Sunday, May 4, 2025
HomeBeritaAnalis: Netanyahu berencana kuasai Gaza dengan pindahkan paksa penduduknya

Analis: Netanyahu berencana kuasai Gaza dengan pindahkan paksa penduduknya

Pemerintah Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dinilai tengah mengupayakan pendudukan permanen atas Jalur Gaza disertai pemindahan paksa penduduknya.

Menurut para analis dan pakar militer, tujuan ini dikejar melalui pendekatan bertahap untuk menghindari terjerumus dalam perang yang lebih dalam dan berkepanjangan.

Langkah perluasan operasi militer disetujui Netanyahu setelah serangkaian pertemuan kabinet keamanan, yang disebut media lokal diwarnai perdebatan sengit bahkan pertengkaran antara unsur politik dan militer.

Surat kabar Yedioth Ahronoth melaporkan bahwa operasi akan diperluas dengan intensitas lebih tinggi, meski tidak langsung dalam skala besar. Eskalasi ini akan terus berjalan selama Hamas tidak membebaskan tawanan Israel.

Menurut analis militer asal Yordania, Mayor Jenderal Purnawirawan Fayez Al-Duwairi, strategi Israel saat ini mengandalkan metode “penggerusan bertahap”.

Yakni mendorong warga sipil keluar dari wilayah tertentu agar bisa disisir untuk mencari tawanan atau pejuang perlawanan.

Operasi “Gaza kecil”

Informasi yang bocor ke media Israel menyebut nama operasi terbaru sebagai “Gaza Kecil.”

Al-Duwairi menjelaskan, nama ini mencerminkan rencana pendirian kantong-kantong pemukiman sementara di antara dua poros strategis di Gaza, yaitu Salahuddin (juga dikenal sebagai Koridor Philadelphia) dan Morag.

Area ini akan digunakan untuk mengonsentrasikan penduduk yang telah dipaksa mengungsi.

Sementara itu, surat kabar Maariv melaporkan bahwa kabinet kecil Israel diperkirakan akan memutuskan mobilisasi besar-besaran pasukan cadangan.

Para tentara ini akan digerakkan untuk menggantikan pasukan reguler di Gaza, atau ditempatkan di garis depan operasi baru.

Namun, laporan lapangan menyebut bahwa hampir separuh dari pasukan cadangan yang dipanggil tidak kembali bertugas.

Al-Duwairi memperkirakan bahwa mereka yang tetap bersedia akan ditempatkan di perbatasan Suriah dan Lebanon untuk membebaskan pasukan reguler yang bisa digeser ke Gaza.

Menanggapi perkembangan ini, Al-Duwairi menilai bahwa kelompok perlawanan di Gaza telah mengubah pendekatannya sejak pertempuran kembali pecah.

Kini, taktik yang digunakan adalah perang gerilya, sebagaimana yang terjadi dalam beberapa hari terakhir di Shujaiya, Beit Lahiya, dan Rafah.

Operasi-operasi ini, menurutnya, bersifat selektif namun mematikan, dengan menimbulkan kerugian besar bagi pasukan Israel tanpa menimbulkan korban di pihak perlawanan.

Model seperti ini, menurut Al-Duwairi, menjadi skenario yang sangat dihindari militer Israel.

Pendudukan permanen jalur Gaza

Menurut pengamat urusan Israel, Dr. Mohannad Mustafa, tujuan akhir dari operasi ini adalah pendudukan permanen atas Gaza dan pemaksaan terhadap Hamas untuk menyerahkan tawanan.

“Itulah makna ‘kemenangan’ yang terus didengungkan Netanyahu dan kabinetnya,” ujarnya.

Namun untuk bisa mencapai hal tersebut, Netanyahu dinilai perlu lebih dulu menyelesaikan isu tawanan, baik melalui negosiasi maupun operasi militer.

Mustafa menyebut bahwa jika harus memilih antara tawanan dan pendudukan penuh, Netanyahu tidak akan ragu memilih opsi kedua.

Meski begitu, Mustafa menilai bahwa pendudukan permanen atas Gaza berisiko menimbulkan krisis serius di dalam negeri Israel, baik secara militer maupun sosial.

“Kerugian yang diderita pasukan Israel kini terasa lebih berat, bukan karena jumlahnya lebih banyak, tetapi karena rakyat merasa perang ini dijalankan untuk menyelamatkan pemerintah, bukan negara,” katanya.

Ia juga memperingatkan bahwa Gaza bukanlah Lebanon atau Tepi Barat. Pendudukan wilayah ini akan sangat mahal bagi Israel dan menempatkan tanggung jawab hukum atas penduduk Gaza di tangan militer Israel.

Sesuatu yang menurut Mustafa ingin dihindari oleh Netanyahu dengan memaksakan pengusiran penduduk.

Upaya untuk menebus kegagalan

Analis politik Palestina, Eyad Al-Qarra, berpendapat bahwa rencana operasi besar ini tidak akan jauh berbeda dari operasi-operasi sebelumnya.

“Setiap kali serangan dilancarkan, warga Gaza selalu menghadapi ancaman pengungsian paksa,” ujarnya.

Ia menilai bahwa perluasan operasi justru akan meningkatkan risiko terhadap militer Israel, terutama jika mereka memasuki wilayah-wilayah padat penduduk.

“Di daerah yang mereka klaim aman pun, serangan perlawanan tetap terjadi,” tambahnya.

Meski sebagian warga merasa cemas dengan kabar eskalasi, menurut Al-Qarra, pengalaman sebelumnya membuat mereka semakin menolak perintah evakuasi.

Banyak yang menyadari bahwa selama perang ini, tidak ada satu pun tempat yang benar-benar aman.

“Bahkan kawasan Al-Mawasi yang diklaim sebagai zona aman justru menjadi salah satu target serangan udara terberat,” katanya.

Al-Qarra menyimpulkan bahwa Netanyahu tidak akan mampu mencapai tujuan-tujuan strategisnya yang telah gagal diwujudkan selama lebih dari 18 bulan perang.

“Ia mengklaim telah menghancurkan Brigade Hamas, tapi faktanya perlawanan telah bangkit kembali,” ucapnya.

Ia menilai bahwa deklarasi Netanyahu soal pembubaran Hamas lebih bersifat politis, sebagai upaya menutupi kegagalan militer di lapangan.

“Yang berubah hanyalah narasi pemerintah, sementara Hamas tetap berdiri, dan belum menyerahkan satu pun tawanan tanpa perundingan,” tegasnya.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular