ia sebut “genosida di Gaza”.

Laboratorium teknik militer di Universitas Tel Aviv, tambah Wind, terus mengembangkan teknologi yang langsung digunakan pasukan Israel di Gaza.

Inovasi itu kemudian dipamerkan sebagai bukti “keunggulan militer Israel”.

Institusi, bukan individu

Terkait seruan boikot akademik internasional, Wind menegaskan bahwa yang menjadi sasaran adalah institusi, bukan individu.

Menurutnya, universitas Israel secara struktural terlibat dalam kejahatan terhadap kemanusiaan yang berkaitan dengan apartheid dan tindakan yang dikategorikan banyak pihak sebagai genosida.

Boikot, lanjutnya, dimaksudkan untuk memutus hubungan institusional dengan sistem colonial.

Sebagaimana dilakukan sejumlah universitas kulit putih di Afrika Selatan pada masa apartheid, ketika sebagian kampus memilih mengambil jarak dari rezim rasial.

Wind juga mengkritik apa yang ia sebut sebagai “hierarki rasial” dalam wacana publik.

Yaitu, kekhawatiran dunia internasional atas kemungkinan hilangnya pendanaan riset Israel, dibandingkan dengan skala kehancuran total yang dialami sektor pendidikan tinggi di Gaza akibat serangan Israel.

Dalam pandangannya, ketimpangan ini memperlihatkan bagaimana nilai kehidupan Palestina kerap dipandang lebih rendah dibandingkan kepentingan akademis negara pendudukan.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler