Para analis dan pengamat politik sepakat bahwa intervensi Israel di Suriah dan Lebanon merupakan bagian dari strategi ekspansionis yang bertujuan membentuk ulang tatanan kawasan sesuai dengan kepentingan geopolitik Tel Aviv.
Dalam kondisi ketiadaan penyeimbang, baik secara regional maupun internasional, manuver tersebut kian agresif.
Dalih melindungi komunitas Druze, menurut para pengamat, hanyalah kedok untuk kepentingan yang lebih dalam dan luas.
Dalam program “Masar al-Ahdath” (Arah Peristiwa), penulis dan pengamat politik, Mahmoud Alloush, menilai bahwa tindakan Israel di Suriah mencerminkan upaya sistematis untuk memaksakan visinya terhadap “Suriah baru”. Yakni negara lemah dan terfragmentasi secara federal.
Rabu lalu (30/4), militer Israel mengumumkan telah melancarkan serangan peringatan terhadap kelompok yang diklaim sebagai “ekstremis”.
Mereka disebut tengah bersiap menyerang komunitas Druze di wilayah Ashrafiyat Sahnaya, pinggiran Damaskus.
Pernyataan ini dibarengi dengan konfirmasi dari Kementerian Dalam Negeri Suriah bahwa wilayah tersebut memang menjadi sasaran serangan udara Israel.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanannya, Israel Katz, dalam pernyataan bersama menyebut bahwa pesan jelas telah disampaikan kepada rezim Suriah.
Israel mengharapkan tindakan konkret untuk melindungi komunitas Druze dari potensi serangan.
Alloush berpendapat bahwa penggunaan isu Druze hanyalah pintu masuk bagi Israel untuk memperkuat cengkeramannya atas Suriah.
Menurutnya, ironi terbesar dari intervensi ini adalah bahwa komunitas Druze justru bisa menjadi korban pertama akibat keterlibatan Israel.
Karena, katanya, mereka ditarik ke dalam pusaran permusuhan terhadap negara dan kelompok-kelompok lokal lainnya.
Druze sebagai alat strategi
Pengamat urusan Israel, Muhannad Mustafa, menyoroti peran pemimpin spiritual Druze di Israel, Sheikh Mowafaq Tarif.
Ia menyebutnya sebagai “roda kecil” dalam mesin strategi Israel terhadap Suriah.
Menurut Mustafa, Israel mengeksploitasi tokoh ini untuk membenarkan langkah-langkah militernya di wilayah tetangga.
Mustafa juga menilai bahwa Israel kini telah menetapkan batas baru keberadaannya di Suriah, terutama dengan mempertahankan “zona penyangga” di selatan negara tersebut.
Ia meragukan kemungkinan Israel akan menarik diri dari kawasan ini, kecuali jika menghadapi tekanan dalam 3 bentuk.
Yaitu, kekuatan militer, kesepakatan dengan rezim Suriah, atau tekanan internasional — yang ketiganya, menurut dia, belum tampak saat ini.
Dalam kaitannya dengan dukungan global, jurnalis senior Haaretz, Gideon Levy, mengungkapkan bahwa Israel memandang situasi saat ini sebagai peluang strategis.
Terutama, lanjutnya, dengan sokongan yang tak terduga dari mantan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan melemahnya respons dari komunitas internasional, termasuk Uni Eropa dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Levy menyebut bahwa Israel melihat peluang ini sebagai momen untuk memperluas batas wilayah dan melemahkan lawan-lawannya.
Namun, ia mempertanyakan efektivitas pendekatan militer yang agresif ini.
“Tidak ada jaminan Israel akan keluar lebih kuat dari rangkaian serangan ini,” katanya.
Target: Hizbullah
Di Lebanon, perhatian Israel menurut Alloush tertuju pada Hizbullah. Ia menilai bahwa konflik yang berlangsung sejak 7 Oktober 2023 menjadi peluang bagi Israel untuk melemahkan, atau bahkan mengakhiri, eksistensi kelompok tersebut.
Namun, agenda ini tidak hanya mengancam Lebanon dan Suriah, melainkan juga menimbulkan ketegangan bagi seluruh kawasan.
Sementara itu, Mustafa mengungkapkan bahwa publik Israel belum menunjukkan sikap yang jelas terhadap berbagai front konflik — baik di Lebanon, Suriah, maupun Tepi Barat.
Fokus utama masyarakat, menurutnya, masih tertuju pada Gaza, khususnya dalam konteks nasib para sandera.
Ada kekhawatiran bahwa eskalasi lebih lanjut justru akan memperbesar risiko korban jiwa di antara para sandera tersebut.
Diskursus internal di Israel, tambah Mustafa, baru akan mengemuka jika negara itu mulai merasakan “harga” dari konflik — baik berupa korban, tekanan diplomatik, atau sanksi internasional.
Peta negosiasi dan kepentingan Turki
Menyoal jalur diplomatik, Alloush menekankan bahwa kepentingan Turki tidak bisa diabaikan dalam konteks Suriah.
Ia mengungkap bahwa bahkan dalam pertemuan antara Trump dan Netanyahu di Gedung Putih, eks Presiden AS itu menekankan pentingnya peran Turki dalam menyusun strategi Israel terhadap Suriah.
Sejak 2 April lalu, menurut Alloush, aktivitas militer Israel di langit Suriah terhenti setelah Trump menetapkan sejumlah garis merah.
Ini membuka ruang bagi negosiasi antara Israel dan Turki terkait isu Suriah, serta adanya kemungkinan dimulainya jalur perundingan antara Suriah dan AS.
Di sisi lain, kondisi internal Lebanon disebut Alloush masih belum memungkinkan terciptanya konsensus nasional, terutama dalam isu perlucutan senjata Hizbullah.
Tanpa solusi menyeluruh yang dapat diterima semua pihak, sangat kecil kemungkinan bahwa Israel akan mundur dari wilayah yang masih didudukinya.