Shimaa Arafah masih menunggu izin perjalanan demi dapat berangkat ke Kanada untuk mengikuti program magister keperawatan.
Ia menyelesaikan studi sarjananya di tengah perang di Gaza, saat hidup sebagai pengungsi di sebuah tenda.
Sejak awal agresi, ia bekerja sebagai perawat di berbagai rumah sakit di Jalur Gaza, menyaksikan dari jarak dekat bagaimana sistem layanan kesehatan runtuh dihantam serangan dan blokade.
Meski telah mengantongi surat penerimaan akademik final, Shimaa tak kunjung bergerak ke tahap berikutnya.
Sudah lebih dari setahun ia terjebak hanya karena satu hal: tidak mampu menyerahkan data biometrik—rekam sidik jari dan foto—yang menjadi syarat wajib pengurusan visa.
Ia memohon negara-negara sahabat untuk membantu mengevakuasi sementara para mahasiswa Gaza agar dapat menjalani proses itu di tempat lain.
Setiap penundaan, menurutnya, berarti “menunda masa depan dan mematahkan mimpi”.
“Kami para mahasiswa adalah anak-anak muda yang berprestasi dan penuh tekad. Kami hanya butuh kesempatan untuk membuktikan kemampuan kami dan berkontribusi bagi pembangunan kembali tanah air kami. Karena itu, kami berharap kalian dapat mendukung kami seperti yang selalu kalian lakukan,” ujar Shimaa, 24 tahun.
Prosedur yang dianggap diskriminatif
Sebanyak 130 mahasiswa Palestina dari Jalur Gaza hingga kini masih menunggu visa studi Kanada.
Meskipun, semuanya sudah dinyatakan lolos seleksi dan diterima dalam program magister yang sepenuhnya didanai universitas-universitas ternama.
Penantian mereka telah berlangsung hingga 18 bulan—waktu yang jauh lebih panjang dibandingkan proses normal permohonan visa pelajar yang umumnya selesai dalam 10 pekan.
Para mahasiswa tersebut diterima dalam berbagai disiplin ilmu prioritas, mulai dari kedokteran, riset kanker, teknik sipil dan elektro, pemrograman dan kecerdasan buatan, hingga pendidikan.
Seluruh dokumen dan persyaratan telah mereka lengkapi. Namun mereka tetap terhenti di satu titik: Gaza tidak memiliki kantor imigrasi Kanada (IRCC) untuk pengambilan data biometrik.
Di saat yang sama, mereka juga tidak dapat meninggalkan wilayah tersebut akibat perang dan aturan yang mewajibkan visa untuk memasuki negara mana pun guna menjalani prosedur itu.
Menurut Neda Al-Falou, juru bicara Jaringan Mahasiswa dan Akademisi Palestina yang Terancam—berbasis di Kanada dan berperan membantu para mahasiswa Gaza mendapatkan beasiswa—para pemohon visa ini menghadapi perlakuan yang dianggap diskriminatif, serta penundaan yang membahayakan peluang akademik mereka.
Ia menilai negara lain, seperti Prancis, Italia, dan Inggris, telah memberikan perlakuan khusus berupa pengecualian kemanusiaan untuk memudahkan perjalanan para mahasiswa Palestina. Namun Ottawa belum mengambil langkah serupa.
“Kanada mampu membantu para mahasiswa ini. Kanada seharusnya mempermudah perjalanan mereka, mengizinkan pengambilan biometrik di negara ketiga, serta menghapus prosedur bias yang menunda visa mereka. Sangat memalukan bila penundaan ini dilakukan secara sengaja dan berdampak diskriminatif bagi mahasiswa Palestina,” katanya kepada Al Jazeera Net.
Aspirasi dan tujuan yang tertunda
Hal serupa dialami Eid Awkal, 24 tahun, yang sejak lebih dari setahun lalu sudah menerima surat penerimaan penuh dari University of Alberta untuk studi magister di bidang teknik biomedis.
Namun ia tetap tak dapat berangkat karena tak kunjung menyelesaikan proses biometrik.
Selama perang, Eid menjadi relawan di rumah sakit dan pusat rehabilitasi, membantu anak-anak yang kehilangan anggota tubuh serta para pasien trauma.
Pengalaman itu memperkuat tujuan akademiknya—mengembangkan teknologi rehabilitasi yang dapat membantu korban luka perang memperoleh kembali mobilitas mereka dengan bermartabat.
Ia telah menyiapkan rencana besar: mendirikan laboratorium pertama di Gaza yang berfokus pada teknologi rehabilitasi saraf, termasuk pembuatan perangkat yang membantu pemulihan gerak.
Pendidikan magister di Kanada menjadi batu loncatan penting untuk mewujudkan gagasan tersebut.
Namun semua itu kini tersandera pada ketidakmampuan meninggalkan Gaza untuk sekadar menyetorkan sidik jari.
“Kami terperangkap dalam lingkaran yang tak berujung,” ujarnya.
Ia menyerukan agar negara-negara sahabat bersedia menampung sementara para mahasiswa hingga mereka rampung menjalani tes biometrik.
“Pendidikan itu hak, bukan kemewahan. Kursi kuliah yang kami perjuangkan bukan hanya mimpi pribadi, tetapi langkah membangun kembali masyarakat ilmiah dan sektor kesehatan yang telah porak-poranda,” katanya.
Perjuangan yang tak kunjung usai
Kisah serupa datang dari Reeman Rizq, 23 tahun, sarjana Bahasa Inggris yang memperoleh beasiswa studi pendidikan di sebuah universitas di Kanada.
Untuk sampai pada tahap ini, ia melewati proses panjang—mencari peluang, menghubungi kampus-kampus, mengikuti wawancara daring di tengah situasi perang dan blokade.
Reeman bercita-cita menggabungkan pendidikan dengan kesehatan mental, menciptakan ruang belajar yang menjadi tempat aman dan menyenangkan bagi anak-anak.
Baginya, sekolah bukan hanya ruang pelajaran dan tugas, tetapi tempat anak menemukan pemulihan dari trauma.
Mimipi itu terasa kian mendesak ketika sistem pendidikan Gaza lumpuh, sekolah-sekolah hancur, dan kampus-kampus tutup akibat perang.
Namun lagi-lagi, prosedur biometrik Kanada menghentikannya. Tanpa kemampuan meninggalkan Gaza, ia tak dapat memenuhi persyaratan wajib tersebut.
Ini pun bukan kali pertama ia kehilangan kesempatan. Pada Mei 2024, Reeman gagal berangkat untuk program beasiswa Erasmus+ di Spanyol karena penutupan perbatasan Rafah.
Ia menyayangkan bagaimana hambatan perjalanan telah memutus peluang pendidikan yang seharusnya terbuka bagi generasi muda Gaza.
“Pendidikan adalah hak, dan ia menjadi alat penting untuk membangun kembali Gaza. Kami para mahasiswa hanya menginginkan kesempatan melanjutkan studi, lalu kembali untuk berkontribusi bagi pembangunan dan pemulihan setelah perang,” ujarnya.


