Dunia tengah menantikan keputusan penting Mahkamah Internasional (ICJ) terkait perang di Gaza.
Sebuah momen yang oleh para ahli dinilai akan menjadi ujian serius bagi kredibilitas sistem hukum internasional.
Di tengah ketidakpedulian Israel terhadap hukum internasional dan keputusan lembaga-lembaga dunia, para pengamat menilai putusan ini berpotensi memengaruhi narasi global, namun dampaknya hanya akan terasa jika dunia bergerak untuk menerapkannya.
Sidang terbuka Mahkamah Internasional dimulai pada Senin (28/4/2025) di Den Haag, menyusul permintaan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada akhir tahun lalu.
Sidang ini digelar lebih dari 50 hari setelah Israel memberlakukan blokade total terhadap masuknya bantuan ke Gaza.
Selama sepekan ke depan, Mahkamah akan mendengarkan argumen tertulis dan lisan dari sejumlah negara dan organisasi internasional, terkait kepatuhan Israel terhadap berbagai perjanjian internasional.
Pentingnya implementasi
Meski keputusan Mahkamah Internasional dipandang krusial, Sekretaris Jenderal Inisiatif Nasional Palestina, Mustafa Barghouti, mengingatkan bahwa yang terpenting adalah implementasinya.
Dalam wawancara di program Masar al-Ahdath, Barghouti menyoroti bahwa Mahkamah sebelumnya pernah menyatakan pendapat konsultatif yang menyebut pendudukan Israel atas Palestina harus diakhiri.
Namun, menurutnya, kurangnya penerapan oleh negara-negara di dunia membuat keputusan tersebut kehilangan kekuatan nyata.
Barghouti juga menilai bahwa dalam situasi saat ini, terutama di negara-negara Barat, belum ada indikasi kesiapan untuk menerapkan keputusan internasional yang baru, bahkan jika isinya mendukung hak-hak Palestina.
“Semua keputusan, tanpa tindakan nyata, tidak akan berdampak,” tegasnya.
Pandangan serupa disampaikan mantan Jaksa Penuntut di Mahkamah Pidana Internasional, Geoffrey Nice.
Ia menilai bahwa keputusan Mahkamah akan membawa bobot moral besar, tetapi implementasinya sepenuhnya bergantung pada tindakan negara-negara.
Ujian bagi sistem internasional
Menurut Nice, hukum internasional kini tengah menghadapi ujian berat. Ia menilai Mahkamah harus mengeluarkan keputusan yang secara tegas mengutuk Israel, agar dapat mendorong negara-negara untuk bertindak.
“Kalau tidak, maka hukum akan kehilangan maknanya, dan negara-negara akan bertindak sesuka hati secara kriminal,” ujarnya.
Nice mengakui bahwa keadilan internasional sering kali lamban, dan mengungkapkan pesimismenya terhadap konsistensi negara-negara. Apalagi mengingat sikap Amerika Serikat (AS) dan Hongaria yang dinilainya cenderung menolak supremasi hukum internasional.
Meski demikian, Nice melihat harapan dalam reaksi dunia terhadap gaya kepemimpinan Presiden AS, Donald Trump pada awal masa pemerintahannya.
Ia menyebutnya telah mendorong banyak negara untuk mempertimbangkan jalur berbeda dari Washington.
“Sekarang, pertanyaannya adalah: apakah negara seperti Inggris, yang secara historis sangat bergantung secara politik kepada Amerika, memiliki keberanian untuk mengambil sikap independen?” tanya Nice.
Ia menyimpulkan bahwa ada secercah harapan. Menurunnya dominasi AS, menurutnya, mungkin membuka jalan bagi negara-negara lain untuk mengambil posisi lebih independen, sehingga dapat mengisolasi sikap Amerika dan Hongaria.
Nice juga menambahkan bahwa keberhasilan pembebasan seluruh sandera Israel oleh Hamas bisa menjadi momen penting yang mendorong komunitas internasional untuk mengambil langkah lebih tegas terhadap Israel. Termasuk kemungkinan mengusulkan pengeluaran Israel dari keanggotaan PBB.
Kekhawatiran dan arogansi
Israel saat ini menunjukkan dua wajah yang kontras di tengah meningkatnya tekanan dari lembaga-lembaga hukum internasional.
Kekhawatiran mendalam terhadap reputasinya, namun juga arogansi tinggi dalam mengabaikan hukum internasional.
Menurut pakar urusan Israel, Dr. Muhannad Mustafa, Israel khawatir bahwa proses hukum di Mahkamah Internasional (ICJ) akan merusak citra lamanya sebagai korban, narasi yang telah ia gunakan selama puluhan tahun.
Namun, di sisi lain, ia menilai Israel menunjukkan tingkat arogansi yang belum pernah terjadi sebelumnya, dengan melecehkan seluruh sistem hukum internasional.
“Israel hadir di Mahkamah Pidana Internasional tahun lalu, tetapi kini memilih absen di Mahkamah Internasional. Ini menunjukkan bahwa mereka tidak menganggap serius keputusan apa pun yang akan dikeluarkan,” ujar Mustafa.
Yang lebih mengkhawatirkan, lanjut Mustafa, adalah bahwa sistem peradilan tertinggi Israel sendiri kini juga turut mengabaikan norma hukum internasional.
Ia mencontohkan keputusan Mahkamah Agung Israel pada Maret lalu yang melegalkan larangan masuk bantuan kemanusiaan ke Gaza.
“Ini menandakan negara yang secara keseluruhan—baik militer, politik, maupun yudisial—menentang hukum internasional,” katanya.
Soliditas internal Israel
Mustafa juga menyoroti bahwa dalam menghadapi tekanan internasional, Israel menunjukkan kesatuan sikap.
Hal ini terlihat saat Mahkamah Pidana Internasional mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant, yang langsung memicu gelombang dukungan nasional di Israel.
Ia menambahkan, retorika kekerasan terhadap Gaza kini lebih parah dibandingkan tahun sebelumnya, meskipun Mahkamah Pidana Internasional sebelumnya telah memperingatkan Israel.
Misalnya, anggota parlemen dari Partai Likud, Moshe Saada, baru-baru ini menyebut bahwa “membiarkan warga Gaza kelaparan adalah tindakan moral”.
Sementara itu, penyanyi ternama Israel, Kobi Peretz, secara terbuka menyerukan pembunuhan terhadap seluruh warga Gaza. Termasuk anak-anak dan orang tua, sebuah pernyataan yang diberitakan tanpa kecaman di media besar seperti Yedioth Ahronoth.
Potensi dampak keputusan ICJ
Meski demikian, Mustafa Barghouti meyakini bahwa keputusan Mahkamah Internasional, khususnya jika menyatakan bahwa yang terjadi di Gaza adalah genosida, tetap dapat menggoyahkan arogansi Israel.
Terlebih, menurutnya, survei terbaru menunjukkan bahwa untuk pertama kalinya dalam sejarah, mayoritas warga AS kini bersimpati kepada rakyat Palestina.
Barghouti menekankan bahwa karena Mahkamah Internasional bertindak atas permintaan resmi PBB, keputusan yang dihasilkan akan memiliki kekuatan hukum.
“PBB dan Dewan Keamanan wajib menegakkannya. Jika tidak, seluruh tatanan hukum internasional yang dibangun setelah Perang Dunia II akan runtuh,” ujarnya.
Sidang Mahkamah Internasional ini berlangsung di tengah krisis kemanusiaan yang memburuk di Gaza.
Sejak awal Maret, Israel memberlakukan larangan total atas masuknya bantuan pangan, bahan bakar, obat-obatan, dan pasokan kemanusiaan lainnya, mendorong wilayah tersebut ke ambang kehancuran.