Friday, June 6, 2025
HomeAnalisis dan OpiniANALISIS - Apa makna di balik penarikan pasukan AS dari Suriah?

ANALISIS – Apa makna di balik penarikan pasukan AS dari Suriah?

Keputusan Amerika Serikat (AS) untuk mengurangi kehadiran militernya di Suriah memicu gelombang pertanyaan tentang arah hubungan antara pemerintahan Presiden AS Donald Trump dan Presiden Suriah Ahmad al-Sharaa.

Hal itu juga berpengaruh pada dampak strategis dari kekosongan yang mungkin ditinggalkan.

Para analis melihat langkah ini sebagai bagian dari pergeseran besar dalam kebijakan luar negeri Washington terhadap Timur Tengah.

Wakil Asisten Menteri Pertahanan AS sebelumnya, Heino Klinck, menilai bahwa penarikan ini merupakan “indikasi era baru dalam hubungan antara Washington dan Damaskus”.

Dalam pernyataannya kepada program Behind the News, Klinck menyinggung pertemuan antara Trump dan al-Sharaa di Riyadh yang disebutnya telah menciptakan tingkat kepercayaan baru antara kedua pemerintahan.

Menurut Klinck, kebijakan luar negeri AS di bawah Trump mengalami evaluasi ulang, dengan kecenderungan untuk mengedepankan pendekatan diplomatik dan ekonomi dibanding pendekatan militer.

Ia juga menyebut bahwa Washington kini menaruh kepercayaan pada mitra lokal di Damaskus untuk bekerja sama dalam menghadapi potensi ancaman di kawasan.

Lebih lanjut, Klinck menekankan bahwa pemerintahan Trump telah mengambil pelajaran dari penarikan pasukan AS yang dinilai “katastrofik” dari Afghanistan yang terjadi pada masa Presiden Joe Biden.

Penarikan dari Suriah, menurutnya, merupakan bagian dari strategi lebih luas untuk mengurangi kehadiran militer di Timur Tengah dan Eropa guna memfokuskan sumber daya pada kawasan Indo-Pasifik.

Dua pejabat AS kepada Al Jazeera menyebut bahwa dari 8 pangkalan militer yang sebelumnya ada di Suriah, pasukan AS hanya akan mempertahankan satu pangkalan di wilayah sekitar Al-Hasakah, Suriah timur laut.

Sisanya, termasuk pangkalan strategis di Al-Tanf, akan ditinggalkan secara bertahap dalam beberapa bulan ke depan, dengan memperhatikan kondisi keamanan di lapangan.

Dekan Fakultas Ilmu Politik di Universitas al-Shamal, Idlib, Kamal Abdo, menyatakan bahwa keputusan ini sejalan dengan strategi baru AS di kawasan dan menjadi kelanjutan dari pertemuan puncak Trump dan al-Shara’ di Riyadh.

Ia menyebut bahwa penarikan ini bersyarat, bergantung pada implementasi kesepakatan yang telah dicapai kedua belah pihak.

“Pemerintah Damaskus menyambut langkah ini dengan sangat positif,” kata Abdo.

Ia menggambarkan hubungan baru AS-Suriah ini sebagai “kemitraan strategis” yang disebutnya sebagai perubahan besar dalam kebijakan luar negeri Suriah.

Sumber-sumber dari kalangan pejabat AS menyebutkan bahwa lebih dari 500 personel militer AS telah meninggalkan Suriah sebagai bagian dari proses penarikan.

Diperkirakan jumlah pasukan akan turun menjadi kurang dari seribu orang pada akhir tahun ini, dengan catatan kondisi di lapangan memungkinkan.

Mereka juga mengonfirmasi bahwa tiga pangkalan di Suriah timur laut—yakni Green Village, Hasakah, dan Euphrates—telah dikosongkan.

Beberapa di antaranya diserahkan kepada Pasukan Demokratik Suriah (SDF), mitra lokal AS dalam perang melawan kelompok Negara Islam (ISIS).

Namun, peneliti senior di Pusat Studi Al Jazeera, Luqman Maki, memperingatkan bahwa penarikan ini tidak serta merta mencerminkan kebijakan serupa di Irak, Yordania, maupun kawasan Teluk.

Menurutnya, keputusan ini mungkin berkaitan dengan “antisipasi terhadap kemungkinan konflik besar di kawasan”.

Maki menjelaskan bahwa pangkalan militer AS di Suriah tergolong baru dan tidak dirancang untuk menghadapi konflik militer besar, melainkan lebih pada kepentingan logistik dan pengamanan terhadap ancaman terorisme.

Ia juga mengkhawatirkan potensi kembalinya kekuatan ekstremis di Suriah, terutama setelah infrastruktur militer lama Suriah dihancurkan oleh serangan Israel.

Saat ini, militer Suriah hanya tersisa dalam bentuk pasukan dengan persenjataan ringan hingga sedang, dan belum memiliki kekuatan untuk menjamin stabilitas secara mandiri di tengah dinamika kawasan yang terus berubah.

Tantangan pasca-penarikan pasukan AS dari Suriah

Meskipun penarikan pasukan Amerika Serikat dari Suriah dipandang sebagai bagian dari strategi baru Washington di kawasan, sejumlah tantangan besar menanti di lapangan.

Kamal Abdo, Dekan Fakultas Ilmu Politik di Universitas al-Shamal, menekankan bahwa kekosongan yang ditinggalkan oleh pasukan AS harus segera diisi.

Menurutnya, tanggung jawab itu kini berada di tangan pemerintah Suriah serta para sekutunya, termasuk Turki, Qatar, dan Arab Saudi.

Abdo menggarisbawahi pentingnya pengelolaan penjara-penjara yang menampung anggota dan simpatisan kelompok Negara Islam (ISIS) di wilayah timur laut Suriah.

Ia mengakui bahwa pemerintah Suriah tidak memiliki kapasitas penuh untuk menangani tantangan ini sendirian.

Oleh karena itu, ia mengusulkan pembentukan pusat koordinasi regional untuk operasi kontra-terorisme di Suriah.

Sementara itu, analis politik Luqman Maki menilai bahwa keputusan penarikan pasukan AS sebagian besar bermotif perlindungan.

Menurutnya, kondisi keamanan yang rapuh di sekitar pangkalan-pangkalan militer membuat kehadiran pasukan AS rentan terhadap serangan dari kelompok bersenjata atau negara-negara lawan.

Maki menegaskan bahwa tidak ada tanda-tanda penarikan serupa dari Irak, Yordania, ataupun kawasan Teluk.

Kawasan-kawasan tersebut dinilai tetap strategis bagi kepentingan geopolitik AS, khususnya dalam menghadapi pengaruh Cina yang terus berkembang di Timur Tengah.

Sikap Israel dan ketegangan diam-diam

Pertemuan antara utusan khusus AS untuk Suriah, Thomas Barak, dan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menjadi sorotan tersendiri.

Heino Klinck menilai bahwa pertemuan itu mencerminkan kekhawatiran Washington terhadap serangan-serangan udara Israel yang berkelanjutan di wilayah Suriah.

Ia memperingatkan bahwa serangan tersebut berisiko mengganggu stabilitas yang tengah dibangun dan tidak sejalan dengan tujuan strategis AS di kawasan.

Dari sudut pandang Luqman Maki, ketegangan antara Washington dan Tel Aviv dalam isu Suriah cukup jelas terlihat.

Ia menilai bahwa pertemuan antara Trump dan Presiden Suriah Ahmad al-Sharaa yang dilakukan secara mendadak telah mengejutkan dan mengganggu rencana Israel.

Israel, menurutnya, tengah mendorong upaya pemecahan wilayah Suriah, termasuk pembentukan entitas Druze di bagian selatan negara itu.

Lebih lanjut, Maki mengungkapkan bahwa AS kini telah menjalin hubungan keamanan langsung dengan pemerintahan baru di Damaskus.

Langkah ini dinilai telah menghambat rencana Israel untuk menciptakan instabilitas sebagai upaya menghapus ancaman masa depan dari Suriah.

Namun Kamal Abdo menilai bahwa ketegangan antara AS dan Israel tidak lebih dari perbedaan taktis, bukan strategis.

Ia melihatnya sebagai bagian dari “pembagian peran” antara kedua sekutu tersebut dalam menangani isu Suriah.

Menurutnya, Israel pada dasarnya tidak menginginkan Suriah terpecah belah, tetapi lebih memilih adanya pemerintahan yang kuat dan mampu menjaga stabilitas internal.

“Israel kini menekan melalui isu-isu minoritas dan infiltrasi terbatas, agar pemerintahan baru di Damaskus tetap berada dalam posisi tawar yang lemah dan bersedia memberikan konsesi secara berkelanjutan,” ujar Abdo.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular