Ribuan aktivis, pegiat hak asasi manusia, dan warga sipil dari lebih dari 50 negara bergabung dalam aksi Global March to Gaza untuk menuntut diakhirinya pengepungan Israel atas Jalur Gaza dan menghentikan perang yang telah menimbulkan krisis kemanusiaan yang mendalam.
Aksi ini bertujuan mengantarkan bantuan kemanusiaan mendesak ke Gaza, menunjukkan solidaritas dengan rakyat Palestina, meningkatkan kesadaran global terhadap situasi di lapangan, serta memperbesar tekanan internasional terhadap Israel melalui pemberitaan media.
Menurut penyelenggara, gerakan ini muncul sebagai bentuk keputusasaan atas kegagalan lembaga-lembaga internasional dan negara-negara dunia menghentikan agresi maupun meringankan blokade yang telah berlangsung selama lebih dari dua tahun.
March ini dideklarasikan sebagai gerakan non-politis dan dibiayai secara mandiri oleh para pesertanya, tanpa penggalangan dana daring, guna menjaga independensi.
Siapa saja yang terlibat dalam aksi ini?
Konvoi Sumud (“Keteguhan”) yang menjadi bagian dari aksi ini didukung oleh sejumlah organisasi internasional, termasuk Serikat Buruh Umum Tunisia, Asosiasi Pengacara Nasional, Liga HAM Tunisia, dan Forum Tunisia untuk Hak Ekonomi dan Sosial.
Peserta juga berasal dari berbagai kelompok akar rumput seperti Palestinian Youth Movement, Codepink Women for Peace dari Amerika Serikat, serta Jewish Voice for Labour dari Inggris. Peserta dari Polandia dan Wales turut bergabung baru-baru ini, memperluas cakupan keikutsertaan dari lebih 50 negara.
Lebih dari 1.000 peserta telah mengikuti etape yang dimulai dari Tunisia. Setelah melewati wilayah Libya, peserta berkumpul di Kairo pada Kamis. Mereka kemudian dijadwalkan melanjutkan perjalanan dengan bus ke Al-Arish pada Jumat, dan memulai long march sejauh 48 kilometer menuju Rafah.
Setibanya di perbatasan Rafah, para peserta berencana menggelar aksi duduk damai selama tiga hari sebelum kembali ke Kairo pada 19 Juni.
Bagaimana reaksi terhadap aksi ini sejauh ini?
Di Libya, konvoi disambut meriah oleh warga saat melintasi kota Zawiya. Meski sempat tertahan dan mengalami pemeriksaan keamanan ketat, otoritas setempat akhirnya mengizinkan konvoi melanjutkan perjalanan.
Di media sosial, aksi ini mendapatkan dukungan luas dari para aktivis dan tokoh publik dunia.
Namun, pemerintah Israel menyerukan kepada Mesir untuk mencegah konvoi solidaritas ini mendekati perbatasan Gaza. Menteri Pertahanan Israel Yisrael Katz menyebut para peserta sebagai “demonstran jihadis” dan memperingatkan bahwa aksi semacam itu dapat membahayakan tentara Israel.
Merespons tekanan tersebut, pemerintah Mesir menegaskan bahwa warga asing yang hendak menyeberang ke Gaza wajib mengajukan permohonan resmi dan mendapat persetujuan sebelumnya.
Apakah aksi ini kemungkinan akan berhasil?
Penyelenggara menyadari adanya risiko besar, termasuk pencegahan atau penahanan. Namun, mereka menyatakan siap untuk terus melanjutkan aksi secara damai.
Dalam pernyataan resminya, tim Global March to Gaza mengatakan bahwa tim hukum yang terdiri atas pakar hukum internasional telah disiapkan untuk mengantisipasi segala kemungkinan di perbatasan.
“Kekuatan kami terletak pada visibilitas dan dukungan diplomatik. Jika ribuan warga sipil damai ditahan atau dipulangkan, dunia akan mengetahuinya,” demikian pernyataan mereka.
Mereka percaya bahwa respons represif justru dapat menimbulkan tekanan internasional yang belum pernah terjadi sebelumnya dan memperburuk citra negara yang mencoba membungkam gerakan ini.