Aktivis asal Brasil, Thiago Ávila, memulai aksi mogok makan dan minum setelah ditahan oleh otoritas Israel di atas kapal bantuan Madleen yang menuju Gaza. Informasi ini disampaikan oleh kelompok hak asasi manusia Israel, Adalah, pada Selasa (10/6/2025).
Pasukan Israel diketahui mencegat kapal tersebut di perairan internasional pada Senin pagi dan menahan 12 aktivis dari berbagai negara, termasuk Brasil, Prancis, Belanda, Jerman, Swedia, Spanyol, dan Turki. Kelompok tersebut tengah berupaya mengantarkan bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza, menantang blokade yang diberlakukan oleh Israel.
Empat aktivis, termasuk aktivis iklim asal Swedia Greta Thunberg, telah dideportasi pada Selasa. Sementara delapan lainnya, yang menolak menandatangani surat deportasi, saat ini ditahan di Penjara Givon, Ramla.
Menurut Adalah, kedelapan aktivis tersebut dihadirkan di pengadilan penahanan Ramla untuk menghadapi proses hukum terkait perintah deportasi yang dikeluarkan Kementerian Dalam Negeri Israel.
Tim hukum Adalah — yang terdiri dari pengacara Hadeel Abu Saleh, Lubna Toma, dan relawan Afnan Khalifa — menyatakan dalam sidang selama lima jam bahwa penangkapan kapal Madleen, yang merupakan bagian dari Koalisi Freedom Flotilla, melanggar hukum internasional.
Koalisi ini bertujuan untuk menentang blokade Israel terhadap Gaza yang dinilai sebagai bentuk hukuman kolektif. Tim hukum menyebut bahwa para aktivis secara paksa dibawa dari perairan internasional ke Israel dan dituduh sebagai “penyusup ilegal” tanpa dasar hukum yang jelas.
Lebih lanjut, mereka menyatakan bahwa blokade tersebut bertujuan untuk memiskinkan dan membuat kelaparan penduduk Gaza, serta melanggar langkah-langkah sementara yang telah diperintahkan Mahkamah Internasional dalam kasus dugaan genosida yang diajukan Afrika Selatan terhadap Israel.
Tim hukum Adalah menegaskan bahwa para aktivis bertindak dalam kerangka hukum internasional saat mencoba mengirimkan bantuan kemanusiaan ke Gaza, yang saat ini menghadapi ancaman kelaparan akut. Mereka mendesak agar para aktivis segera dibebaskan tanpa syarat dan dikembalikan ke kapal Madleen untuk melanjutkan misi kemanusiaan sebelum kembali ke negara asal masing-masing.
Menurut para aktivis yang ditahan, mereka merasa telah “diculik” dan dibawa secara paksa ke wilayah Israel. Mereka menegaskan bahwa tujuan utama mereka hanyalah untuk menembus blokade dan menyalurkan bantuan ke Gaza. Mereka juga mengeluhkan kondisi penahanan yang tidak layak, termasuk adanya kutu busuk di tempat tidur dan air keran yang tidak layak dikonsumsi.
Pihak berwenang Israel meminta agar para aktivis tetap ditahan berdasarkan Undang-Undang Imigrasi Israel, yang memungkinkan penahanan hingga 72 jam bagi individu yang menolak keluar dari wilayah Israel secara sukarela.
Keputusan pengadilan atas kasus ini diperkirakan akan diumumkan dalam waktu dekat.
Sejak dimulainya kampanye militer Israel ke Gaza pada Oktober 2023, menyusul serangan Hamas, otoritas kesehatan di Gaza melaporkan bahwa hampir 55.000 warga Palestina telah tewas, sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak.
Pada November lalu, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) telah mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Israel juga tengah menghadapi gugatan genosida di Mahkamah Internasional terkait operasi militernya di Gaza.