Thursday, October 16, 2025
HomeBeritaANALISIS - Israel manfaatkan gencatan senjata untuk poles citra

ANALISIS – Israel manfaatkan gencatan senjata untuk poles citra

Kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Hamas baru-baru ini dinilai oleh banyak pihak, termasuk Israel dan sekutu-sekutu Baratnya, sebagai peluang untuk memperbaiki citra internasional yang terpuruk akibat tuduhan genosida serta memulihkan hubungan diplomatik yang renggang akibat tekanan opini publik.

Selama lebih dari dua tahun ofensif militer Israel di Jalur Gaza, lebih dari 67.900 warga Palestina tewas dan 170.000 lainnya terluka. Infrastruktur sipil pun hancur, dengan sekitar 92 persen hunian rusak atau rata dengan tanah. Blokade total yang diberlakukan Israel turut memicu bencana kelaparan, yang kini telah secara resmi dinyatakan oleh badan internasional.

Sejumlah organisasi hak asasi manusia, termasuk dari dalam Israel sendiri seperti B’Tselem dan Physicians for Human Rights Israel (PHRI), menyimpulkan bahwa tindakan Israel memenuhi unsur-unsur genosida. Komisi Penyelidikan PBB bahkan mengonfirmasi temuan tersebut pada September lalu.

Menanggapi gencatan senjata yang diumumkan di Knesset Israel pada Selasa, tokoh oposisi Yair Lapid menyatakan bahwa “demonstrasi di London, Roma, dan Paris” telah “tertipu oleh propaganda.” Ia menolak tuduhan genosida dan kelaparan yang disengaja sebagai “tidak berdasar.”

Namun, menurut mantan penasihat pemerintah Israel, Daniel Levy, pernyataan semacam itu mencerminkan penolakan sistemik terhadap kritik dari luar. “Penolakan ini menjadi bagian dari upaya menciptakan konsensus internal, di mana media berperan besar dalam membentuk opini publik yang mendukung kebijakan perang,” katanya kepada Al Jazeera.

Levy menambahkan bahwa pola ini terlihat hampir di seluruh spektrum politik Zionis di Israel, kecuali sebagian kecil kelompok penentang.

Di kalangan masyarakat Israel sendiri, nyaris tidak ada kesadaran mengenai skala kehancuran dan penderitaan yang dialami rakyat Gaza. “Kami bahkan tidak hidup dalam realitas yang sama,” ujar Guy Shalev dari PHRI. “Keluarga saya dan saya sendiri tidak bisa sepakat mengenai apa yang disebut sebagai ‘kebenaran’. Selama itu tidak tercapai, tidak akan pernah ada akuntabilitas – dan semua ini bisa saja terulang.”

Beberapa tokoh politik Israel bahkan menunjukkan keinginan untuk melanjutkan konflik. Itamar Ben-Gvir, Menteri Keamanan Nasional yang berhaluan keras, menyebut kesepakatan gencatan senjata sebagai “kekalahan nasional” dan “aib abadi”. Sementara itu, anggota parlemen dari partai Likud, Amit Halevi, menyatakan bahwa Israel seharusnya menyampaikan pesan yang lebih tegas: “Bangsa Yahudi tidak akan lupa atau memaafkan, sampai Hamas dihancurkan total dan kendali atas Gaza dikembalikan sepenuhnya ke tangan Israel.”

Di kancah internasional, tanda-tanda pemulihan hubungan mulai tampak. Kanselir Jerman Friedrich Merz menyatakan bahwa tidak ada lagi alasan bagi warga Jerman untuk terus berdemonstrasi menentang Israel, menyusul kesepakatan gencatan senjata.

Beberapa pejabat senior di Berlin bahkan menyerukan dilanjutkannya ekspor senjata ke Israel, meskipun situasi di Gaza masih belum sepenuhnya stabil dan isu pendudukan wilayah Palestina tetap menjadi pelanggaran hukum internasional.

Duta Besar Israel untuk Uni Eropa yang baru, Avi Nir-Feldklein, dikabarkan meminta Uni Eropa agar “menghapus” rencana sanksi terhadap Israel, sebagai syarat untuk dilibatkan dalam upaya rekonstruksi Gaza.

Bahkan di ranah olahraga dan budaya, potensi pelarangan partisipasi Israel dalam ajang UEFA dan Eurovision disebut-sebut mulai mereda, menyusul tekanan dari Amerika Serikat yang mendorong gencatan senjata.

Meski pemerintah dan elite politik tampak berusaha kembali ke status quo sebelum perang, sejumlah analis menilai perubahan mendasar belum terjadi. HA Hellyer dari Royal United Services Institute menilai bahwa yang terjadi saat ini mirip dengan situasi pasca-Perjanjian Oslo pada 1990-an, di mana proses perdamaian tetap berlangsung meskipun realisasi negara Palestina semakin jauh.

“Selama kekerasan tetap berada di bawah ambang batas tertentu, dunia tampaknya siap menoleransi,” ujarnya dari Washington.

Namun, sikap publik – khususnya generasi muda – menunjukkan perubahan besar. Dua tahun kehancuran dan penderitaan yang disaksikan secara langsung maupun lewat media sosial telah menciptakan kesadaran baru. Daniel Levy mencatat bahwa semakin banyak masyarakat di negara-negara Barat yang tidak lagi menerima narasi bahwa “semuanya baik-baik saja”.

“Realitas di lapangan – dehumanisasi terhadap rakyat Palestina, kekerasan struktural, dan pendudukan yang brutal – menjadi alasan kuat bagi publik untuk terus menyuarakan penolakan,” kata Levy.

Bagi warga Gaza yang tersisa, yang masih berjuang di tengah kelaparan dan keterbatasan bantuan kemanusiaan, segala bentuk pemulihan hubungan internasional dengan Israel membawa konsekuensi nyata.

“Banyak pihak akan memilih melupakan – baik di Israel, maupun di negara-negara yang selama ini enggan mengakui genosida atau ingin menghindari keterlibatan mereka di dalamnya,” kata Shalev. “Tapi korban tidak bisa melupakan. Kami juga tidak akan berhenti bicara.”

Pizaro Idrus
Pizaro Idrus
Kandidat PhD bidang Hubungan Internasional Universitas Sains Malaysia. Peneliti Asia Middle East Center for Research and Dialogue
ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler