Tuesday, July 15, 2025
HomeBeritaAnalis: Netanyahu ingin negosiasi yang teguhkan pendudukan dan dorong pengungsian warga Gaza

Analis: Netanyahu ingin negosiasi yang teguhkan pendudukan dan dorong pengungsian warga Gaza

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu kembali melontarkan pernyataan terkait negosiasi gencatan senjata dan pertukaran tahanan yang kini tengah berlangsung di Qatar.

Namun, alih-alih menunjukkan niat serius untuk mengakhiri perang, rangkaian pernyataannya justru memunculkan keraguan atas tujuan sebenarnya dari pemimpin Israel terlama tersebut.

Netanyahu menegaskan, ia hanya akan menerima kesepakatan pertukaran jika dianggap “baik”.

Ia menolak tawar-menawar yang menurutnya merugikan, seraya menyatakan bahwa Gaza harus diperintah oleh pihak yang tidak menginginkan kehancuran Israel.

Sikap ini muncul di tengah laporan harian Israel Yedioth Ahronoth yang mengutip sumber-sumber AS.

Sumber tersebut menyatakan bahwa Presiden Joe Biden telah kehilangan kesabaran terhadap perang di Gaza. Namun, Netanyahu dinilai berhasil mengulur waktu.

Menurut lembaga penyiaran Israel, pembahasan utama dalam perundingan saat ini berkisar pada peta penempatan pasukan Israel di dalam Gaza.

Para mediator internasional tengah berusaha menjembatani perbedaan pendapat, menjaga agar proses negosiasi tetap hidup.

Beberapa hari lalu, Netanyahu mengklaim telah menyetujui proposal utusan AS, Steve Whitkoff, serta versi revisi dari para mediator, namun menyalahkan Hamas atas kebuntuan perundingan.

Ia menegaskan syarat utama Israel: kembalinya para sandera dan penghancuran total Hamas.

Namun, bagi sebagian pengamat, seperti peneliti politik Sa’id Ziyad yang berbicara dalam program Masar al-Ahdats, pernyataan Netanyahu tidak lebih dari dalih untuk melanggengkan pendudukan militer dan mendorong eksodus warga Gaza.

Peta-peta baru yang diajukan dalam negosiasi menunjukkan keinginan Israel untuk tetap menguasai koridor strategis di Gaza.

Terutama Jalan Salahuddin yang membelah Gaza dari utara ke selatan—arteri utama pergerakan warga dan logistik.

Meskipun secara teknis luas wilayah yang dikuasai militer Israel telah berkurang dari 36 persen menjadi 28 persen selama masa jeda perang, namun wilayah yang masih dikuasai mencakup kawasan-kawasan vital di utara dan timur Gaza. Hal ini menunjukkan bahwa dominasi militer Israel tetap terjaga.

Situs berita Axios menyebut bahwa delegasi Israel telah menyerahkan peta-peta baru yang menunjukkan rencana pengurangan kehadiran militer di selatan Gaza.

Namun, lanjutnya, Israel tetap mempertahankan kendali di zona selebar 2 kilometer di utara Koridor Philadelphia—wilayah perbatasan Gaza dan Mesir.

Ketua Jurusan Ilmu Politik Universitas Hebron, Bilal al-Shobaki, menilai bahwa tidak ada perubahan besar dalam pendekatan Netanyahu.

Menurutnya, sejak awal Netanyahu hanya berbicara tentang gencatan senjata sementara dan selalu menolak retorika diplomatik. Fokus utamanya tetap pada pembebasan sandera dan kelanjutan perang.

Netanyahu khawatir pada skenario kesepakatan parsial yang digagas AS, yang bisa melahirkan tatanan regional baru dan mengakhiri perang.

Untuk menjaga basis dukungan politik dalam negeri, ia bahkan menggelar pertemuan dengan 2 menteri sayap kanan, Itamar Ben-Gvir dan Bezalel Smotrich, guna memastikan mereka tetap dalam barisan.

Dalam kerangka itu, Israel tampak semakin condong ke arah pendudukan militer terbuka.

Mereka mempertahankan mekanisme distribusi bantuan melalui “Lembaga Kemanusiaan Gaza” dan mengizinkan keberadaan milisi-milisi lokal di Gaza bagian selatan sebagai struktur kendali de facto.

Ziyad bahkan menyebut konsep “kota kemanusiaan” di Rafah sebagai jembatan menuju skenario pengungsian massal.

Kini, setelah lebih dari 21 bulan perang berlalu tanpa keberhasilan menghancurkan Hamas, Netanyahu diyakini berada di jalan buntu.

Jalan keluar yang ia tempuh tampaknya mengarah pada penciptaan “zona penyangga” di selatan sebagai landasan awal pengusiran warga Gaza.

Sikap perlawanan Palestina

Di sisi lain, faksi perlawanan Palestina meyakini bahwa “waktu adalah darah”, dan menolak tawaran yang memungkinkan Israel melanjutkan perang atau mempertahankan pendudukan militer di Gaza.

Mereka sadar bahwa dalam sejarah perang-perang jangka panjang, Israel tidak pernah benar-benar menang.

Sa’id Ziyad menggambarkan strategi militer perlawanan sebagai “perang ekonomi kekuatan” yang tidak menghentikan pergerakan pasukan Israel, tetapi membuat mereka membayar harga tinggi di setiap langkah.

Dalam kondisi ini, perlawanan tidak akan menerima kesepakatan yang tidak mengakhiri perang dan menghapus sepenuhnya jejak militer Israel dari Gaza.

Sementara itu, Israel justru mencoba menjadikan proses negosiasi sebagai instrumen untuk menetapkan fakta-fakta pendudukan yang baru—alih-alih mematuhi kesepakatan yang dicapai pada Januari lalu.

Dalam pandangan Shobaki, perlawanan yang gigih dan serangan-serangan mendadak terhadap pasukan Israel membuktikan bahwa mimpi Tel Aviv untuk mendirikan sistem pemerintahan baru di Gaza tidak realistis.

Namun, kekacauan dalam pengelolaan perang baik secara politik maupun militer bisa mengarahkan Israel pada opsi paling ekstrem: mengosongkan Gaza dari warganya.

Sebuah langkah yang, menurut banyak pihak, akan menjadi noda sejarah yang sulit dihapus.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular