Saturday, July 5, 2025
HomeBeritaANALISIS - Di mana posisi elite Arab dalam perang Gaza?

ANALISIS – Di mana posisi elite Arab dalam perang Gaza?

Perang yang dilancarkan Israel atas Jalur Gaza sejak 7 Oktober 2023 dan mengarah pada pola pemusnahan massal terhadap rakyat Palestina telah memunculkan pertanyaan mendalam.

Pertanyaan itu mengenai peran aktor-aktor politik, lembaga resmi negara-negara Arab, serta organisasi masyarakat sipil, partai politik, tokoh pemikir, dan elite di kawasan.

Khususnya, bagaimana mereka merespons tragedi ini, baik melalui inisiatif nyata untuk menghadapi dampaknya, maupun dalam memperkuat ketahanan rakyat Palestina dari sisi kemanusiaan, hukum, ekonomi, politik, hingga media.

Dalam edisi keenam Majalah Al Jazeera untuk Kajian Komunikasi dan Media, yang diterbitkan oleh Al Jazeera Center for Studies, dimuat studi komprehensif oleh Dr. Abdel Hakim Ahmin berjudul Efektivitas Peran Elite Arab dalam Perang Israel atas Gaza dan Pandangannya terhadap Prioritas Perjuangan Palestina (2023–2025).

Studi ini mencoba menelaah bentuk, tingkat, dan dimensi keterlibatan elite Arab, serta peran segmen-segmen elite yang berpengaruh, di tengah meningkatnya gelombang protes rakyat di dunia digital dan di jalan-jalan kota Arab maupun internasional.

Studi ini dipresentasikan dalam rangka konferensi ilmiah “Jurnalisme Investigatif dan Metodologi Ilmiah dalam Peliputan Perang dan Konflik,” yang digelar oleh Al Jazeera Center bersama Universitas Sidi Mohamed Ben Abdellah di Kota Fez, Maroko, pada 4–5 Desember 2024.

Penulis menilai, pentingnya peran elite meningkat seiring dengan kebijakan pengepungan total Israel atas Gaza, penghancuran infrastruktur dan fasilitas hidup, serta upaya pengusiran massal warga keluar dari wilayah tersebut.

Semua ini terjadi di tengah kegagalan lembaga-lembaga internasional menghentikan perang dan genosida.

Selama periode serangan ini, Israel tetap memperoleh dukungan kuat dari negara-negara Barat—baik secara militer, finansial, politik, diplomatik, maupun media.

Fase-fase pemusnahan massal bahkan mencapai titik ekstrem, dengan digunakannya senjata kelaparan, pemutusan akses air, dan perampasan hak atas layanan kesehatan, yang berdampak fatal terhadap fisik dan psikis masyarakat Gaza.

Pertarungan narasi dan tanggung jawab elite

Perang ini kembali membangkitkan pertanyaan krusial bukan hanya soal pentingnya keberadaan elite, tetapi juga efektivitas dan arah keterlibatan mereka.

Di satu sisi, elite Palestina di berbagai bidang—politik, militer, media, dan medis—menampilkan peran signifikan, baik di lapangan maupun dalam perang informasi.

Video-video pernyataan Abu Ubaida, juru bicara militer Brigade Al-Qassam (sayap bersenjata Hamas), menjadi fenomena global di media sosial, mengisi kekosongan informasi di tengah embargo media atas Gaza.

Di sisi lain, elite Israel juga menjalankan operasi media dan politik paralel, untuk menjustifikasi operasi genosida di Gaza.

Bahkan lembaga-lembaga PBB, pengadilan internasional, LSM hak asasi manusia, universitas, partai politik, dan negara-negara asing turut memainkan peran dalam membangkitkan kesadaran global terhadap tragedi kemanusiaan ini, hingga menciptakan gelombang protes harian di berbagai belahan dunia.

Dalam situasi darurat—baik dari sisi kemanusiaan, keamanan, hingga psikologis—peran elite menjadi vital.

Bukan semata dalam kapasitas edukatif dan penciptaan opini publik untuk membongkar kejahatan perang, tetapi juga dalam memproduksi inisiatif yang mampu menekan pembuat kebijakan agar mengubah arah konflik.

Di saat yang sama, mereka diharapkan aktif menyatu dengan masyarakat, memimpin harapan akan kemerdekaan dari dominasi dan proyek normalisasi Israel di kawasan Arab.

Tantangan politik dan keterbatasan gerak

Namun, sebagaimana dicatat dalam studi ini, elite Arab menghadapi tantangan berat yang bersumber dari kondisi politik regional pasca-gagalnya transisi demokrasi akibat gelombang kontra-revolusi sejak 2013.

Peneguhan sistem otoriter telah menutup ruang publik dan kehidupan politik, menggantikan cita-cita demokrasi dengan kontrol keamanan.

Dampak dari kenyataan ini menyebabkan peran elite mengalami distorsi. Sebagian telah menyatu dengan struktur negara otoriter dan mengedepankan narasi “urusan domestik lebih penting”.

Sebagian lainnya memilih menyendiri, menjauh dari opini publik dan isu nasional, atau bahkan mengalami represi akibat aktivitas di ranah digital dan aksi jalanan—berujung pada pengucilan, sensor, hingga penahanan.

Meskipun terdapat dilema besar, terutama setelah serangan Thaufan al-Aqsha (Badai Al-Aqsha) pada 7 Oktober 2023 yang menargetkan permukiman Israel di sekitar Gaza.

Hal itu menuai perdebatan tentang manfaat, biaya kemanusiaan, dan konsekuensi geopolitiknya—aksi balasan brutal Israel justru menyadarkan banyak pihak.

Gelombang pembantaian yang dilakukan oleh militer Israel telah mendorong banyak anggota elite Arab untuk menyatakan sikap melalui berbagai bentuk dukungan, termasuk aksi simbolik, advokasi, dan kampanye digital serta diplomasi sipil.

Kesimpulan studi

Studi yang dilakukan oleh Dr. Abdel Hakim Ahmin, sebagaimana dipublikasikan dalam Majalah Al Jazeera untuk Kajian Komunikasi dan Media, menyimpulkan sejumlah temuan penting mengenai efektivitas peran elite Arab dalam merespons genosida yang dilakukan militer Israel atas Jalur Gaza sejak 7 Oktober 2023.

Pertama, studi ini menegaskan pentingnya teori peran dalam memahami fenomena kemanusiaan dan menganalisis bagaimana individu, lembaga, masyarakat, dan negara menjalankan tanggung jawabnya dalam menangani isu-isu terkait perang Gaza secara khusus, serta perjuangan Palestina secara umum.

Kedua, terdapat keselarasan antara hasil kuantitatif melalui kuesioner dan jawaban terbuka terhadap pertanyaan: “Apa peran dan prioritas yang seharusnya menjadi fokus elite Arab setelah perang Gaza?”

Temuan menunjukkan bahwa tingkat dukungan dan persetujuan publik meningkat saat peran elite dikaitkan dengan bidang keilmuan, budaya, media, dan hak asasi manusia.

Sebaliknya, tingkat persetujuan menurun jika peran elite dikaitkan dengan posisi mereka terhadap kekuasaan atau ideologi politik tertentu.

Sebanyak 64 persen responden menilai elite Arab menunjukkan respons positif secara budaya, media, dan hak asasi terhadap perang Gaza.

Sebanyak 59 persen menyatakan bahwa elite menghasilkan karya beragam lintas bidang.

Sedangkan 65 persen menyatakan elite turut berkontribusi dalam analisis dan penafsiran terhadap dinamika perang tersebut.

Namun demikian, hanya 36 persen yang menyatakan elite mampu merumuskan gagasan dan tindakan praktis selama perkembangan perang.

Mayoritas responden juga menunjukkan ketidakpuasan terhadap kemampuan elite dalam menyatukan sikap, merancang strategi bersama, dan mengoptimalkan peran mereka dalam memperkuat suara masyarakat Arab, terutama terkait isu Palestina.

Ketiga, terdapat kepuasan sedang hingga tinggi terhadap kinerja elite di bidang ilmu pengetahuan, budaya, media, dan hak asasi manusia.

Namun, karena aspek ini dianggap telah relatif berjalan, maka para responden justru menempatkan tuntutan terhadap peran elite di bidang tersebut pada prioritas yang lebih rendah dalam jawaban terbuka.

Keempat, studi menunjukkan lemahnya peran elite dalam membangun visi pembebasan Palestina yang terkoordinasi dengan warga Palestina sendiri, serta dalam menyebarluaskan kesadaran tentang isu Palestina di tingkat Arab maupun global.

Demikian pula, kontribusi elite dalam menyelesaikan persoalan perpecahan internal Palestina dinilai masih sangat terbatas.

Tugas-tugas ini dianggap fundamental dan menuntut pendekatan strategis. Karena itu, responden menempatkan kerja persatuan sebagai prioritas pertama, disusul oleh bidang keilmuan dan budaya, lalu peran individu dan kerja strategis, serta terakhir penyadaran publik.

Dalam aspek dukungan elite terhadap perjuangan Palestina selama perang Gaza, hanya 30 persen responden merasa puas dengan upaya elite membangun visi pembebasan Palestina bersama rakyatnya.

Sebanyak 46 persen menilai upaya penyadaran publik masih di bawah rata-rata, sementara 40 persen menilai elite cukup aktif membela isu Palestina secara umum dan isu perpecahan Palestina secara khusus.

Kelima, terdapat konsensus hampir mutlak (93 persen) di antara responden bahwa perbedaan politik antarnegara Arab memengaruhi cara pandang dan reaksi elite terhadap perang di Gaza.

Sebanyak 87 persen juga menyatakan bahwa kedekatan elite dengan rezim penguasa, lembaga kekuasaan, dan media turut memperdalam perpecahan di antara kalangan elite sendiri.

Lebih dari itu, 77 persen responden menilai elite Arab belum berhasil menghadirkan alternatif baru selain dua jalur utama yang selama ini dominan: perlawanan bersenjata dan perundingan.

Ketiadaan visi alternatif ini mencerminkan stagnasi pemikiran strategis elite Arab dalam menghadapi pendudukan Israel.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular