Friday, July 18, 2025
HomeBeritaAnalis: Proyek kamp konsentrasi Gaza buatan Israel ancaman terbesar bagi eksistensi Palestina

Analis: Proyek kamp konsentrasi Gaza buatan Israel ancaman terbesar bagi eksistensi Palestina

Rencana pembangunan “kota kemanusiaan” di selatan Jalur Gaza, yang diumumkan oleh Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant, dinilai sebagai salah satu proyek paling berbahaya terhadap eksistensi Palestina.

Sejumlah analis menyebut, meski proyek ini bukan yang pertama, dampaknya dapat lebih destruktif dibanding gagasan-gagasan sebelumnya yang diluncurkan Israel sejak agresinya ke Gaza dimulai dua tahun lalu.

Sebelumnya, berbagai rencana telah digulirkan: mulai dari membagi Gaza menjadi kantong-kantong wilayah kecil, membentuk pemerintahan alternatif, membangun pelabuhan apung, hingga mengadu kelompok-kelompok sosial dengan Hamas.

Namun, proyek “kota kemanusiaan”—yang hendak dibangun di Rafah, antara poros Morag dan Philadelphia—disebut sebagai bentuk paling ekstrem dari strategi pemindahan paksa (deportasi terselubung) dalam kemasan bantuan kemanusiaan.

Menurut rencana itu, sekitar 600.000 warga Gaza akan dipindahkan secara bertahap ke zona tertutup yang dikelola oleh lembaga-lembaga internasional.

Akan ada empat pusat distribusi bantuan dan prosedur pemeriksaan keamanan yang ketat untuk memastikan mereka bukan bagian dari Hamas. Begitu masuk ke area ini, penduduk tidak diizinkan keluar.

Skema lama dalam wajah baru

Rencana ini bukanlah hal baru. Presiden AS saat itu, Donald Trump, pernah mengungkap gagasan membangun “Riviera Gaza”, proyek wisata pantai di bawah kontrol Amerika dengan dalih rekonstruksi.

Kini, rencana “kota kemanusiaan” tampaknya menjadi bentuk konkret dari gagasan tersebut.

Analis urusan Israel, Imad Abu Awwad, menyatakan kepada Al Jazeera bahwa proyek ini tidak akan sepenuhnya berhasil.

“Militer Israel sendiri memperkirakan hanya 10 persen warga Gaza—sekitar 200 ribu dari dua juta—yang bisa mereka tarik masuk ke wilayah ini. Itu bukan keberhasilan besar,” ujarnya.

Namun, menurut Abu Awwad, proyek ini tetap berbahaya karena menjadi bagian dari upaya sistematis Israel, yang didukung Barat, untuk menekan, memindahkan, dan menghabisi rakyat Palestina tanpa menggunakan kekerasan langsung yang bisa dengan mudah dikutuk dunia.

Tekanan kemanusiaan yang terus-menerus berpotensi “dinormalkan”, katanya, sehingga menjadi alat ampuh untuk mengurangi jumlah warga Palestina baik di Gaza maupun Tepi Barat.

Kota atau kamp konsentrasi?

Pengamat politik Palestina, Ibrahim al-Madhoun, bahkan menyebut “kota kemanusiaan” itu bukan lebih dari sebuah “kamp konsentrasi gaya baru”.

Ia menegaskan bahwa proyek tersebut adalah “penjara raksasa” tempat Israel dapat mengontrol makanan, air, dan gerak penduduk.

“Ini bukan kota, ini kamp penyekapan besar,” ujarnya.

Ia menyebut rencana itu sebagai rekayasa sosial yang bertujuan mempersiapkan warga untuk dibunuh, atau dipaksa keluar dari Palestina ke negara lain.

Al-Madhoun juga memperingatkan bahwa Israel akan memisahkan anak-anak dan perempuan dari laki-laki dewasa.

“Anak-anak dan perempuan akan dibiarkan hidup dalam keterbatasan total, sementara kaum muda bisa dibunuh atau diasingkan,” jelasnya.

Ia menilai ini sebagai bentuk kejahatan perang dan pelanggaran mencolok terhadap hukum internasional.

Proyek ini juga disebut sebagai pukulan telak terhadap prospek solusi dua negara. Sebagai gantinya, Israel mencoba menggantikan proses damai dengan solusi sepihak berupa penghapusan kolektif penduduk Gaza.

“Inilah pemakzulan diam-diam terhadap seluruh perjuangan Palestina,” kata al-Madhoun.

Namun, ia menekankan bahwa keberhasilan proyek ini bergantung pada sejumlah factor. Terutama komitmen Amerika dan tekad Israel untuk melaksanakannya, serta minimnya tekanan dari komunitas internasional dan publik global.

Tanpa reaksi keras dari dunia internasional, proyek “kota kemanusiaan”—yang oleh banyak warga Palestina dilihat sebagai bentuk kolonialisme kemanusiaan—dikhawatirkan akan mengubah wajah Gaza selamanya.

Dari tanah air yang diperjuangkan, menjadi ruang isolasi manusia yang dijalankan dengan dalih bantuan.

Kegagalan yang nyata dan biaya yang tinggi

Rencana pembangunan “kota kemanusiaan” di Rafah selatan Gaza, yang digagas Israel, semakin menuai kritik dan skeptisisme, baik dari kalangan militer Israel sendiri maupun dari komunitas internasional.

Proyek tersebut dinilai tidak hanya mahal secara finansial, tetapi juga sangat meragukan dari segi efektivitas dan dampaknya terhadap stabilitas kawasan.

Diperkirakan menelan biaya antara 3 hingga 6 miliar dolar AS, proyek ini datang di tengah meningkatnya beban ekonomi perang yang telah berlangsung hampir 2 tahun. Tak heran jika rencana tersebut memicu kemarahan publik di Israel.

Penolakan bahkan datang dari pimpinan militer. Kepala Staf Angkatan Bersenjata Israel, Eyal Zamir, secara terbuka menentang gagasan itu dan memperingatkan bahwa proyek tersebut dapat mengalihkan fokus militer dari dua tujuan utama: mengalahkan Hamas dan membebaskan para sandera.

Analis urusan Israel, Imad Abu Awwad, menyebut penolakan militer sebagai cerminan ketidakpercayaan terhadap rencana tersebut.

Ia menilai bahwa proyek semacam ini pernah dicoba sebelumnya dan gagal total.

“Gagasan seperti ‘Gerobak Gideon’ dan ‘Rencana Para Jenderal’ tidak mampu membuat warga Gaza menerima gagasan pengungsian paksa, bahkan setelah mereka dihantam oleh serangan demi serangan,” ujarnya kepada Al Jazeera.

Menurutnya, bahkan jika 100.000 atau 400.000 warga Gaza pindah ke “kota kemanusiaan”, masalah dasarnya tetap tidak terselesaikan.

Ia membandingkan proyek ini dengan “Rencana Allon” pada 1960-an yang juga gagal memindahkan penduduk Gaza secara paksa.

Selain itu, militer Israel dikabarkan khawatir proyek ini akan memaksa mereka mempertahankan kehadiran permanen dan mahal di dalam Gaza, atau bahkan membuka jalan menuju pemerintahan militer langsung—sesuatu yang selama ini mereka hindari.

Namun, pandangan berbeda datang dari pengamat politik Palestina, Ibrahim al-Madhoun. Ia menilai bahwa keberatan militer mungkin bersifat taktis semata, atau berkaitan dengan hambatan logistik.

Ia menambahkan bahwa militer Israel saat ini tidak lagi independen, mengingat struktur kepemimpinannya telah dibentuk ulang oleh pemerintahan sayap kanan pimpinan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.

Sementara itu, akademisi dan peneliti Palestina, Muhammad Ghazi al-Jammal, mengkritik keras penggunaan istilah “kota kemanusiaan” untuk proyek ini.

Ia menyebutnya sebagai nama menyesatkan untuk sesuatu yang lebih menyerupai “kamp interniran”.

Menurutnya, proyek ini sejatinya memaksa warga sipil untuk berlindung di wilayah yang telah hancur, berada di bawah kendali langsung pasukan pendudukan atau kelompok-kelompok lokal yang menjadi perpanjangan tangan Israel.

“Ini bukan tempat perlindungan, tapi bentuk modern dari pemusatan dan pengendalian manusia secara kolektif,” tegasnya.

Al-Jammal menilai kemungkinan keberhasilan proyek ini sangat kecil. Ia mengutip kepekaan tinggi warga Palestina terhadap proyek-proyek yang diluncurkan oleh Israel, minimnya dukungan internasional, sikap keberatan dari Mesir, dan perpecahan dalam tubuh Israel sendiri sebagai faktor-faktor penghambat utama.

Sejak diumumkan, rencana “kota kemanusiaan” telah menuai kecaman dari berbagai lembaga PBB, organisasi hak asasi manusia, dan sejumlah pejabat dunia.

Mereka memperingatkan bahwa proyek ini berisiko memperparah krisis kemanusiaan di Gaza dan menciptakan preseden berbahaya bagi legitimasi pemindahan paksa penduduk sipil.

Laporan-laporan dari badan PBB menegaskan bahwa proyek semacam ini merupakan pelanggaran serius terhadap hukum humaniter internasional dan dapat dikategorikan sebagai kejahatan deportasi massal.

Komunitas internasional pun didesak untuk segera bertindak demi menghentikan proyek ini dan inisiatif serupa lainnya yang berusaha melegalisasi pengusiran rakyat Palestina dengan dalih kemanusiaan.

Dalam situasi di mana perang, pemblokadean, dan tekanan ekonomi terus berlangsung, proyek “kota kemanusiaan” justru memperlihatkan upaya untuk membingkai kebijakan pemindahan paksa dalam bahasa lembut, namun dengan dampak yang mengancam kelangsungan hidup kolektif rakyat Palestina.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular