Arab Saudi melancarkan serangan udara pada Selasa dini hari terhadap pasukan separatis Yaman yang tergabung dalam Southern Transitional Council (STC), kelompok yang didukung Uni Emirat Arab (UEA). Serangan ini menambah kompleksitas konflik berkepanjangan di Yaman dan memperlihatkan meningkatnya ketegangan antara dua negara Teluk yang sebelumnya berada dalam satu koalisi.
UEA selama bertahun-tahun merupakan bagian dari koalisi pimpinan Saudi yang memerangi kelompok Houthi—sekutu Iran—yang menguasai sebagian besar wilayah Yaman. Namun, dinamika berubah seiring dukungan Abu Dhabi terhadap STC, kelompok separatis yang menguasai sejumlah wilayah di Yaman selatan.
Dalam beberapa hari terakhir, STC memperluas wilayah kekuasaannya, termasuk merebut Kota Mukalla di Provinsi Hadramout yang sebelumnya dikuasai pasukan pro-Saudi. Riyadh menyebut langkah tersebut telah melampaui “garis merah”.
Saudi menyatakan jet tempurnya menargetkan kiriman senjata dari UEA untuk STC di Pelabuhan Mukalla. Menurut pernyataan resmi, dua kapal mematikan sistem pelacakan dan membongkar senjata serta kendaraan lapis baja yang dinilai mengancam stabilitas kawasan.
“Persenjataan tersebut merupakan ancaman langsung dan eskalasi yang membahayakan perdamaian dan stabilitas,” demikian pernyataan koalisi Saudi. Riyadh menegaskan serangan dilakukan pada malam hari untuk menghindari korban sipil.
STC menyatakan “keprihatinan serius”, menuding serangan itu menyasar unit elit mereka di Hadramout—provinsi strategis yang berbatasan langsung dengan Arab Saudi.
Serangan udara ini menandai eskalasi tajam antara Saudi dan STC, sekaligus secara terbuka memperlihatkan friksi yang kian dalam antara Riyadh dan Abu Dhabi. Meski menjadi mitra utama dalam perang melawan Houthi, kedua negara selama ini mendukung faksi berbeda di dalam Yaman.
Kementerian Luar Negeri Saudi secara langsung memperingatkan UEA, menyebut dukungannya terhadap STC sebagai langkah “sangat berbahaya” dan ancaman terhadap keamanan nasional Saudi serta stabilitas Yaman dan kawasan. Riyadh juga menyerukan agar UEA menarik pasukannya dari Yaman.
Sementara itu, Ketua Dewan Kepemimpinan Presiden Yaman, Rashad al-Alimi, membatalkan perjanjian pertahanan dengan UEA dan memerintahkan seluruh pasukan Emirat meninggalkan Yaman dalam waktu 24 jam, sebagaimana dilaporkan Al Jazeera. Ia juga mengumumkan blokade udara dan laut selama 72 jam di seluruh pelabuhan dan perlintasan perbatasan.
Eskalasi ini menunjukkan konflik Yaman semakin memburuk. Di selatan, STC memperluas kontrol di Hadramout dan Al-Mahra—wilayah yang relatif aman dari pertempuran selama lebih dari satu dekade dan menyimpan cadangan minyak utama serta pelabuhan strategis. Di utara, Houthi tetap menguasai wilayah penting, termasuk ibu kota Sanaa.
Perang saudara Yaman pecah pada 2014 saat Houthi merebut Sanaa dan memaksa Presiden Abd Rabbu Mansour Hadi mundur dan mengasingkan diri. Pada 2015, Saudi membentuk koalisi negara Teluk—termasuk UEA—untuk melancarkan serangan udara dan blokade guna memulihkan pemerintahan Hadi.
Sejak itu, ribuan serangan udara dilakukan terhadap Houthi. Namun, dukungan UEA terhadap kelompok separatis selatan seperti STC memperumit konflik dan mendorong Yaman menjadi ajang perebutan pengaruh regional.
Analis memperingatkan ekspansi sepihak STC berisiko memicu konflik baru, memperdalam ketidakstabilan, dan mendorong Yaman menuju perpecahan de facto. STC sendiri menargetkan pemulihan Negara Yaman Selatan, menghidupkan kembali batas wilayah sebelum penyatuan pada 1990.


