Saturday, August 2, 2025
HomeBeritaANALISIS - Apakah krisis kemanusiaan Gaza mengubah pandangan publik AS secara radikal?

ANALISIS – Apakah krisis kemanusiaan Gaza mengubah pandangan publik AS secara radikal?

Krisis kemanusiaan yang terus memburuk di Gaza tampaknya mulai mengguncang fondasi sikap publik Amerika Serikat (AS) terhadap Israel.

Dalam perkembangan terbaru, hasil jajak pendapat menunjukkan perubahan signifikan dalam persepsi warga AS terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, yang kini menjadi buronan Mahkamah Pidana Internasional.

Untuk pertama kalinya dalam hampir tiga dekade, 52 persen warga Amerika menilai Netanyahu secara negatif.

Sementara itu, 60 persen responden menolak agresi militer Israel di Gaza, berbanding terbalik dengan 32 persen yang masih mendukungnya.

Dr. Bilal al-Shobaki, pakar urusan Israel dan Ketua Jurusan Ilmu Politik Universitas Hebron, menilai angka-angka ini sebagai indikator adanya pergeseran mendasar dalam opini publik AS.

Ia mencermati bahwa transformasi ini bisa menjadi bibit bagi kemunculan elite politik baru, terlebih di tengah meningkatnya ketidaknyamanan bahkan dari kalangan pendukung Partai Republik terhadap gambaran memilukan dari Gaza.

Menurut al-Shobaki, dukungan tanpa syarat AS terhadap Israel kini tak hanya menjadi beban secara finansial, tetapi juga moral di mata dunia.

Ia menekankan bahwa posisi AS yang terus memberi perlindungan kepada Israel di tengah krisis kemanusiaan ini berisiko mengikis kredibilitas moral negara adidaya itu secara luas.

“Ini bukan hanya soal Palestina, tapi juga dapat memberi dampak terhadap konstelasi politik di dunia Arab dan Eropa,” ujar al-Shobaki.

Sanksi Amerika

Di sisi lain, ketika krisis kemanusiaan meningkat, Washington justru menjatuhkan sanksi kepada Otoritas Palestina dan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO).

AS menolak memberi visa bagi pejabat kedua lembaga itu lantaran langkah mereka membawa isu Palestina ke Mahkamah Pidana Internasional.

Pengamat politik Ahmad al-Hila menilai, tindakan ini mencerminkan keengganan Amerika dan Israel untuk mengakui peran kenegaraan Otoritas Palestina.

“Mereka ingin Palestina hanya menjadi badan administratif lokal yang mengurus layanan dan keamanan sesuai kepentingan Israel,” katanya.

Ia menambahkan, bergabung dengan organisasi internasional adalah hak sebuah negara, dan penolakan terhadap hal itu menunjukkan bahwa AS dan Israel tidak ingin Palestina menjalankan hak tersebut.

Namun mantan pejabat Departemen Luar Negeri AS, Thomas Warrick, menyanggah bahwa sanksi tersebut adalah sesuatu yang baru.

“Setiap pejabat Palestina yang datang ke AS selalu harus melalui proses dan syarat tertentu untuk memperoleh visa,” katanya.

Ia juga menyoroti bahwa hanya ada satu negara yang secara konsisten mendukung Israel.

“Dukungan dari negara itu (Israel) sendiri yang justru akan menentukan berdiri tidaknya negara Palestina,” ujarnya.

Sementara itu, rumah sakit di Gaza kembali melaporkan kematian tragis: dua pemuda berusia 27 tahun dan seorang anak yang wafat akibat kekurangan gizi.

Dengan demikian, jumlah korban jiwa akibat kelaparan kini mencapai 101 orang, termasuk 91 anak-anak.

Kritik keras kembali mengarah pada lembaga distribusi bantuan yang disebut “Gaza Humanitarian Foundation” yang beroperasi dengan dukungan penuh AS dan Israel.

Menurut al-Hila, kendali atas distribusi bantuan tidak bertujuan untuk melemahkan Hamas semata, tetapi ditujukan untuk mengendalikan eksistensi warga Palestina di Gaza secara keseluruhan.

Ia menjelaskan bahwa pengaturan titik distribusi bantuan tak ubahnya alat untuk mengarahkan pergerakan warga sipil dan membatasi ruang hidup mereka.

“Ini bukan lagi sekadar kekhawatiran tentang pemindahan paksa, tapi sudah menjadi program terencana yang disampaikan secara terbuka melalui media Israel,” tegasnya.

Al-Shobaki menambahkan, terdapat arahan langsung dari kantor Perdana Menteri Israel kepada Mossad untuk membuka jalur migrasi alami bagi warga Palestina.

“Kita bicara bukan lagi soal bantuan kemanusiaan, melainkan strategi untuk mengendalikan pergerakan manusia yang lebih buruk dari operasi militer itu sendiri,” katanya.

Sikap Eropa

Berbeda dari sikap Amerika yang masih membela penuh Israel, negara-negara Eropa mulai menunjukkan perubahan arah.

Menteri Luar Negeri Prancis, Jean-Noël Barrot, secara terbuka mengecam mekanisme distribusi bantuan melalui lembaga Gaza Humanitarian Foundation. Ia menyebutnya sebagai “aib” yang harus segera dihentikan.

Namun al-Shobaki menilai meski pernyataan Eropa kini lebih progresif, itu belum cukup.

“Masalahnya, pernyataan itu tak kunjung berubah menjadi langkah nyata yang memaksa Israel patuh pada hukum internasional dan membuka akses bantuan,” katanya.

Ia menegaskan bahwa pernyataan solidaritas internasional tidak akan berarti apa-apa bagi warga yang kelaparan.

“Apa gunanya pengakuan terhadap Negara Palestina dari 147 negara bila itu tidak menghentikan perang dan genosida?” tanyanya.

Di tengah kerumitan yang makin dalam, utusan khusus AS, Steven Witkoff, melakukan kunjungan ke Israel dan Gaza dengan misi mencari jalan menuju kesepakatan menyeluruh, melampaui perjanjian-perjanjian parsial yang selama ini tak membuahkan hasil.

Namun al-Hila memperingatkan bahwa retorika solusi menyeluruh kerap menjadi jebakan.

“Masalahnya ada pada detail,” ujarnya.

Ia menyoroti pentingnya agar solusi tersebut tidak mengabaikan inti persoalan: negara Palestina, hak kembali pengungsi, penghentian perang, dan masuknya bantuan.

Mantan pejabat AS, Thomas Warrick, menggambarkan dua kemungkinan sikap Donald Trump jika kembali berkuasa.

Pertama, mengabaikan persoalan Gaza seperti yang ia lakukan terhadap konflik Rusia-Ukraina.

Kedua—dan lebih berisiko—berkolaborasi dengan negara-negara Arab dan Eropa membentuk mekanisme pemerintahan di Gaza yang tak melibatkan Hamas maupun Israel, sambil memulai proses rekonstruksi dan penyaluran bantuan.

Namun sebagaimana ditegaskan para pengamat, tanpa keseriusan internasional untuk menindak pelanggaran yang sedang terjadi, segala bentuk solusi hanya akan menjadi pengulangan dari masa lalu.

Pernyataan demi pernyataan yang tak pernah menyentuh realitas rakyat Gaza yang kian terjepit di antara kehancuran, kelaparan, dan pengasingan paksa.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular