Menteri Luar Negeri Turki Hakan Fidan mengatakan pada Sabtu bahwa pelucutan senjata Hamas tidak dapat menjadi prioritas utama dalam proses perdamaian Gaza. Pernyataan itu disampaikan saat para mediator berupaya memasuki tahap kedua implementasi kesepakatan damai untuk wilayah Palestina tersebut.
“Itu tidak bisa menjadi langkah pertama dalam proses ini. Kita harus menempatkan segala sesuatunya pada urutan yang benar dan bersikap realistis,” ujar Fidan ketika ditanya soal pelucutan senjata kelompok tersebut, yang telah berulang kali dinyatakan Hamas tidak akan mereka terima.
Qatar dan Mesir, sebagai penjamin gencatan senjata di Gaza, pada Sabtu menyerukan penarikan pasukan Israel serta pengerahan pasukan stabilisasi internasional sebagai langkah penting untuk sepenuhnya menjalankan perjanjian gencatan senjata yang masih rapuh itu.
Langkah-langkah tersebut tercantum dalam rencana perdamaian yang didukung AS dan PBB, yang berhasil meredakan pertempuran walau para pihak belum sepakat mengenai kelanjutan implementasi setelah fase pertama. Pada tahap awal, pasukan Israel mundur ke belakang “garis kuning” di dalam Gaza, sementara Hamas membebaskan sandera yang masih hidup dan menyerahkan hampir seluruh jenazah sandera yang meninggal.
“Kita berada pada momen kritis… Gencatan senjata tidak akan tuntas tanpa penarikan penuh pasukan Israel dan kembalinya stabilitas ke Gaza,” ujar Perdana Menteri Qatar Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al Thani dalam sesi di Doha Forum.
Qatar, bersama Mesir dan Amerika Serikat, menjadi pihak yang memediasi gencatan senjata tersebut, yang hingga kini masih bersifat sangat rentan.
Salah satu ganjalan utama terletak pada implementasi tahap kedua, termasuk soal pelucutan senjata Hamas. Menurut rencana 20 poin yang pertama kali dipaparkan Presiden AS Donald Trump, Hamas seharusnya melucuti senjatanya, dengan opsi bagi anggota yang menyerahkan senjata untuk meninggalkan Gaza. Kelompok itu terus menolak syarat tersebut.
Pada Sabtu, Hamas menyatakan siap menyerahkan senjatanya kepada otoritas Palestina jika pendudukan Israel berakhir. “Senjata kami terkait dengan keberadaan pendudukan dan agresi. Jika pendudukan berakhir, senjata itu akan berada di bawah otoritas negara,” kata kepala negosiator Hamas Khalil al-Hayya. Kantornya menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah negara Palestina yang berdaulat dan merdeka.
Dalam rencana yang disetujui PBB pada November, Israel akan menarik pasukannya, pemerintahan Gaza dialihkan kepada badan transisi bernama “Dewan Perdamaian”, dan pasukan stabilisasi internasional dikerahkan di wilayah tersebut. “Kita perlu mengerahkan pasukan ini sesegera mungkin karena satu pihak, yakni Israel, setiap hari melanggar gencatan senjata,” ujar Menteri Luar Negeri Mesir Badr Abdelatty.
Mesir dan Qatar menegaskan perlunya melanjutkan upaya implementasi perjanjian tersebut dalam pertemuan bilateral di sela forum.
Trump disebut akan memimpin “Dewan Perdamaian”, meski komposisi anggota lainnya belum diumumkan.
‘Tujuan utama’
Fidan mengatakan pembahasan mengenai pasukan stabilisasi masih berlangsung, termasuk struktur komandonya dan negara mana saja yang akan berkontribusi. Ia menilai tujuan pertama pasukan itu adalah “memisahkan warga Palestina dari warga Israel”. Abdelatty mendukung gagasan tersebut dan menekankan pentingnya penempatan pasukan di sepanjang “garis kuning” untuk memantau dan memverifikasi gencatan senjata.
Sejak kesepakatan berlaku, beberapa insiden mematikan terjadi di sekitar garis tersebut akibat tembakan pasukan Israel terhadap warga Palestina.
Turki, yang juga penjamin gencatan senjata, menyatakan kesiapannya berpartisipasi dalam pasukan stabilisasi, meski langkah ini dipandang tidak menguntungkan di Israel. Fidan kembali menegaskan bahwa pelucutan senjata Hamas tidak boleh menjadi prioritas utama, dan meminta AS menekan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk memastikan keberhasilan rencana tersebut. “Jika mereka tidak turun tangan, ada risiko besar rencana ini gagal,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa tingkat pelanggaran harian terhadap gencatan senjata “sulit digambarkan” dan menjadi indikator bahwa proses tersebut terancam.
Perlintasan Rafah
Sheikh Mohammed mengatakan Qatar dan negara penjamin lainnya kini tengah “berkoordinasi untuk memaksa jalan bagi fase berikutnya” dari kesepakatan tersebut. Ia menegaskan bahwa fase berikutnya itu tetap bersifat sementara dan menekankan pentingnya solusi jangka panjang yang memberikan keadilan bagi kedua pihak.
Rencana gencatan senjata menyerukan pembukaan kembali perlintasan Rafah di perbatasan Gaza–Mesir untuk memungkinkan masuknya bantuan. Israel mengatakan pekan ini bahwa mereka akan membuka pos tersebut, tetapi hanya untuk memungkinkan warga Gaza keluar menuju Mesir. Mesir segera membantah telah menyetujui langkah itu dan menegaskan bahwa Rafah harus dibuka dua arah.
Pernyataan Israel memicu kekhawatiran negara-negara mayoritas Muslim, yang menolak segala upaya untuk memindahkan warga Palestina dari tanah mereka. Abdelatty menegaskan bahwa Rafah “bukan gerbang untuk pengungsian”, tetapi pintu masuk bantuan kemanusiaan.


