Di tengah memburuknya krisis kemanusiaan di Jalur Gaza, para pengamat memperingatkan bahwa Israel berupaya menjadikan bantuan kemanusiaan sebagai alat untuk mencapai tujuan militernya. Termasuk mendorong pengungsian warga secara sistematis.
Sementara itu, dunia internasional dinilai belum mengambil langkah nyata untuk menghentikan kebijakan pengepungan yang semakin memperburuk kondisi penduduk Gaza.
Sejak dua bulan terakhir, semua jalur masuk ke Gaza ditutup rapat. Kelangkaan pangan dan obat-obatan kini mencapai tingkat kritis.
Dalam wawancara dengan Al Jazeera, juru bicara Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA), Olga Cherevko, menggambarkan situasi di Gaza sebagai “mimpi buruk”, dengan suplai makanan dan obat-obatan yang nyaris habis.
Data dari OCHA menyebutkan sekitar 10.000 anak di Gaza mengalami malnutrisi akut hanya dalam beberapa bulan pertama tahun ini, sebagai dampak langsung dari blokade ketat yang diberlakukan oleh Israel.
Meski kecaman internasional terhadap Israel terus bermunculan, para pengamat menilai respons dunia cenderung pasif.
Dr. Hosni Abidi, pakar hubungan internasional dari Universitas Jenewa, menyebut bahwa negara-negara Eropa terpecah dalam sikap terhadap Israel.
Ia berpendapat bahwa mereka juga kerap menempatkan kepentingan ekonomi serta aliansi militer di atas nilai-nilai kemanusiaan.
“Eropa tidak berniat menekan Israel”
Dalam program Masar Al-Ahdath (Lintasan Peristiwa), Abidi menilai alasan Eropa bahwa mereka sekadar “donatur” bukan “pelaku” dalam konflik ini adalah keliru.
“Faktanya, Uni Eropa adalah mitra dagang terbesar Israel, bukan Amerika Serikat,” tegasnya.
Ia juga menyebut langkah Norwegia yang meminta pendapat hukum dari Mahkamah Internasional sebagai “terlalu lambat” untuk situasi yang sudah terang-terangan melanggar hukum internasional.
Abidi menilai strategi kelaparan ini adalah bagian dari upaya Israel menekan warga sipil agar memberontak terhadap Hamas dan menyerahkan tawanan dengan persyaratan yang diinginkan Israel.
“Ini bukan sekadar kelalaian, ini instrumen tekanan,” katanya.
Dengan minimnya tekanan dari dunia Arab maupun internasional, Israel mencoba menjadikan isu bantuan sebagai bagian dari perundingan tawanan.
Menurut Abidi, Amerika Serikat kemungkinan akan mencari jalan tengah untuk memasukkan bantuan, karena tekanan publik terhadap Washington kini mulai menguat.
Janji internasional yang hampa
Beberapa hari lalu, menteri luar negeri Inggris, Prancis, dan Jerman mengeluarkan pernyataan bersama yang mendesak Israel membuka akses bantuan tanpa hambatan sesuai hukum internasional.
Mereka menegaskan bahwa pelarangan bantuan “tidak dapat diterima”.
Presiden AS Donald Trump juga menyatakan bahwa ia telah membahas isu bantuan kemanusiaan ini dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
Trump berjanji Amerika akan menjamin distribusi bantuan demi meringankan penderitaan warga Gaza.
Namun, pengamat melihat pernyataan ini belum cukup untuk mengubah realitas di lapangan.
Tanpa tekanan nyata, penderitaan warga Gaza diperkirakan akan terus berlanjut—dan bantuan pun bisa berubah menjadi senjata politik.
Tak ada jalan lain selain menghentikan perang
Sementara Israel terus mengulur waktu dengan dalih mencari mekanisme distribusi bantuan kemanusiaan, situasi di Gaza semakin memburuk.
Dr. Einar Gunnarsson, perwakilan dari organisasi kemanusiaan Norwac dan juga seorang dokter yang bertugas di Gaza, menggambarkan kondisi yang sangat mengkhawatirkan.
Dalam wawancara dari Rumah Sakit Eropa di Gaza, tempat ia bertugas sejak dua pekan terakhir, Gunnarsson menegaskan bahwa penduduk Gaza sudah tak lagi mampu menanggung beban penderitaan ini.
Ia menyampaikan bahwa kondisi pasien, korban luka, hingga tenaga kesehatan berada pada titik nadir.
Mereka kekurangan peralatan medis paling dasar. Kelangkaan obat bius dan fasilitas perawatan pascaoperasi membuat para dokter terpaksa menggunakan metode pengobatan yang telah usang dan tak dipakai sejak tiga dekade lalu.
Di tengah keterbatasan itu, angka malnutrisi meningkat, infeksi akibat luka terbuka merebak, dan nyawa manusia kian terancam setiap hari.
Namun, menurut Gunnarsson, semua upaya penyelamatan ini hanya akan menjadi sia-sia jika serangan udara tidak segera dihentikan.
Bantuan kemanusiaan yang mendesak pun tak akan berarti jika tidak bisa masuk secara aman dan cepat.
“Penduduk di sini sudah sangat menderita. Perang ini harus dihentikan,” tegasnya.
Dugaan skema pemindahan warga
Sementara itu, di balik retorika internasional mengenai distribusi bantuan, sejumlah pihak menilai bahwa apa yang terjadi di Gaza tak lepas dari strategi politik dan militer jangka panjang.
Dr. Mohannad Mustafa, pengamat urusan Israel, menilai bahwa tindakan Israel tidak akan terjadi tanpa restu Amerika Serikat (AS).
Pernyataan mantan Presiden AS Donald Trump tentang pentingnya menyelesaikan krisis kelaparan, menurutnya, hanya menjadi pembenaran politis yang menutupi realitas di lapangan.
Mustafa merujuk pada rencana pembentukan zona distribusi bantuan di kawasan Al-Mawasi, selatan Gaza, yang disebut akan dikelola oleh perusahaan-perusahaan swasta asal AS.
Baginya, inisiatif ini lebih mirip sebuah kampanye pencitraan ketimbang solusi nyata.
“Tujuannya adalah memaksa penduduk Gaza berkumpul di wilayah terbatas, sebagai langkah awal menuju pengusiran massal,” ujarnya.
Dalam situasi militer yang kian memburuk dan kontrol ketat Israel terhadap pergerakan warga, Mustafa menilai tidak masuk akal bila warga sipil diharapkan berpindah-pindah wilayah untuk mencari bantuan.
Israel, katanya, tidak menunjukkan toleransi sedikit pun terhadap mobilitas penduduk. Bahkan, orang bisa terbunuh hanya karena kecurigaan semata.
Ia juga memperingatkan bahwa pembatasan wilayah dengan dalih zona aman bisa menjadi jalan menuju aneksasi de facto.
“Mungkin saja mereka ingin memaksa warga tetap tinggal di zona tertentu sementara bagian lain dari Gaza diubah menjadi wilayah militer,” tambahnya.
Fakta bahwa Israel menolak untuk menjalankan sendiri distribusi bantuan menunjukkan keengganan untuk memikul tanggung jawab sebagai kekuatan pendudukan.
Lebih jauh, Mustafa menyimpulkan bahwa Israel sengaja menghindari pengakuan atas statusnya sebagai negara pendudukan.
Tujuannya agar terbebas dari kewajiban hukum internasional terhadap warga Palestina.
Dalam skenario ini, bantuan kemanusiaan tidak lagi berdiri sebagai bentuk solidaritas, melainkan dimanfaatkan untuk mencapai target-target militer.
Apa pun alasannya, situasi di Gaza tak bisa terus dibiarkan. Bantuan kemanusiaan memang penting, tetapi upaya itu akan sia-sia jika tidak dibarengi dengan penghentian total terhadap agresi militer.
Jalan keluar satu-satunya adalah menghentikan perang. Tanpa itu, penderitaan di Gaza hanya akan terus bertambah, dan kemanusiaan kehilangan makna sejatinya.