Pengakuan resmi dari sejumlah negara besar, termasuk Prancis dan Inggris, terhadap negara Palestina dipandang sebagai momen penting dalam sejarah perjuangan rakyat Palestina.
Kendati demikian, para pengamat menilai bahwa pengakuan ini hanya akan berarti jika dibarengi dengan langkah konkret dalam mendukung rakyat Palestina yang masih menghadapi kekerasan di Gaza dan Tepi Barat.
Langkah ini datang di tengah meningkatnya kecaman internasional atas agresi militer Israel di Jalur Gaza. Gelombang pengakuan terhadap Palestina pun terus meluas.
Selain Prancis dan Inggris, sejumlah negara kecil di Eropa seperti Belgia, Luksemburg, Malta, Andorra, dan San Marino juga diperkirakan akan mengikuti langkah serupa. Jika terealisasi, jumlah negara anggota PBB yang mengakui Palestina akan mencapai lebih dari 150 dari total 193 negara.
Momentum yang Bisa Kehilangan Nilainya
Dosen diplomasi dan resolusi konflik di Universitas Arab Amerika, Diala Arikat, menilai bahwa pengakuan ini memberi harapan baru bagi rakyat Palestina untuk meraih perdamaian melalui jalur diplomasi. Namun, ia menegaskan bahwa pengakuan tersebut belum dapat dikategorikan sebagai kemenangan tanpa adanya tindakan nyata dari negara-negara pengakunya.
“Langkah ini harus disertai penghentian penjualan senjata, pembekuan kerja sama politik, ekonomi, dan keamanan dengan Israel,” ujar Arikat dalam pernyataannya kepada Al Jazeera.
Ia juga mendesak negara-negara tersebut untuk mengikuti rekomendasi pengadilan internasional terkait para pemimpin Israel, serta menghentikan pemberian visa kepada seluruh warga Israel yang tinggal di permukiman ilegal, bukan hanya mereka yang dianggap sebagai “pemukim ekstremis.”
Arikat menambahkan bahwa secara historis, langkah ini bisa mengembalikan peran Prancis sebagai pelindung prinsip penentuan nasib sendiri—prinsip yang pertama kali ditegaskan dari Istana Versailles pasca-Perang Dunia I.
Namun ia mengingatkan bahwa gelombang dukungan ini, yang ia sebut sebagai “tsunami diplomatik”, akan kehilangan maknanya jika tidak ditindaklanjuti dengan langkah-langkah konkret di lapangan.
Perlu Implementasi, Bukan Sekadar Simbolik
Dalam sidang Majelis Umum PBB, sekitar 150 negara menyuarakan dukungan terhadap pengakuan negara Palestina. Presiden Prancis Emmanuel Macron menyatakan bahwa “rakyat Palestina bukanlah rakyat yang bisa diabaikan.”
Sementara itu, Sekretaris Jenderal PBB António Guterres menyampaikan bahwa pengakuan terhadap Palestina adalah sebuah hak, bukan hadiah. Ia menambahkan bahwa peristiwa 7 Oktober 2023—yang sering dijadikan dalih oleh Israel untuk melancarkan serangan—tidak bisa dijadikan pembenaran untuk menghukum seluruh rakyat Palestina.
Mantan pemimpin Partai Buruh Inggris dan anggota parlemen, Jeremy Corbyn, menyebut pengakuan ini sebagai momen emosional dan penting dalam sejarah perjuangan Palestina. Namun, menurutnya, langkah ini harus diikuti dengan tekanan serius terhadap Amerika Serikat untuk mengubah kebijakannya terkait konflik di Gaza dan Tepi Barat.
“Tanpa penghentian dukungan senjata dan intelijen kepada Israel, posisi Prancis dan Inggris akan kehilangan makna moralnya,” kata Corbyn.
AS dan Sekutu Dinilai Semakin Terisolasi
Corbyn juga menyoroti peran Amerika Serikat yang, menurutnya, masih bersikeras berada di sisi Israel bersama beberapa negara lain seperti Jerman dan Hongaria. Ia menilai langkah-langkah simbolik dari negara-negara Eropa seharusnya diikuti dengan upaya nyata untuk menyediakan bantuan kemanusiaan dan meningkatkan tekanan diplomatik terhadap Israel dan sekutunya.
“Pengakuan ini akan percuma jika warga Palestina masih kelaparan dan dibombardir,” ujarnya. Ia juga meragukan bahwa mantan Presiden AS Donald Trump, yang masih menjadi figur politik dominan di negaranya, akan mengubah sikapnya terhadap Israel dalam waktu dekat.
Corbyn menilai bahwa Trump tetap teguh pada dukungannya terhadap Israel, meskipun dunia menyaksikan secara langsung penderitaan rakyat Gaza dan perluasan permukiman ilegal di Tepi Barat.