Kepala Angkatan Bersenjata Sudan, Abdel Fattah al-Burhan, menolak rencana gencatan senjata yang diajukan Amerika Serikat dan mediator lainnya, karena melibatkan Uni Emirat Arab (UEA).
Dalam pidato yang dirilis kantornya pada Minggu malam, al-Burhan menyebut proposal yang diajukan bulan ini oleh kelompok “Quad” – yang terdiri atas AS, UEA, Arab Saudi, dan Mesir – sebagai “yang terburuk hingga kini”.
Penolakan ini menandakan bahwa perang saudara yang mematikan antara tentara pro-pemerintah dan pasukan paramiliter Rapid Support Forces (RSF)—yang telah menewaskan puluhan ribu orang, menggusur lebih dari 14 juta warga, dan memicu krisis kemanusiaan—diperkirakan akan berlanjut.
Al-Burhan menilai proposal itu “tidak dapat diterima” karena menurutnya rencana tersebut “secara efektif menghapus keberadaan angkatan bersenjata dan melikuidasi seluruh lembaga keamanan”, sementara “milisi pemberontak tetap berada di posisinya”. Ia menegaskan Sudan menuntut agar RSF mundur dan dibatasi berada di area tertentu dalam setiap kesepakatan gencatan senjata.
Kredibilitas Quad Dipertanyakan
Al-Burhan menekankan bahwa Sudan menilai Quad tidak kredibel karena peran UEA.
“Seluruh dunia menyaksikan dukungan UEA terhadap pemberontak melawan negara Sudan,” katanya. “Jika mediasi berjalan seperti ini, kami akan menganggapnya sebagai mediasi yang berpihak.”
UEA dituding membantu RSF dengan pasokan senjata dan dana, serta memperpanjang konflik untuk kepentingan regionalnya dan akses ke emas serta sumber daya Sudan lainnya. UEA membantah tudingan tersebut, menyebutnya “stunt publikasi sinis”.
Al-Burhan juga menyoroti peran AS, khususnya Massad Boulos, seorang pengusaha asal Lebanon yang menjadi penasihat senior Presiden Donald Trump untuk urusan regional, karena dianggap dapat menghambat perdamaian akibat tudingan bahwa tentara Sudan menghalangi bantuan kemanusiaan dan menggunakan senjata kimia.
Meski demikian, al-Burhan memuji Trump dan Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman, yang menyoroti perang Sudan selama kunjungannya ke Washington pekan lalu dan mendorong upaya serius untuk mengakhirinya.
RSF bulan ini menyatakan menerima proposal Quad karena mempertimbangkan “dampak kemanusiaan yang sangat buruk” akibat perang. Rencana tersebut mencakup gencatan senjata tiga bulan yang diharapkan membuka jalan bagi solusi politik jangka panjang, termasuk pembentukan pemerintahan sipil baru.
Namun, RSF terus menguasai wilayah barat Sudan, khususnya Darfur, setelah mengambil alih kota el-Fasher dari tentara bulan lalu. Citra satelit menunjukkan anggota RSF membakar dan mengubur jenazah dalam jumlah besar, diduga untuk menutupi bukti pembunuhan massal.
Pertempuran sporadis juga masih berlangsung antara tentara dan RSF di wilayah Kordofan Tengah, sementara RSF berjanji akan segera menguasai kota strategis Babnusa di Kordofan Barat.
Sudan terjun ke dalam kekacauan pada April 2023 ketika konflik antara tentara dan RSF meledak menjadi pertempuran terbuka di ibu kota Khartoum dan daerah lain. Perang ini telah menewaskan lebih dari 40.000 orang menurut data PBB, meski kelompok bantuan kemanusiaan memperkirakan jumlah sebenarnya jauh lebih tinggi. PBB menyebut konflik ini telah memicu krisis kemanusiaan terbesar di dunia, dengan jutaan orang mengungsi dan sebagian wilayah menghadapi kelaparan.


