Media Israel mengakui kegagalan serius intelijen mereka dalam membaca dan menembus kepemimpinan Hamas selama dua dekade terakhir.
Kegagalan itu disebut berkontribusi langsung pada absennya peringatan dini sebelum serangan besar Hamas yang dikenal sebagai Operasi Thaufan Al-Aqsha pada 7 Oktober 2023.
Harian Yedioth Ahronoth, Jumat (26/12), melaporkan bahwa lembaga keamanan Israel mengakui ketidakmampuan mereka menyusup ke jajaran Hamas.
Dalam laporan tersebut disebutkan bahwa Dinas Keamanan Dalam Negeri (Shin Bet), Unit 504 intelijen militer, maupun badan intelijen luar negeri Mossad tidak memiliki satu pun agen kunci di lingkaran kepemimpinan Hamas selama 20 tahun terakhir.
Menurut laporan itu, sejak Israel melaksanakan kebijakan “penarikan sepihak” dari Jalur Gaza pada 2005—yang diikuti pengosongan seluruh permukiman dan pangkalan militer—tidak ada satu pun agen bernilai strategis yang berhasil ditanamkan di dalam kepemimpinan Hamas.
Yedioth Ahronoth juga mengungkap bahwa penilaian Shin Bet sebelum 7 Oktober menunjukkan keyakinan bahwa Hamas tidak berniat melakukan eskalasi.
Penilaian itu, tulis surat kabar tersebut, mencerminkan “kegagalan dan kebutaan mendalam” yang tidak hanya menimpa Shin Bet, tetapi juga intelijen militer dan keseluruhan institusi keamanan Israel.
Gagal di Gaza, berhasil di Iran
Pertanyaan yang lebih sulit, menurut Yedioth Ahronoth, adalah bagaimana mungkin Israel mampu merekrut agen intelijen di Iran—negara yang berjarak ribuan kilometer—namun gagal memahami apa yang terjadi hanya sekitar 100 kilometer di selatan Tel Aviv.
Surat kabar itu mengaitkan kegagalan tersebut dengan sejumlah faktor. Salah satunya adalah keterisolasian Gaza pascapenarikan Israel dan penerapan blokade ketat.
Gaza, tulis Yedioth Ahronoth, tidak memiliki ekonomi terbuka, pariwisata, maupun hubungan diplomatik—jalur-jalur yang biasanya menjadi pintu masuk bagi operasi intelijen sebuah negara.
“Tanpa interaksi, perekrutan agen menjadi amat sulit,” tulis laporan itu.
Faktor kedua adalah kemampuan Hamas membaca dan memahami metode intelijen Israel, sesuatu yang menurut Yedioth Ahronoth baru disadari Israel ketika sudah terlambat.
Hamas disebut menutup hampir seluruh celah infiltrasi, baik melalui perbatasan darat, laut, maupun pintu-pintu penyeberangan.
Selain itu, Hamas juga melakukan eksekusi terbuka dan pembersihan berulang terhadap para kolaborator Israel.
Faktor ketiga berkaitan dengan keputusan politik di tingkat tertinggi Israel. Yedioth Ahronoth menyebut Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mengeluarkan arahan agar militer menghindari eskalasi di Gaza.
Selain itu juga menolak pembunuhan terhadap para pemimpin Hamas karena dinilai akan memicu “perang atas inisiatif Israel”.
Ironisnya, kebijakan isolasi Gaza—yang awalnya merupakan rekomendasi politik dan keamanan—justru membuat Israel “buta, tuli, dan lumpuh” dalam menghadapi Hamas, tulis surat kabar tersebut.
Laporan itu juga menyoroti karakter Hamas sebagai organisasi yang tertutup, rahasia, disiplin, dan berbasis ideologi kuat, yang membuat upaya penyusupan menjadi sangat sulit.
Meski Shin Bet diklaim memiliki agen di level bawah, Yedioth Ahronoth menyebut hampir tidak ada di antara mereka yang memberikan informasi bernilai strategis sebelum 7 Oktober 2023.
Israel, menurut laporan itu, baru menyadari setelah peristiwa tersebut bahwa Hamas merupakan “lawan paling sulit di Timur Tengah”.


