Masalah utama dari rencana Trump dan resolusi Dewan Keamanan PBB yang mendukungnya adalah tuntutan yang terlalu besar terhadap pasukan multinasional, melampaui kesediaan negara-negara yang diharapkan terlibat, lansir Haaretz.
Tanpa kejelasan yang lebih rinci mengenai karakter dan cakupan tugas pasukan tersebut, peluang pembentukannya terbilang kecil. Situasi ini berpotensi dimanfaatkan Hamas.
Seperti disiratkan Khaled Meshal, Hamas dapat mendorong pemerintahan Trump untuk membuka jalur perundingan langsung atau tidak langsung dengan organisasi tersebut. Dengan cara itu, Hamas berpeluang kembali memosisikan diri sebagai satu-satunya kekuatan politik yang mampu menyelamatkan rencana Trump dari kebuntuan, tanpa harus memicu kembali konflik bersenjata di Gaza.
Di sisi lain, perbedaan pandangan juga muncul di internal Hamas terkait peran ideologis senjata.
Pertanyaannya, apakah senjata tetap menjadi elemen kunci untuk melanjutkan perlawanan bersenjata terhadap Israel sekaligus mempertahankan status Hamas sebagai satu-satunya kekuatan perlawanan Palestina?
Ataukah, dalam konteks baru yang tengah terbentuk, senjata justru dapat dijadikan alat tawar politik yang memungkinkan Hamas tetap bertahan sebagai entitas politik, meskipun tidak terlibat secara terbuka dalam pemerintahan sipil Gaza?
Gagasan menjadikan senjata sebagai alat tawar politik ini belakangan dibahas dalam komunikasi antara Hamas dengan Turki, Qatar, dan Mesir. Menteri Luar Negeri Turki, Hakan Fidan, sekitar dua pekan lalu menyatakan bahwa pelucutan senjata Hamas bukanlah prioritas utama. Pernyataan ini sejalan dengan pendekatan yang lebih pragmatis dari sejumlah negara mediator kawasan.
Namun, sikap tersebut tidak sejalan dengan resolusi Dewan Keamanan PBB dan bertolak belakang dengan posisi Israel, serta—untuk saat ini—dengan sikap Presiden Trump. Meski demikian, Trump yang berambisi memulai implementasi fase berikut rencananya pada pertengahan Januari dan mempertaruhkan reputasinya pada keberhasilan agenda tersebut, tetap harus mengambil keputusan krusial terkait isu pelucutan senjata.
Apakah pelucutan senjata harus menjadi prasyarat mutlak yang dijalankan tanpa kompromi sebelum bagian lain dari rencana dilaksanakan, atau masih tersedia ruang fleksibilitas sebagaimana diusulkan Turki dan Mesir?
Turki, Mesir, dan Qatar memang berperan sebagai penjamin pelaksanaan kesepakatan. Namun, setiap bentuk kelonggaran dalam isu senjata berisiko dipersepsikan sebagai konsesi—bahkan sebagai kemenangan politik—bagi Hamas, meskipun langkah itu dapat membuka jalan bagi implementasi fase kedua dan mengatasi kebuntuan pembentukan pasukan multinasional.


