Monday, May 19, 2025
HomeAnalisis dan OpiniANALISIS - Apakah operasi “Arabat Gideon” menghentikan perundingan Doha?

ANALISIS – Apakah operasi “Arabat Gideon” menghentikan perundingan Doha?

Pengumuman Israel mengenai perluasan operasi daratnya di Jalur Gaza melalui operasi “Arabat Gideon” menimbulkan pertanyaan serius mengenai kelanjutan perundingan di Doha yang bertujuan menghentikan perang dan menyepakati pertukaran tahanan.

Keputusan yang bertepatan dengan persetujuan Israel untuk mengizinkan masuknya bantuan kemanusiaan ini juga menimbulkan spekulasi mengenai motif sebenarnya dari kebijakan tersebut.

Sekretaris Jenderal Inisiatif Nasional Palestina, Mustafa Barghouti, menyatakan bahwa upaya yang dilakukan oleh utusan Amerika Serikat (AS) untuk Timur Tengah, Steven Wiettkof, dalam perundingan hanyalah upaya untuk menutupi rencana kunjungan Presiden Donald Trump ke kawasan.

Dalam wawancaranya di program “Masar al-Ahdats” (Lintasan Peristiwa), Barghouti menuding adanya kemitraan penuh antara AS dan Israel yang menggunakan makanan, perawatan medis, serta bantuan kemanusiaan sebagai alat perang militer.

Menurutnya, Washington dan Tel Aviv bergerak bersama untuk menerapkan rencana Israel yang ia sebut sebagai bentuk “pembersihan etnis”.

Ia menilai bahwa Israel kini tengah menghadapi kesulitan besar dalam upaya mencapai tujuan perangnya yang sudah berlangsung selama 19 bulan.

“Mereka belum berhasil menghancurkan perlawanan, belum berhasil membebaskan tawanan mereka, gagal menuntaskan pembersihan etnis, dan kini menghadapi krisis terkait pasukan cadangan,” ujar Barghouti.

Sementara itu, pengamat urusan Israel, Muhannad Mustafa, menilai bahwa intensitas operasi militer Israel saat ini bergerak lebih cepat dibanding laju perundingan di Doha.

Ia menyatakan bahwa Israel terus melangkah dalam proyek politik dan ideologisnya di Gaza, tanpa keinginan memberikan jaminan penghentian perang.

“Mereka hanya menginginkan gencatan senjata sementara dengan syarat-syarat mereka sendiri,” katanya.

Mustafa menambahkan bahwa pengusiran warga dari Gaza utara merupakan bagian dari visi pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk menduduki penuh wilayah tersebut, sekaligus menjadi bentuk tekanan terhadap Hamas dalam kerangka perundingan Doha.

Pada hari Minggu, militer Israel mengumumkan telah memulai operasi darat secara luas di wilayah utara dan selatan Gaza sebagai bagian dari operasi “Arabat Gideon”.

Dalam seminggu terakhir, tentara Israel menyebut telah menggempur 670 sasaran di Gaza, sebagai bagian dari persiapan serangan darat.

Namun, data medis dari lapangan mencatat ratusan korban jiwa dan luka akibat serangan yang menyasar rumah-rumah warga, tenda pengungsi, dan bahkan rumah sakit.

Dari perspektif militer, pengamat dan mantan perwira tinggi militer, Brigadir Jenderal Elias Hanna, menyatakan bahwa Israel kini tengah melakukan pengosongan wilayah Gaza utara dari penduduk sipil, mengingatkan pada pelaksanaan “Rencana Para Jenderal”.

Strategi ini mengandalkan serangan udara dan artileri intensif, serta membidik infrastruktur dan pemimpin-pemimpin kelompok perlawanan.

Ia menilai bahwa keterlibatan Israel dalam perundingan Doha tak lebih dari strategi pengalihan, sementara medan pertempuran di Gaza terus berubah dari detik ke detik.

Menurut Hanna, hal ini mengungkap tujuan sesungguhnya: perang total yang menyeluruh.

Hanna juga menggarisbawahi permasalahan yang dihadapi militer Israel, yakni kebutuhan akan tambahan pasukan di tengah kekurangan personel.

Cadangan pasukan kini harus disebar ke berbagai front: Tepi Barat, Lebanon, Suriah, dan dua divisi tambahan—divisi ke-98 dan ke-162—dikerahkan ke Gaza.

Bantuan kemanusiaan

Di tengah meningkatnya operasi militer, Kantor Perdana Menteri Israel mengumumkan bahwa keputusan untuk mengizinkan masuknya bantuan kemanusiaan ke Gaza diambil atas rekomendasi militer, demi memperluas cakupan operasi.

Situs berita Axios yang berbasis di AS mengutip pejabat Israel yang menyebut bantuan akan disalurkan melalui sejumlah organisasi internasional, sebelum mekanisme distribusi bantuan yang baru mulai berlaku pada 24 Mei ini.

Mustafa Barghouti menilai keputusan ini muncul sebagai respons terhadap tekanan internasional dan skandal kemanusiaan yang semakin terbuka ke publik global.

Namun ia mempertanyakan bahwa isu utamanya bukan pada izin masuk bantuan, melainkan pada bagaimana bantuan itu akan dibagikan.

Ia menegaskan bahwa komunitas internasional tak boleh membiarkan pemerintahan Netanyahu merealisasikan agendanya yang sejatinya bukan untuk membasmi Hamas atau membebaskan tawanan, melainkan untuk mencabut rakyat Palestina dari tanah mereka.

Muhannad Mustafa juga melihat kebijakan bantuan ini sebagai bagian dari “rencana kemanusiaan Israel-Amerika”.

Ia menilai bahwa pemberian bantuan tak akan mengubah dinamika perundingan di Doha. Ia menggarisbawahi bahwa perluasan operasi militer bertepatan dengan penerapan rencana tersebut di selatan Gaza, yang menurutnya merupakan bagian dari kesepahaman antara Washington dan Tel Aviv.

Dari perspektif militer, Elias Hanna menyebut bahwa pusat-pusat distribusi bantuan kini mulai dibangun dan diamankan dari kejauhan, terutama bagi penduduk Gaza selatan di bawah garis pemisah Morag, antara Khan Younis dan Rafah.

Dalam situasi yang semakin genting ini, Hanna menegaskan bahwa satu-satunya pilihan bagi kelompok perlawanan Palestina adalah “berjuang sampai titik darah penghabisan.”

Baginya, tidak ada opsi menyerah. Pertempuran ini adalah persoalan hidup atau mati.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular