Tepat pukul 10.00 pagi, Selasa, kehidupan warga di Kamp Pengungsi Qalandia serta kawasan Kafr Aqab dan Samira Mays—yang terletak di sebelah utara Kota Yerusalem—berubah drastis.
Sebuah operasi besar-besaran dilancarkan polisi dan militer Israel dengan melibatkan sekitar 10 lembaga pemerintah sekaligus.
Operasi tersebut menyasar manusia, bangunan, hingga pepohonan, berlangsung selama berjam-jam, dan berakhir dengan penarikan pasukan yang meninggalkan kerusakan luas serta kerugian material yang sangat besar.
Operasi itu dilakukan melalui tiga jalur utama, yakni Pos Militer Qalandia, permukiman Israel “Kokhav Ya’akov” yang dibangun di atas tanah yang disita dari Desa Kafr Aqab, serta permukiman “Psagot” di kawasan Jabal al-Tawil yang berdiri di atas tanah Kota Al-Bireh.
Sejak operasi dimulai, aparat Israel langsung melakukan penyerangan terhadap seluruh pertokoan yang berjajar di sepanjang jalan utama Qalandia–Kafr Aqab–Samira Mays.
Penyerbuan tersebut dibarengi dengan penembakan granat suara dan gas air mata, serta pengubahan kawasan menjadi zona militer tertutup.
Sejumlah pasukan bahkan naik ke atap rumah warga dan menempatkan penembak jitu di sana.
Kepada Al Jazeera Net, Ketua Komite Lingkungan Yerusalem Utara, Munir Zughair, menjelaskan bahwa operasi ini melibatkan, menurut perkiraannya, antara 200 hingga 300 tentara infanteri.
Ia menilai, operasi tersebut tidak lepas dari keinginan “kapten” wilayah—perwira militer Israel yang baru saja ditugaskan di kawasan itu—untuk menunjukkan kekuasaannya.
“Perwira baru itu ingin menegaskan kehadirannya. Karena itu ia memerintahkan pelanggaran besar-besaran yang kemudian terdokumentasi dan tersebar luas di media massa serta media sosial,” kata Zughair.
Aksi brutal dan teror
Zughair menambahkan, setiap kali seorang komandan militer baru mengambil alih wilayah tersebut, warga selalu menyaksikan operasi besar yang diiringi tindakan brutal dan kehancuran luas.
Ia menegaskan tidak ada kebenaran dalam klaim Israel bahwa operasi itu bertujuan menegakkan hukum.
“Jika benar untuk penegakan hukum, mereka tidak akan melarang para lansia kembali ke rumah mereka, tidak akan meneror pelajar dan menghambat perjalanan akademik mereka, serta tidak akan menyerang warga sipil dengan gas beracun yang menembus balkon rumah-rumah,” ujarnya.
Menurut Zughair, Israel ingin menyampaikan pesan tegas kepada warga bahwa mereka tidak memiliki keistimewaan apa pun meski berstatus penduduk Yerusalem.
“Mereka diperlakukan sebagai musuh, bukan sebagai warga,” kata dia.
Dampak operasi ini sangat luas. Sekitar 3.600 pemilik kendaraan dan 1.000 sepeda motor yang setiap hari berangkat bekerja dari Kafr Aqab menuju pusat kota melalui Pos Militer Qalandia terdampak langsung.
Selain itu, sekitar 100.000 warga Palestina yang memegang kartu identitas Israel (kartu biru) dengan alamat “Kafr Aqab” juga mengalami gangguan total dalam aktivitas sehari-hari.
Zughair menjelaskan, terdapat pula sekitar 20.000 warga Palestina yang di kartu identitasnya tercantum alamat “Kota Tua Yerusalem”, tetapi membeli apartemen di balik tembok pemisah dan tinggal di kawasan tersebut.
Ditambah lagi sekitar 10.000 orang dari kalangan “pasangan campuran”—di mana salah satu pasangan memegang kartu identitas Israel dan pasangannya kartu identitas Tepi Barat—yang masih menunggu proses penyatuan keluarga agar memperoleh hak tinggal di Yerusalem.
Seluruh kelompok ini, kata Zughair, kehidupannya lumpuh total akibat operasi besar yang dilakukan pasukan yang ia sebut sebagai “anak buah Ben-Gvir”, merujuk pada Menteri Keamanan Nasional Israel Itamar Ben-Gvir.
Tujuannya, menurut Zughair, tidak lain adalah menambah beban ekonomi melalui pungutan dan tekanan.
Tujuannya, agar warga Palestina meninggalkan Yerusalem, sekaligus memperburuk kehidupan mereka dengan praktik diskriminasi rasial yang sistematis.
“Pembantaian” penghancuran
Direktur Kantor Gubernur Yerusalem di Kamp Qalandia, Zakaria Fayaleh, mengatakan kepada Al Jazeera Net bahwa warga sangat terkejut dengan tingkat perusakan yang menyertai operasi tersebut.
Sejak awal, aparat Israel meratakan kios-kios, toko-toko, papan reklame, serta baliho besar dengan dalih melakukan kamp penertiban pelanggaran.
Selain itu, sejumlah besar barang dagangan disita, sementara sebagian lainnya dihancurkan di hadapan para pedagang dengan alasan tidak layak konsumsi atau tidak memenuhi standar pengawasan.
Yang mencolok, menurut Fayaleh, adalah dikeluarkannya perintah pengosongan lapangan terhadap lima rumah di pintu masuk Kamp Qalandia. Rumah-rumah itu kemudian diubah menjadi pos militer.
Para pemiliknya diberi tahu oleh perwira Israel bahwa mereka tidak boleh kembali hingga pagi hari berikutnya, sebelum pasukan akhirnya mengumumkan penarikan diri.
Fayaleh juga menyebutkan bahwa sejumlah besar tentara dikerahkan untuk menyisir gang-gang sempit di dalam kamp.
Bahkan, “Pusat Pemuda Qalandia” diubah menjadi pos militer sementara, ditempati pasukan selama berjam-jam sebelum mereka pergi.
Penjaga pusat tersebut sempat dipukuli dan ditahan sepanjang operasi berlangsung, sebelum akhirnya dibebaskan.
Ketika ditanya pesan apa yang ingin disampaikan Israel melalui operasi sebesar ini, Fayaleh menjawab singkat namun tegas.
“Mereka ingin memaksakan realitas baru di kawasan yang dihuni sekitar 180.000 jiwa, termasuk 150.000 warga Yerusalem yang memegang kartu identitas Israel,” tegasnya.
Pajak tinggi tanpa layanan
Warga Kafr Aqab, meski tinggal di kawasan yang terpinggirkan dan minim infrastruktur, tetap diwajibkan membayar seluruh pajak yang dikenakan kepada warga Yerusalem.
Bahkan, baru-baru ini, pemerintah kota Israel memutuskan bahwa pemilik apartemen yang dibangun setelah tahun 2020 harus membayar pajak properti (arnona) dengan klasifikasi “A”, yakni tarif tertinggi per meter persegi.
Keputusan ini berarti tarif pajak properti di Kafr Aqab—kawasan dengan layanan publik yang nyaris tidak ada—disamakan dengan lingkungan paling mewah di Yerusalem Barat.
Tak jauh dari Kafr Aqab dan Kamp Qalandia, Pemerintah Kota Israel juga mendorong pembangunan sebuah permukiman besar yang mencakup 9.000 unit hunian baru di atas lahan Bandara Internasional Yerusalem di Desa Qalandia.
Untuk mewujudkan proyek ini, sejumlah besar rumah warga Palestina dipastikan akan dihancurkan.


