Friday, December 26, 2025
HomeBeritaKeluarga Palestina hadapi tekanan hidup setelah pemotongan tunjangan tahanan dan syuhada

Keluarga Palestina hadapi tekanan hidup setelah pemotongan tunjangan tahanan dan syuhada

Puluhan ribu keluarga Palestina kini menghadapi pergulatan hidup yang kian berat setelah penghentian tunjangan bagi keluarga tahanan dan syuhada.

Salah satunya adalah keluarga Sulaith, yang harus berbagi nasib dengan sekitar 40.000 keluarga lain, menyusul pemutusan tunjangan bagi 2 putranya yang gugur serta seorang putra lain yang masih mendekam di penjara Israel.

Sejak itu, keluarga ini praktis kehilangan satu-satunya sumber penghidupan, di tengah kehidupan di bawah pendudukan dan pengalaman pahit terusir secara paksa dari rumah mereka.

Di banyak rumah Palestina, luka akibat kehilangan anak—baik karena dibunuh, dipenjara, maupun cedera yang membuat mereka tak lagi mampu menafkahi keluarga—telah lama menjadi kenyataan sehari-hari.

Namun, penderitaan itu kini berlipat ganda setelah Otoritas Palestina memutuskan menghentikan pembayaran tunjangan bagi para tahanan.

Bagi keluarga-keluarga ini, kehidupan berubah menjadi perjuangan harian demi sekadar bertahan hidup.

Keluarga Sulaith dari Kamp Pengungsi Tulkarem menjadi salah satu contoh paling nyata dari dampak kebijakan tersebut.

Dua putra mereka gugur sebagai syuhada, sementara putra ketiga masih ditahan dan menunggu vonis penjara seumur hidup.

Tidak hanya itu, keluarga ini juga kehilangan rumah setelah dipaksa mengungsi akibat operasi militer Israel di kamp-kamp Nur Shams, Tulkarem, dan Jenin, di wilayah utara Tepi Barat, pada akhir Januari 2025.

Kini, dengan dihentikannya tunjangan bagi keluarga syuhada dan tahanan, mereka harus menghadapi kenyataan ekonomi yang semakin keras.

Beban hidup pun bertambah, menyatu dengan rasa kehilangan dan penantian panjang yang tak kunjung usai.

Kepada Al Jazeera Net, Tasnim Sulaith, putri keluarga tersebut, menuturkan bahwa ayahnya—setelah melalui rangkaian krisis bertubi-tubi—tidak lagi mampu bekerja karena kondisi kesehatan fisik dan mental yang terus menurun.

Selama ini, tunjangan anak-anaknya menjadi satu-satunya penopang hidup keluarga.

Namun, tunjangan bagi sang putra yang dipenjara, Mahmoud, telah dihentikan selama 10 bulan terakhir, sementara tunjangan 2 putra yang gugur hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan paling dasar.

Kehilangan besar

Tasnim menambahkan, ayahnya bersama sang ibu masih harus menanggung hidup tiga anak kecil yang memerlukan kebutuhan harian yang kini sulit dipenuhi. Keluarga ini sebelumnya mengelola sebuah restoran kecil milik para saudara.

Namun, di tengah tekanan ekonomi, usaha tersebut tak lagi menghasilkan keuntungan dan hanya mampu menutup biaya operasional.

Sewa tempat yang selama ini dibayar dari tunjangan pun tak lagi terjangkau, sehingga restoran itu akhirnya ditutup.

“Menutup restoran itu terasa seperti kehilangan terakhir yang kami miliki. Itu adalah wasiat para syuhada,” ujar Tasnim, menggambarkan beratnya keputusan tersebut.

Ia juga mengungkapkan bahwa keluarganya tidak mampu mengirim pengacara untuk menjenguk putra mereka yang ditahan selama 6 bulan terakhir, guna memastikan kondisi psikologis dan tempat penahanannya.

Biaya jasa hukum yang tinggi menjadi kendala utama, terlebih sang putra tidak termasuk dalam kesepakatan pertukaran tahanan terakhir antara Hamas dan Israel.

Tasnim menegaskan, di balik ketakutan akan masa depan yang tak pasti, dampak psikologis menjadi luka terdalam yang dirasakan keluarga.

Sementara itu, Izzuddin Ammarna, ayah dari tahanan Mujahid Ammarna, menceritakan kondisi putranya yang menderita gangguan kejiwaan akibat pengalaman penahanan.

Gangguan tersebut menyebabkan kecacatan permanen dengan tingkat mencapai 60 persen.

Seharusnya, Mujahid menerima tunjangan tetap, namun pembayaran itu kini juga dihentikan, meski ia masih ditahan dan membutuhkan perawatan medis di dalam penjara Israel.

Menurut Ammarna, kondisi tersebut membuat hidup Mujahid seolah terhenti.

Ia tidak lagi mampu bekerja atau melanjutkan pendidikan dan sepenuhnya bergantung pada tunjangan tahanan untuk biaya pengobatan dan kebutuhan pribadi, sebelum kembali ditangkap secara administratif oleh Israel pada 10 Juni lalu.

Bagi Ammarna, persoalan ini bukan semata isu ekonomi, melainkan masalah politik, sosial, dan moral.

Ia menegaskan bahwa tunjangan bagi tahanan merupakan hak sah yang dijamin hukum Palestina dan menjadi konsensus nasional.

Pemutusan tunjangan itu, menurutnya, berarti meninggalkan perjuangan para tahanan dan melemparkan mereka beserta keluarga ke dalam ketidakpastian.

Ia menyebut langkah tersebut sebagai bentuk kepatuhan terhadap tekanan Israel dan internasional, dengan tujuan menjadikan para tahanan dan keluarga mereka sebagai beban sosial.

“Ini adalah kemunduran terang-terangan dari komitmen Presiden Mahmoud Abbas dan Otoritas Palestina, yang pernah menyatakan akan menjamin kehidupan layak bagi para tahanan, bahkan jika hanya tersisa satu dinar,” ujarnya.

Cacat konstitusional

Mantan Menteri Urusan Tahanan Palestina, Qadura Fares, menilai keputusan tersebut mengandung cacat konstitusional yang serius.

Ia menegaskan bahwa Undang-Undang Dasar Palestina secara eksplisit menjamin kehidupan layak bagi para tahanan, syuhada, dan korban luka, yang kemudian ditegaskan dalam Undang-Undang Tahanan.

“Karena itu, kebijakan ini merupakan pelanggaran terhadap hukum tersebut, bahkan bisa dikategorikan sebagai pembatalan sepihak dan penyimpangan konstitusional,” kata Fares.

Ia menekankan bahwa rakyat Palestina hingga kini masih berada dalam fase perjuangan pembebasan nasional, dan kemerdekaan hanya dapat dicapai melalui perjuangan.

Menurutnya, mencabut hak mereka yang telah berkorban sama saja dengan menyatakan penghentian perlawanan terhadap pendudukan.

Fares juga menyinggung kewajiban moral dan agama untuk melindungi anak-anak yatim.

“Bagaimana mungkin anak-anak yang ayahnya gugur ditembak pendudukan dibiarkan tanpa perlindungan?” ujarnya.

Ia juga mengkritik kontradiksi sikap kepemimpinan politik yang sebelumnya mendorong rakyat untuk melawan.

“Tidak adil mengajak orang berjuang, lalu melepaskan tanggung jawab ketika mereka gugur, terluka, atau dipenjara. Ini kesalahan besar yang harus segera dikoreksi,” tegasnya.

Menurut Fares, dampak keputusan ini menjalar ke sedikitnya 40.000 keluarga Palestina, baik di dalam negeri maupun di diaspora, yang selama ini menerima hak atas kerugian yang mereka alami akibat pendudukan.

Penolakan luas

Fares juga menilai faksi-faksi politik turut memikul tanggung jawab karena sikap diam mereka.

Ia menilai pernyataan samar di media sosial tidaklah memadai, seraya mempertanyakan peran organisasi-organisasi besar seperti Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), Fatah, dan Front Populer untuk Pembebasan Palestina.

“Jika mereka hanya menyatakan ketidaksetujuan tanpa tindakan nyata, maka mereka turut bertanggung jawab atas konsekuensi katastrofik dari keputusan ini,” ujarnya.

Meski mengakui rakyat Palestina saat ini dibebani banyak persoalan, Fares meyakini gerakan protes publik akan tumbuh seiring waktu.

“Krisis ini bukan masalah satu wilayah, melainkan hadir di setiap rumah, kamp, kota, dan desa,” katanya.

Di sisi lain, Ketua Komisi Urusan Tahanan dan Mantan Tahanan Raed Abu al-Hummus serta anggota Komite Sentral Fatah, Tawfiq Tirawi, menyatakan penolakan tegas terhadap pemutusan tunjangan bagi keluarga syuhada, tahanan, dan korban luka.

Abu al-Hummus menegaskan bahwa kebijakan tersebut merugikan ratusan ribu tahanan dan keluarga mereka.

Ia menilai kebijakan lembaga Tamkeen, yang kini menangani berkas-berkas mereka, sebagai bentuk pelanggaran langsung terhadap hak-hak para pejuang dan pelecehan terhadap pengorbanan mereka.

Ia menyerukan penyatuan seluruh upaya nasional Palestina untuk menjamin hak-hak para tahanan dan syuhada serta menjaga martabat mereka.

Sebelumnya, Presiden Mahmoud Abbas mengeluarkan pernyataan resmi yang menjelaskan alasan penghentian tunjangan serta peran lembaga Tamkeen, yang dikaitkan dengan program reformasi yang diusung kepemimpinan Palestina.

Dalam pernyataan itu, Abbas menyebut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2025 sebagai bagian dari visi reformasi menyeluruh.

Tujuannya, untuk menyatukan dan menata sistem perlindungan serta kesejahteraan sosial, menjamin keadilan, transparansi, dan keberlanjutan pemberian tunjangan berdasarkan standar objektif dan profesional, serta tetap menjaga martabat dan hak para penerima.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler