Monday, December 1, 2025
HomeBeritaKesaksian jurnalis Gaza ungkap penyiksaan seksual di kamp “Sde Teyman”

Kesaksian jurnalis Gaza ungkap penyiksaan seksual di kamp “Sde Teyman”

Pusat Perlindungan Jurnalis Palestina mengungkapkan kasus penyiksaan seksual berat yang dialami seorang jurnalis Gaza selama ditahan di kamp militer Israel Sde Teyman.

Dalam kesaksiannya, jurnalis yang identitasnya dirahasiakan demi keamanan keluarganya itu mengaku diperkosa dan disiksa secara seksual menggunakan anjing terlatih.

Sehingga mengalami trauma psikologis akut yang membuatnya kehilangan kestabilan mental selama lebih dari 2 bulan.

Pusat tersebut menyampaikan detail mengejutkan dari kesaksian jurnalis yang menghabiskan 20 bulan dalam tahanan Israel—3 bulan di Sde Teyman dan satu bulan di Penjara Ofer—setelah ditangkap saat meliput operasi militer Israel di Kompleks Medis Al-Shifa, Kota Gaza, 18 Maret 2024.

Saat itu ia mengenakan rompi bertanda “Press” dan membawa kamera.

Dalam pernyataannya, pusat tersebut menyebutkan bahwa peristiwa yang dialami jurnalis itu merupakan salah satu bentuk kejahatan paling serius yang terdokumentasi terhadap jurnalis di penjara-penjara Israel.

Ia bersama tujuh tahanan lain mengalami serangan seksual berkelompok selama sekitar 3 menit, setelah tangan mereka diborgol dan mata ditutup, sebelum dibawa ke area terpencil di dalam kamp yang dikenal berfasilitas buruk.

Jurnalis tersebut mengalami keruntuhan mental drastis yang membuatnya kesulitan berkonsentrasi dan tidak mampu berfungsi secara normal selama berbulan-bulan.

Dokter serta pakar hukum yang memeriksa kesaksian itu menyebut gejalanya sejalan dengan gangguan stres akut dan pascatrauma.

Bukan kasus terisolasi

Dalam keterangannya, jurnalis itu menegaskan bahwa apa yang dialaminya bukan peristiwa tunggal.

Ia menunjuk adanya pola penyiksaan sistematis yang, menurutnya, digunakan Israel untuk mematahkan perlawanan psikologis para tahanan.

Ia menyebut penggunaan anjing sebagai alat penyiksaan langsung, interogasi brutal dengan mata tertutup, perpindahan paksa menggunakan truk militer, serta penahanan di lokasi-lokasi berbeda, terutama di Sde Teyman tempat ia ditahan sekitar 100 hari.

Ia menggambarkan kondisi di kamp itu sebagai “tidak manusiawi”: penyiksaan fisik dan psikologis, kurang tidur, kelaparan, penghinaan bernuansa agama, penolakan terhadap akses medis, serta penyiksaan berupa kejutan listrik.

Serangan seksual, katanya, adalah bentuk kekerasan paling ekstrem yang dialaminya, dilakukan di ruang-ruang tertutup dengan kehadiran tentara dan perwira Israel tanpa adanya mekanisme pengawasan atau pertanggungjawaban.

Kondisi penahanan yang menghancurkan

Penyiksaan meningkat setelah identitasnya sebagai jurnalis diketahui aparat. Ia dituduh menyebarkan “informasi menyesatkan” dan berkali-kali diancam hukuman penjara seumur hidup.

Ia menceritakan kondisi tahanan yang penuh sesak, minim kebersihan, penyakit yang menyebar, kekurangan air dan makanan, larangan beribadah, serta perlakuan yang merendahkan martabat.

Ia juga menyaksikan kematian sejumlah tahanan, termasuk akademisi dan dokter, dalam keadaan yang tidak jelas.

“Kami melalui musim gugur dan dingin hanya dengan pakaian tipis yang robek, tidur di lantai. Kami masuk ke penjara-penjara itu sebagai manusia hidup, tetapi keluar dalam keadaan tubuh hancur dan jiwa patah. Siapa pun yang tidak mati di dalamnya, keluar dalam keadaan remuk selamanya,” ujarnya.

Seruan mendesak untuk penyelidikan internasional

Pusat Perlindungan Jurnalis Palestina menyatakan bahwa apa yang dialami jurnalis tersebut memenuhi unsur kejahatan pemerkosaan dan penyiksaan seksual menurut Konvensi Antipenyiksaan 1984.

Tindakan itu juga masuk kategori kejahatan perang menurut Pasal 8 Statuta Roma dan dapat menjadi kejahatan terhadap kemanusiaan apabila terbukti dilakukan secara sistematis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.

Selain itu, tindakan itu merupakan pelanggaran serius terhadap Pasal 3 bersama Konvensi Jenewa.

Lembaga itu menambahkan bahwa penggunaan anjing untuk melakukan serangan seksual merupakan salah satu bentuk penyiksaan paling parah yang dilarang hukum internasional dan bertujuan menciptakan kehancuran psikologis total.

Pusat tersebut mendesak agar kasus ini dimasukkan ke dalam berkas penyelidikan Mahkamah Pidana Internasional (ICC), serta menyerukan investigasi global yang independen, cepat, dan transparan.

Termasuk perlindungan hukum bagi saksi serta jaminan perawatan medis dan psikologis bagi para korban.

Rangkaian kesaksian yang mengerucut pada pola sistematis

Di akhir pernyataannya, lembaga tersebut menegaskan bahwa kesaksian para jurnalis Palestina merupakan bukti akumulatif tentang keberadaan pola penyiksaan sistematis di penjara-penjara Israel.

Sehingga membutuhkan tindakan pertanggungjawaban di tingkat internasional.

Kasus-kasus sebelumnya memperkuat temuan tersebut. Sebuah rekaman video yang bocor tahun lalu memperlihatkan 5 tentara Israel menyiksa seorang tahanan Gaza secara brutal secara fisik dan seksual di kamp Sde Teyman.

Bocoran itu memicu gejolak di institusi militer dan politik Israel, menyebabkan pencopotan Jaksa Militer Yifat Tomer-Yerushalmi.

Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menyebut bocoran itu sebagai “serangan terbesar terhadap citra publik Israel sejak berdirinya negara tersebut.”

98 warga Palestina meninggal dalam tahanan

Data terbaru yang dirilis lembaga-lembaga HAM Israel dan Palestina pada pertengahan bulan ini menunjukkan bahwa 98 warga Palestina meninggal selama ditahan sejak 7 Oktober 2023.

Angka yang disebut sebagai yang tertinggi dan mencerminkan runtuhnya standar pengawasan medis dan hukum di pusat-pusat penahanan Israel.

Organisasi “Dokter untuk Hak Asasi Manusia—Israel” menyebut angka tersebut kemungkinan lebih rendah dari kenyataan karena terbatasnya akses terhadap informasi, terutama mengenai tahanan asal Gaza.

Laporan itu menyatakan bahwa sebagian besar kematian disebabkan penyiksaan, pemukulan, perlakuan kejam, kelalaian medis yang disengaja, kurangnya makanan dan tidur, dan pengabaian layanan kesehatan dasar.

Kesimpulan ini didasarkan pada kesaksian mantan tahanan yang menghubungi organisasi itu setelah dibebaskan, serta sejumlah laporan medis yang dikumpulkan tim HAM yang berupaya mengakses pusat-pusat penahanan tersebut.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler