Rencana militer Israel untuk menduduki Kota Gaza dalam waktu empat bulan dinilai kurang realistis dan sulit diwujudkan di lapangan. Penilaian ini disampaikan oleh analis militer asal Lebanon, Brigjen (Purn) Elias Hanna, dalam laporan Al Jazeera pada Senin (18/8).
Menurut Hanna, operasi berskala panjang seperti ini sering kali disusun sebagai strategi psikologis dan politik dalam konteks perang. Namun pada kenyataannya, rencana semacam itu jarang benar-benar berjalan sesuai jadwal dan sering mengalami hambatan.
Pernyataan ini muncul setelah Dewan Kabinet Keamanan Israel menyetujui rencana pengambilalihan Kota Gaza dan kamp-kamp pengungsi di sekitarnya pekan lalu. Sementara itu, Kepala Staf Militer Israel, Letjen Eyal Zamir, mengesahkan tahap berikutnya dari operasi militer bernama “Kereta Perang Gideon” di Jalur Gaza, pada Ahad (17/8/2025).
Brigjen Hanna menyoroti catatan kegagalan militer Israel yang sering melewati batas waktu operasi yang ditargetkan, termasuk tenggat pada 27 Oktober dan akhir Desember 2023 yang lalu. Tenggat itu mencakup penyelesaian pertempuran, pembebasan sandera, dan penguasaan seluruh wilayah Gaza.
Ia juga mengutip pernyataan Kepala Staf sebelumnya, Herzi Halevi, yang menyebut bahwa pasukan Israel memerlukan waktu empat bulan hanya untuk menguasai Kota Gaza, dan bahkan bisa sampai satu tahun untuk “membersihkan” seluruh wilayah.
Hal ini menunjukkan bahwa target waktu yang diumumkan sangat ambisius dan penuh tantangan.
Selain itu, Hanna menilai kondisi saat ini justru semakin tidak menguntungkan bagi militer Israel dan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, yang tengah menghadapi tekanan hukum dari Mahkamah Pidana Internasional (ICC) terkait dugaan kejahatan perang di Gaza.
Operasi militer yang terus berlanjut ini justru semakin menguras tenaga pasukan Israel, apalagi dengan perlawanan sengit yang diberikan kelompok bersenjata Palestina di berbagai titik pertempuran.
Pertempuran yang diperkirakan akan semakin intens, terutama di pusat Kota Gaza dan kawasan kota tua, membuat Israel sulit menerapkan strategi pertempuran jarak dekat (close-quarter battle) secara efektif.
Karena itu, Hanna meyakini bahwa skenario pendudukan Gaza dalam empat bulan sulit terealisasi secara praktis. Jika perlawanan terus berlanjut, operasi ini bahkan bisa berlangsung bertahun-tahun.
Taktik Perlawanan yang Fleksibel
Lebih jauh, Hanna menjelaskan bahwa taktik yang digunakan kelompok bersenjata Palestina sangat fleksibel dan adaptif. Mereka menyesuaikan strategi sesuai manuver militer Israel dan perubahan situasi di lapangan.
Saat ini, fokus utama Israel adalah menguasai Kota Gaza. Militer Israel tengah melakukan konsolidasi dan penempatan pasukan untuk mempersiapkan operasi darat besar-besaran, dengan tekanan besar diarahkan ke wilayah strategis seperti Zaitun, Shuja’iya, dan Tuffah.
Namun, untuk melancarkan operasi besar tersebut, Israel perlu waktu tambahan guna mengatur rotasi pasukan, memanggil cadangan, serta mengevakuasi warga sipil. Situasi ini justru memberi kesempatan bagi kelompok perlawanan untuk memperkuat posisi dan meningkatkan serangan mereka.