Oleh: Rifqi Rashidi, Lc., MA
“Bait-bait ini termasuk bagian yang wajib… yang mengikat hati seorang Muslim.”
— At-Tuhfah Al-Maqdisiyyah, Bait ke-2
Bayangkan sebuah tempat yang menjadi saksi pijakan Nabi Muhammad ﷺ sebelum naik ke langit. Tempat itu bukan hanya bangunan tua yang diperebutkan, tapi sebuah amanah suci Masjid Al-Aqsa di kota Al-Quds.
Bagi sebagian orang, isu Palestina terasa jauh. Tapi bagi seorang Muslim, ini bukan perkara jarak, melainkan perkara hati. Dan itulah yang diangkat dalam bait-bait awal Mandhumah At-Tuhfah Al-Maqdisiyyah sebuah syair penuh makna tentang kemuliaan Al-Aqsa.
Tiga Bait Pembuka yang Menggugah Nurani
Bait 1
أحمدُ ربي بارئَ الأكوانِ
مُصلياً على النبي العدنانِي
Aku memuji Rabbku, Pencipta alam semesta,
seraya bershalawat kepada Nabi dari keturunan Adnan.
Bait 2
وهذِهِ الأبياتُ في المُحَتَّمِ
عليهِ عقدُ القلبِ عندَ المسلمِ
Bait-bait ini termasuk hal yang wajib,
yang mengikat hati seorang Muslim.
Bait 3
عن مسجدِ الأقصى وبيتِ المقدسِ
الذي حرّره مولى من المدنِ
Tentang Masjid Al-Aqsa dan Baitul Maqdis,
yang telah dibebaskan oleh Tuhan dari segala kekotoran.
Al-Quds bukan sekadar konflik, ini soal iman
Kalau kita melihat Palestina hanya dari kacamata geopolitik, mungkin kita hanya akan peduli ketika media memberitakan kekerasan. Tapi bagi umat Islam, Al-Quds adalah cermin keimanan. Cinta pada tanah suci ini bukan sekadar empati ia bagian dari iman yang hidup.
Dalam bait ke-2, disebut bahwa bait-bait ini “muhattam” hal yang penting, mendasar, bahkan wajib. Artinya, membicarakan Al-Aqsa bukan sekadar nostalgia sejarah atau isu kemanusiaan. Ini bagian dari identitas seorang Muslim.
Keimanan yang hidup, bukan sekadar pengakuan
Imam Al-Muzanim salah satu murid Imam Syafi’i pernah menjelaskan bahwa iman itu mencakup:
- Keyakinan dalam hati
- Ucapan dengan lisan
- Amal nyata dengan anggota tubuh
Kalau kita tarik ke konteks Palestina, maka:
- Kita yakin Al-Aqsa itu suci dan milik umat Islam
- Kita berucap dengan doa, ceramah, tulisan, dan ajakan
- Kita beramal — dengan waktu, harta, tenaga, bahkan sekadar berbagi informasi yang benar
Membela Al-Aqsa bukanlah tren. Ia adalah tanggung jawab yang muncul dari cinta yang dalam.
Masjid yang dibebaskan dari kekotoran
Bait ketiga menyebut bahwa Al-Aqsa telah dibebaskan oleh Allah. Kata “harrarahu Mawlā” bukan sekadar kiasan. Artinya, fitrah Al-Aqsa adalah kebebasan dan kemuliaan. Maka ketika hari ini ia dipenjara oleh penjajahan dan kekerasan, kita tahu: ada yang sedang melawan fitrah ilahi.
Al-Aqsa bukan sekadar masjid. Ia adalah kiblat pertama, tempat Isra’, dan simbol harga diri umat. Sayangnya, ia kini dikepung, dikhianati, dan coba dilenyapkan dari kesadaran Muslimin.
Seberapa dalam cinta kita pada Islam?
Pertanyaan ini mungkin terasa tajam, tapi perlu kita hadapi:
Jika cinta kepada Al-Aqsa tidak lagi menggerakkan kita, masihkah kita bisa bilang kita mencintai Islam sepenuh hati?
Rasulullah ﷺ tidak hanya mencintai Mekkah dan Madinah. Beliau ﷺ menyebut Al-Aqsa dalam hadits-haditsnya. Bahkan, saat Isra’, beliau memimpin para nabi dalam shalat di masjid itu ialah simbol kepemimpinan ruhiyah dan peradaban.
Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi pernah mengingatkan:
“Membela Masjid Al-Aqsa bukan hanya kewajiban bangsa Arab, tapi seluruh umat Islam.”
Jangan biarkan nama Al-Aqsa hanya jadi retorika
Berapa kali nama Al-Aqsa kita dengar dalam khutbah, ceramah, atau spanduk? Tapi apakah kita benar-benar terhubung dengan tanah itu?
وهذِهِ الأبياتُ في المُحَتَّمِ
عليهِ عقدُ القلبِ عندَ المسلمِ
“Bait-bait ini termasuk hal yang wajib,
yang mengikat hati seorang Muslim.”
Jika hati kita tidak lagi bergetar saat mendengar nama Al-Quds, mungkin saatnya kita muhasabah: Masihkah iman kita hidup atau hanya tinggal nama?
Penulis adalah Penerjemah At-Tuhfah Al-Maqdisiyyah
Catatan: Artikel ini diadaptasi dari bait 1–3 Mandhumah At-Tuhfah Al-Maqdisiyyah, karya Dr. Al-Bashir Issom Al-Marokishi, dengan penjelasan oleh Rifqi Rashidi, Lc., MA.