Sikap baru yang diumumkan oleh Hamas melalui pemimpinnya di Jalur Gaza, Khalil al-Hayya, dinilai para analis politik telah menempatkan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dalam posisi politik yang sulit.
Langkah ini juga disebut menutup peluang bagi strategi kesepakatan parsial yang selama ini diandalkan Netanyahu untuk memperpanjang perang.
Peneliti bidang politik dan strategi, Said Ziyad, menilai bahwa pernyataan Hamas tersebut menyampaikan pesan jelas bahwa Netanyahu berusaha menarik isu tawanan dari tangan kelompok perlawanan.
Namun, katanya, sambil tetap melanjutkan gencatan senjata sementara dan kesepakatan terbatas, dengan tetap melakukan pembantaian, penghancuran, dan pengepungan ekonomi yang mengarah pada pengusiran massal.
“Hamas kini telah mengambil sikap tegas bahwa mereka tidak akan lagi menerima kesepakatan parsial. Mereka hanya bersedia menyepakati solusi komprehensif yang mencakup penghentian perang secara permanen,” ujar Ziyad.
Menurutnya, sikap ini sejalan dengan pandangan utusan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk urusan sandera, Adam Boehler, dan juga selaras dengan tuntutan sebagian besar masyarakat Israel.
Wartawan sekaligus kolumnis politik di Newsweek, Peter Rough, menyambut baik sikap terbaru Hamas, dan menyebutnya sebagai langkah positif.
Ia memperkirakan Gedung Putih akan memandang pernyataan tersebut secara positif.
Siap negosiasi komprehensif
Dalam pernyataan yang disampaikan melalui siaran televisi, Khalil al-Hayya menyatakan kesiapan Hamas untuk memulai perundingan menyeluruh.
Perundingan itu mencakup pembebasan semua tawanan Israel dengan imbalan sejumlah tawanan Palestina yang telah disepakati, penghentian agresi militer, serta penarikan penuh Israel dari Gaza.
Terkait dengan isu senjata perlawanan, Hayya menegaskan bahwa senjata Hamas adalah bagian dari respons terhadap keberadaan pendudukan.
Ia juga mengungkapkan bahwa para mediator telah kembali menjalin kontak dengan Hamas untuk mencari jalan keluar dari krisis yang, menurutnya, dipicu oleh Netanyahu.
Netanyahu membatalkan kesepakatan gencatan senjata dan pertukaran tawanan yang sebelumnya telah dicapai.
Menurut akademisi dan pakar urusan Israel, Muhannad Mustafa, ada dua kemungkinan respons dari Netanyahu atas sikap baru Hamas.
Pertama, Netanyahu mungkin akan meningkatkan serangan militer di Gaza guna memaksa Hamas mundur dari sikapnya.
Kedua, tekanan politik terhadap Netanyahu akan meningkat, baik dari masyarakat maupun keluarga para tawanan, agar menyetujui kesepakatan menyeluruh.
“Netanyahu kini semakin terisolasi secara politik karena terus bersikeras melanjutkan perang. Namun, di saat yang sama, militer Israel juga tengah menghadapi tantangan besar, termasuk kegagalan menyelesaikan isu tawanan meskipun perang telah berlangsung selama 18 bulan,” kata Mustafa.
Kesepakatan bisa jadi akhir Netanyahu
Mustafa menambahkan, bagi Netanyahu, kesepakatan menyeluruh seperti yang ditawarkan Hamas akan menjadi bumerang politik.
“Dia sadar bahwa menyetujui usulan tersebut akan menjadi akhir dari karier politiknya. Karena itu, dia tetap memilih melanjutkan perang, tidak hanya demi kepentingan pribadi, tetapi juga untuk menghapus kegagalan besar yang terjadi pada 7 Oktober lalu,” katanya.
Namun demikian, tekanan dari Amerika Serikat dinilai bisa menjadi faktor penentu.
“Hanya Amerika yang punya kekuatan untuk memaksa Netanyahu menghentikan perang, dan saya yakin jika tekanan itu datang, Netanyahu tidak akan mampu menolaknya, meskipun ia harus berhadapan dengan kelompok sayap kanan dalam pemerintahannya,” ujar Mustafa.
Sementara itu, dosen ilmu politik di Universitas Ibrani Yerusalem, Meir Al-Masri, menilai pernyataan Hamas tak bisa dijadikan dasar negosiasi.
“Hamas yang memulai perang, sekarang mereka bicara damai seolah tak terjadi apa-apa. Strategi Israel tetap sama: menghentikan kekuasaan Hamas di Gaza, melucuti senjatanya, dan mengembalikan kontrol penuh atas wilayah tersebut,” katanya.
Namun, menurut Ziyad, tuntutan seperti pelucutan senjata tidak realistis. Tuntutan itu, katanya, baru muncul setelah Israel gagal mencapai tujuannya.
“Mereka sekarang mencoba tekanan politik karena tidak mampu menghancurkan Hamas secara militer,” ujarnya.