Thursday, October 17, 2024
HomeAnalisis dan OpiniOpiniOPINI: Fakta-fakta jelang satu tahun genosida Gaza

OPINI: Fakta-fakta jelang satu tahun genosida Gaza

Oleh: Mustafa Barghouti

Mantan Menteri Informasi Palestina

Menjelang peringatan satu tahun peristiwa 7 Oktober, kita berada di ambang satu tahun genosida yang dilakukan oleh negara penjajah terhadap warga Palestina di Jalur Gaza. Kini, cengkeramannya juga merambah Tepi Barat. Penting bagi kita untuk meninjau fakta yang terungkap dalam beberapa bulan terakhir, dan melihat apa yang kini kita ketahui.

Pertama, perlu diingat bahwa peristiwa 7 Oktober merupakan gejala dari kekerasan kolonial, bukan penyebab utamanya. Peristiwa tersebut adalah hasil dari 76 tahun pembersihan etnis terhadap 70 persen warga Palestina, 57 tahun pendudukan terpanjang dalam sejarah modern, sistem apartheid rasis yang kekejamannya melampaui pendahulunya, serta blokade yang telah mencekik Gaza selama 17 tahun tanpa perhatian dunia terhadap penderitaan warganya.

Selama akar penyebab dari peristiwa 7 Oktober ini tidak ditangani—bahkan justru semakin memburuk akibat ketidakadilan besar yang dilakukan oleh tentara penjajah terhadap warga Palestina di Gaza dan wilayah pendudukan lainnya—masa depan tidak akan cerah bagi mereka yang berpikir bahwa mereka bisa menundukkan kehendak rakyat Palestina.

Lebih dari itu, pria dan wanita Palestina di Jalur Gaza telah menunjukkan keteguhan heroik yang tak tertandingi dalam sejarah modern, meskipun menghadapi ketidakadilan yang begitu besar dan rasa sakit yang sulit untuk digambarkan.

Melalui keteguhan dan perlawanan gagah berani mereka, warga Gaza telah menggagalkan tujuan utama agresi Israel, yakni mengusir mereka dari tanah air mereka dan melakukan pembersihan etnis, sebagian besar untuk kedua kalinya.

Pengalaman sejarah sebagian besar penduduk Gaza, yang 70 persen dari mereka adalah pengungsi yang diusir dari kota dan desa mereka pada tahun 1948, memainkan peran penting dalam memperkuat tekad mereka untuk bertahan.

Kemunafikan Barat terhadap Israel, yang merupakan “anak haram” kolonialisme Barat dan basis kepentingan strategisnya di kawasan, kini telah terbuka lebar untuk disaksikan semua orang. Standar ganda Barat pun terungkap saat membandingkan sikapnya terhadap Ukraina dan Palestina. Ini akan berdampak pada semua hubungan internasional, karena Gaza—kecil dalam ukuran namun besar dalam kekuatan kehendak—telah memperlihatkan ketidakjujuran dunia secara terang-terangan. “Tatanan berbasis aturan” yang konon dipegang teguh oleh sistem internasional pasca-Perang Dunia II telah berakhir.

Pesan hari ini, dari PBB hingga ke bawah, adalah bahwa hukum rimba yang berlaku di dunia kita, bukan hukum internasional. Mereka yang memiliki kekuasaan dapat melakukan apa pun yang mereka inginkan, dan banyak negara kecil yang dulu bergegas mendukung Israel sebelas bulan lalu akan menjadi pihak pertama yang menanggung akibat dari tatanan dunia yang diatur oleh konsep kekuasaan tanpa memperhatikan apa yang disebut sebagai “hukum internasional”. Rakyat Palestina dan kelompok politik mereka sudah mengetahui dari pengalaman pahit bahwa kebijakan luar negeri semua negara saat ini didikte oleh kepentingan, bukan prinsip.

Tidak ada yang sebanding, atau bahkan melebihi, kekecewaan kami terhadap komunitas internasional, kecuali kekecewaan yang lebih besar terhadap kelemahan rezim-rezim Arab dan Islam yang tak mampu menghadapi arogansi agresif Israel, serta kegagalan mereka untuk memenuhi kewajiban minimal kepada rakyatnya, apalagi terhadap kesucian mereka.

Kegagalan menyadari bahwa mereka tidak akan terselamatkan dan tidak akan lebih baik dengan menundukkan kepala akan membawa dampak serius. Namun, dampak yang lebih besar akan datang dari semakin lebarnya jurang antara rezim-rezim ini dan rakyat mereka, yang merasa harga diri mereka telah diinjak-injak dengan membiarkan rezim fasis Israel menindas rakyat Palestina, bahkan ketika beberapa pemerintah tetap menjalin hubungan normal dengan negara pendudukan tersebut.

Masalah ini diperparah oleh kenyataan bahwa Otoritas Palestina, melalui sikap pasifnya dan kegagalannya memainkan peran dalam menghadapi agresi, telah kehilangan banyak popularitas dan kredibilitas. Sayangnya, situasi ini semakin memburuk dengan kegagalan Otoritas Palestina untuk melaksanakan kesepakatan Beijing dan Moskow, yang seharusnya membuka jalan bagi rekonsiliasi dan persatuan nasional.

Baik pemerintah maupun oposisi Israel tidak menunjukkan kemauan untuk berdamai atau menawarkan kompromi apa pun bagi rakyat Palestina.

Proyek ini telah selamanya menghancurkan Kesepakatan Oslo, meskipun hanya secara nama, dan Israel telah membuktikan bahwa satu-satunya bahasa yang dipahaminya adalah bahasa kekuatan. Fakta paling berbahaya yang kini terungkap adalah bahwa rezim yang berkuasa dan mayoritas populasi Israel sedang bergerak menuju fasisme dalam bentuknya yang paling buruk.

Yang menyaksikan semua ini adalah Amerika Serikat, yang sejak awal tidak pernah menjadi penengah yang jujur dalam proses perdamaian, mediator netral, apalagi pihak yang adil dalam hal Israel. Biasnya terhadap Israel absolut, dan tanpa dukungan militer, finansial, dan politik yang tak terbatas dari AS, perang yang dilancarkan oleh negara pendudukan tidak akan bertahan lebih dari sebulan.

Mengingat parahnya pembunuhan dan kehancuran di Gaza (dan kini di Tepi Barat yang diduduki), sangatlah penting untuk terus menekan Mahkamah Internasional dan Pengadilan Kriminal Internasional agar segera mengeluarkan putusan dan surat perintah penangkapan. Saya berani menyatakan bahwa banyak negara Barat yang mendukung Israel dengan senjata dan rudal akan mendapatkan kejutan tidak menyenangkan saat Mahkamah Internasional memutuskan bahwa apa yang terjadi di Gaza jelas merupakan genosida.

Israel telah gagal, dan akan terus gagal, meskipun brutalitas perangnya sangat luar biasa, untuk mencapai tujuannya. Mereka tidak mampu dan tidak akan mampu mencabut perlawanan Palestina; mereka gagal dan akan terus gagal dalam upaya pembersihan etnis; serta tidak berhasil dan tidak akan berhasil memaksakan dominasi dan kontrolnya atau menghancurkan tekad rakyat Palestina yang tetap berkomitmen untuk mencapai kebebasan mereka.

Konflik yang sedang berlangsung bukanlah tentang masalah kecil dan rincian seperti Koridor Salah Al-Din (Philadelphi) yang menjadi titik pembicaraan yang membosankan dari Netanyahu. Konflik ini adalah tentang mengakhiri pendudukan, permukiman, sistem apartheid, dan keseluruhan sistem kolonial pemukim Zionis. Ini adalah perjuangan rakyat yang tidak akan berhenti menuntut kebebasan, martabat, hak untuk menentukan nasib sendiri, dan perdamaian yang adil.

Namun, kelemahan terbesar Palestina adalah perpecahan internal. Kemenangan rakyat Palestina dalam perjuangan yang adil ini sangat bergantung pada pembangunan kepemimpinan nasional yang bersatu dengan agenda perlawanan yang kuat untuk menggagalkan rencana yang ingin melikuidasi perjuangan Palestina.

Palestina kini telah menjadi isu keadilan manusia yang paling utama di zaman kita, memobilisasi kekuatan dan semangat pemuda di seluruh dunia, termasuk di Amerika Serikat, untuk melawan tidak hanya pendudukan Israel dan kejahatan genosida, tetapi juga untuk perjuangan keadilan sosial dan kemanusiaan global.

Di Indonesia sendiri, solidaritas untuk perjuangan Palestina terus menguat, terutama di kalangan generasi muda. Aksi solidaritas dan kampanye kesadaran mengenai penderitaan rakyat Palestina semakin sering digelar, baik di media sosial maupun dalam bentuk aksi nyata. Mahasiswa dan aktivis di berbagai kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Makassar telah turun ke jalan untuk menyuarakan dukungan mereka terhadap rakyat Palestina, seiring dengan peringatan satu tahun perang yang brutal ini.

Ada banyak hal yang harus ditulis dan diucapkan menjelang peringatan satu tahun perang genosida ini, namun sebagian besar tidak akan mampu menggambarkan penuh heroisme dan keteguhan bangsa Palestina, yang telah menjadi ikon nilai-nilai kemanusiaan dan perjuangan bagi semua bangsa yang tertindas.

Artikel ini pertama kali muncul dalam bahasa Arab di Palestinian Information Centre pada 10 September 2024.

 

 

Pizaro Idrus
Pizaro Idrus
Pengajar HI Universitas Al Azhar Indonesia, Mahasiswa PhD Hubungan Antarbangsa Universitas Sains Malaysia.
ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular