Di tengah mentari yang membakar dan langit yang tak pernah memberi jeda, ribuan pengungsi Palestina di Jalur Gaza mengantre selama berjam-jam untuk memperoleh air.
Bukan air segar, melainkan air yang nyaris tak layak pakai karena telah tercemar parah oleh dampak berkepanjangan perang.
Di kamp-kamp pengungsian yang penuh sesak, ketegangan bukan hanya tentang keselamatan, melainkan juga tentang bertahan hidup dalam kekurangan mutlak.
Selama dua puluh bulan terakhir, serangan militer Israel secara sistematis telah menghancurkan infrastruktur air di Gaza.
Mulai dari jaringan pipa, sumur, hingga fasilitas desalinasi luluh lantak dibombardir. Akibatnya, akses terhadap air bersih dan aman menjadi misi yang hampir mustahil bagi 2,4 juta warga Gaza yang kini terkepung krisis multidimensi.
Sebelum perang, rata-rata warga Gaza dapat mengakses sekitar 84,6 liter air setiap harinya.
Kini, jumlah itu turun drastis menjadi hanya 3 hingga 5 liter. Angka yang sangat jauh di bawah ambang batas minimum darurat yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yakni 20 liter per orang per hari dalam kondisi bencana.
Penurunan tajam ini tidak hanya berdampak pada kebersihan pribadi, tetapi juga menurunkan kekebalan tubuh warga, mempercepat penyebaran penyakit, dan menyebabkan gangguan kesehatan serius seperti dehidrasi dan kerusakan ginjal.
Kehidupan tanpa air layak
Ayman Ramalawi, Direktur Departemen Kesehatan Lingkungan dan Keselamatan Kerja di Kementerian Kesehatan Gaza, menyebut situasi ini sebagai “penghapusan total terhadap segala aspek kehidupan.”
Menurutnya, sektor air dan sanitasi menjadi salah satu korban terbesar dalam perang karena berkaitan langsung dengan kesehatan publik.
Dalam laporan yang dirilis pada 10 Mei, Otoritas Air Palestina mencatat bahwa 85 persen fasilitas air dan sanitasi di Gaza mengalami kerusakan berat.
Sumber air yang ada kini hanya mampu menghasilkan 20 hingga 30 persen dari kapasitas normal sebelum perang.
Terputusnya pasokan listrik dan bahan bakar memperparah keadaan, karena seluruh sistem air bergantung pada keduanya untuk distribusi dan pengolahan.
“Gaza kini mati karena kehausan,” demikian pernyataan lugas dari Otoritas Air.
Rata-rata konsumsi air yang hanya 3–5 liter per hari bukan sekadar statistik, melainkan potret menyedihkan dari kehidupan yang dirampas.
Di kamp-kamp pengungsian, tidak ada cukup air untuk mandi, mencuci pakaian, atau bahkan membersihkan luka.
Air tercemar mengancam nyawa warga Gaza
Seiring dengan merosotnya pasokan air, lonjakan kontaminasi air menjadi ancaman nyata yang menambah penderitaan warga Gaza.
Otoritas Air dan Kementerian Kesehatan Gaza memperingatkan bahwa air yang tersisa kini mengandung tingkat pencemaran yang membahayakan, menyusul kerusakan besar pada jaringan distribusi dan pengolahan air akibat perang.
Laporan Dana Anak PBB (UNICEF) tertanggal 9 Mei mengungkap bahwa antara 65 hingga 70 persen sistem air Gaza telah hancur.
Infrastruktur yang tersisa tak mampu lagi menyalurkan air melalui jalur pipa lama, memaksa tim kemanusiaan mendistribusikan air dengan truk.
Namun, kendala besar berupa kekurangan bahan bakar membuat upaya tersebut nyaris lumpuh.
Juru bicara UNICEF, Jonathan Crickx, menyatakan bahwa minimnya pasokan bahan bakar tak hanya memperlambat pengiriman air, tetapi juga menyebabkan stasiun desalinasi tidak bisa beroperasi.
“Anak-anak adalah pihak yang paling menderita dalam perang ini. Kami menyaksikan setiap hari bagaimana mereka kehilangan nyawa karena kelaparan dan kehausan. Banyak dari mereka berjalan bermil-mil demi sesuap makanan atau setetes air,” kata seorang relawan distribusi air dalam laporan UNICEF.
Menurut laporan itu, 90 persen keluarga di Gaza kesulitan besar untuk mendapatkan air minum, bahkan air untuk membersihkan bayi yang baru lahir pun tak tersedia.
Ayman Ramalawi, dari Kementerian Kesehatan Gaza, mengungkap bahwa tingkat pencemaran air melonjak drastis dari 4 persen sebelum perang menjadi 25 persen.
Penyebab utamanya adalah kerusakan menyeluruh pada jaringan air bersih, saluran pembuangan, sumur, dan stasiun pengolahan, ditambah dengan larangan masuknya bahan-bahan sterilisasi.
Otoritas Air Palestina sebelumnya telah memperingatkan risiko penyebaran penyakit akibat limbah domestik yang dibuang ke wilayah permukiman dan kolam penampungan hujan yang meluap.
Ramalawi menyatakan bahwa 90 persen keluarga di Gaza—terutama para pengungsi—mengalami ketidakamanan air.
Air yang tersedia bahkan tidak cukup untuk keperluan kebersihan dasar, mengakibatkan mewabahnya penyakit seperti diare berdarah, hepatitis A, polio, dan gagal ginjal, yang semuanya berkaitan dengan konsumsi air terkontaminasi dan hasil pertanian yang disiram dengan air limbah.
Krisis air dan bahaya lingkungan
Di daerah Al-Mawasi, Khan Younis, selatan Gaza, penyakit kudis menyebar luas. Menurut Ramalawi, hal itu terjadi akibat penumpukan sampah, kehadiran hewan liar, dan lingkungan yang mendukung berkembangbiaknya serangga pembawa penyakit.
Sebelum konflik, Gaza memiliki antara 250 hingga 260 sumur air tanah yang berfungsi aktif. Namun kini, hanya tersisa sekitar 118 sumur yang masih beroperasi.
Jumlah itu terus berkurang karena serangan udara, pengungsian massal, dan evakuasi paksa.
Ramalawi juga menjelaskan bahwa kamp-kamp pengungsi bergantung pada sistem septic tank darurat untuk mengelola limbah, yang sangat berisiko mencemari air tanah dan memicu wabah yang lebih luas.
Dampak lain dari krisis ini adalah berhentinya pengolahan air limbah. Karena kekurangan bahan bakar dan kondisi yang membahayakan di sekitar lokasi fasilitas pengolahan, limbah domestik kini langsung dialirkan ke laut tanpa proses apapun.
Ini menyebabkan peningkatan pencemaran lingkungan laut dan pantai yang mengancam ekosistem serta mata pencaharian nelayan.
“Situasi bisa semakin memburuk,” kata Ramalawi.
Ia menekankan bahwa penutupan perbatasan, larangan masuknya bahan bakar dan suplai vital, serta pembatasan bantuan, membuat warga tidak mampu memenuhi kebutuhan air harian mereka.
Bahkan untuk bertahan satu hari saja, mereka harus mengandalkan keajaiban.
Sejak 2 Maret lalu, Israel terus menutup akses bantuan yang menumpuk di perbatasan, menjerumuskan Gaza ke jurang kelaparan.
Serangan militer yang dimulai pada 7 Oktober 2023 telah menyebabkan lebih dari 175.000 warga Palestina menjadi korban tewas atau luka, mayoritas adalah perempuan dan anak-anak.
Lebih dari 11.000 orang masih hilang, dan ratusan ribu lainnya mengungsi tanpa arah, bertahan hidup di tengah kehancuran, haus, dan harapan yang makin menipis.