Friday, December 5, 2025
HomeBeritaAnalis: Kematian Abu Syabab pukulan bagi Israel

Analis: Kematian Abu Syabab pukulan bagi Israel

Di tengah ketegangan politik dan militer yang terus meningkat, tewasnya Yasser Abu Syabab—pemimpin kelompok bersenjata yang beroperasi di timur Rafah, Gaza selatan—mengubah kembali lanskap dinamika Gaza, Tel Aviv, hingga Washington.

Peristiwa itu terjadi bersamaan dengan berakhirnya fase pertama kesepakatan gencatan senjata dan pertukaran tawanan.

Sementara persiapan menuju fase kedua masih berlangsung di tingkat politik.

Menurut pakar urusan Israel, Muhannad Mustafa, kematian Abu Syabab merupakan “pukulan bagi Israel”.

Ia menilai, sepanjang sejarah pendudukan, Israel kerap bertumpu pada pembentukan kelompok-kelompok bersenjata lokal—yang ia sebut sebagai “milisi bayaran dan kelompok kriminal”—untuk dijadikan instrumen keamanan dan pemerintahan alternatif di wilayah pendudukan.

Dalam pandangannya, Tel Aviv berharap kelompok semacam ini mampu “menakut-nakuti warga Palestina” sekaligus membantu memaksakan agenda Israel di Jalur Gaza.

Namun, kalkulasi strategis Israel, ujar Mustafa, kini bertumpu pada satu kartu utama: penguasaan lapangan atas hampir setengah wilayah Gaza.

Keunggulan inilah yang digunakan Israel sebagai tekanan dalam negosiasi fase kedua, terutama terkait desain pemerintahan pascaperang dan upaya pelucutan senjata Hamas.

Harian Yedioth Ahronoth sebelumnya menulis bahwa aparat keamanan Israel khawatir kematian Abu Syabab justru memperkuat posisi Hamas di Gaza.

Hilangnya sosok tersebut, menurut laporan itu, dipandang dapat melemahkan peluang Israel untuk membangun jaringan milisi lokal sebagai pengganti struktur otoritas atau kekuatan militer dalam skenario “hari berikutnya”.

Media itu juga mencatat bahwa fenomena “pembunuhan internal” di antara kelompok-kelompok milisi lokal di Gaza belakangan semakin meningkat.

Dari perspektif kawasan, Ibrahim Fraihat—pakar konflik internasional di Doha Institute—mengaitkan kasus ini dengan sejarah panjang gagalnya strategi Israel yang bertumpu pada milisi dan agen lokal, baik di Lebanon maupun Tepi Barat.

Ia menilai keheranan sebagian pihak di Israel atas jatuhnya Abu Syabab sebagai sesuatu yang tidak pada tempatnya.

Menurut Fraihat, peristiwa ini membawa “pesan kuat bahwa perlawanan masih hadir di lapangan”.

Ia menekankan pentingnya waktu kejadian, yang bertepatan dengan akhir fase pertama kesepakatan, pada saat Washington gagal membentuk kekuatan internasional setelah sejumlah negara menolak terlibat langsung akibat kekhawatiran berhadapan dengan Hamas.

Yasser Abu Syabab, kelahiran Rafah tahun 1990 dan berasal dari kabilah Tarabin, pernah ditahan atas kasus kriminal sebelum 7 Oktober 2023.

Ia dibebaskan setelah serangan Israel menghancurkan markas aparat keamanan di Gaza.

Namanya mulai dikenal luas pasca-serangan Brigade Izzuddin Al-Qassam terhadap unit mista’arvim (pasukan penyamar Israel) di timur Rafah pada 30 Mei 2025.

Unit tersebut mengungkap keberadaan kelompok agen lokal yang diduga bekerja di bawah komando “komplotan Yasser Abu Syabab”.

Fraihat juga menilai bahwa pesan politik dari peristiwa ini bukan hanya ditujukan kepada Israel tetapi juga kepada Washington.

Ia menggambarkan peran Abu Syabab lebih sebagai bagian dari “perang psikologis dan kegaduhan media” dengan dampak terbatas terhadap jalannya perang.

Sementara itu, dari sisi Amerika Serikat (AS), analis strategis Partai Republik, Jane Card, menyampaikan bahwa Presiden Donald Trump memandang situasi ini sebagai “momen yang sulit”.

Tetapi ia tidak menginginkan terjadinya perlambatan proses perdamaian yang ia klaim sedang dipimpinnya.

Card menambahkan bahwa insiden tersebut berpotensi memperlambat agenda yang ada, namun Trump “mengetahui posisinya sebagai pihak terkuat dalam hubungan itu”.

Selain itu Trump dinilai juga siap “memperbaiki kesepakatan jika uncul tanda-tanda keruntuhan”.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler