Sejumlah pakar dan analis politik sepakat bahwa telah terbentuk aliansi luas di dunia Barat yang menentang Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, dan pemerintahan sayap kanan ekstremnya.
Penolakan ini bukan ditujukan pada negara Israel atau militernya secara keseluruhan, melainkan lebih kepada arah kebijakan pemerintah saat ini, khususnya dalam perang di Jalur Gaza.
Fenomena ini mencerminkan perubahan sikap yang signifikan dari negara-negara Barat terhadap Israel.
Andreas Krieg, dosen studi keamanan di King’s College London, menyatakan bahwa Netanyahu telah kehilangan dukungan bahkan dari kalangan tradisional yang selama ini pro-Israel, termasuk komunitas Yahudi di Amerika Serikat (AS), Kanada, dan Eropa.
“Opini publik di Barat, termasuk di kalangan muda Yahudi, kini semakin memandang Netanyahu sebagai sosok yang menyimpang,” ujar Krieg.
Hal ini menandai pergeseran mendalam dalam persepsi terhadap kepemimpinan Israel.
Senada dengan itu, peneliti senior di Al Jazeera Centre for Studies, Liqaa Makki, menilai bahwa Israel kini menjadi beban moral bagi Barat.
“Terutama bagi negara-negara Eropa yang dulu turut menciptakan negara tersebut,” katanya.
Bahkan Jerman, lanjutnya, yang biasanya bungkam karena alasan sejarah, mulai kesulitan mempertahankan sikap diamnya.
Menurut Krieg, dalam upaya meredam tekanan internasional, Netanyahu kembali memainkan narasi “anti-Semitisme”, seolah-olah kritik terhadap Israel adalah bentuk kebencian terhadap Yahudi.
Namun, strategi ini dinilai semakin melemah karena penyalahgunaannya yang berulang.
Makki menambahkan bahwa Netanyahu dan Menteri Luar Negeri Israel, Gideon Sa’ar, mencoba mengalihkan perhatian publik dari gelombang kritik Eropa dengan memanfaatkan kematian diplomat Israel di Washington.
“Mereka kembali memainkan peran korban untuk menekan para pemimpin Eropa agar menghentikan kritik terhadap Israel,” ujarnya.
Posisi Barat
Pengamat urusan Israel, Sari Orabi, menyebut bahwa negara-negara Barat sebenarnya tidak ingin Israel dilemahkan.
Namun, mereka mulai melihat penggulingan Netanyahu sebagai langkah yang justru menyelamatkan stabilitas Israel jangka panjang.
“Menumbangkan Netanyahu bukan ancaman bagi entitas Israel, malah dilihat sebagai langkah penyelamatan,” jelas Orabi.
Menurutnya, institusi militer dan keamanan Israel tetap kuat dan tidak bergantung pada satu figur.
Krieg mencatat bahwa sebelumnya banyak politisi di Inggris dan Uni Eropa takut untuk mengkritik Netanyahu.
Namun kini, rasa takut itu telah menghilang dan para pemimpin mulai bersuara lebih tegas.
“Transformasi ini mencerminkan kesadaran baru akan perlunya kebijakan yang lebih tegas terhadap Israel,” ujarnya.
Makki bahkan menyebut bahwa hampir seluruh Eropa telah bergerak menjauh dari Israel.
“Setelah Eropa bergerak, akan sangat sulit untuk menghentikan momentum ini,” katanya, menyinggung langkah beberapa negara seperti Belanda yang mulai mengambil posisi lebih kritis.
Meski mendapat tekanan internasional dan domestik, para analis meyakini Netanyahu akan terus mempertahankan kebijakan kerasnya.
Makki menyebut bahwa persoalan ini telah menjadi personal bagi Netanyahu.
“Ia sudah mengeliminasi lawan-lawan politiknya dan memanfaatkan perang untuk mengendalikan opini publik serta menghindari penyelidikan hukum,” ujarnya.
“Netanyahu tahu bahwa meski Barat membencinya atau ingin menggantinya, mereka tidak akan rela kehilangan Israel. Ia menjadikan Israel sebagai tameng atau bahkan sandera untuk mempertahankan kekuasaannya,” ujar Makki.
Krisis konstitusional
Ketegangan internal juga makin terasa, setelah Netanyahu menunjuk kepala baru dinas keamanan dalam negeri (Shin Bet) tanpa berkonsultasi dengan Kepala Staf Angkatan Bersenjata, Eyal Zamir.
Orabi menyebut hal ini sebagai “krisis konstitusional” yang menunjukkan perebutan kekuasaan antara pemerintah dan lembaga hukum Israel.
Penunjukan ini dinilai sebagai bagian dari upaya kelompok religius-nasionalis untuk menguasai institusi-institusi penting negara.
Setelah memegang kendali atas militer, mereka kini berupaya menguasai Shin Bet sebagai alat kontrol domestik.