Friday, June 6, 2025
HomeBeritaANALISIS - Krisis wajib militer haredi ancam kejatuhan pemerintahan Netanyahu

ANALISIS – Krisis wajib militer haredi ancam kejatuhan pemerintahan Netanyahu

Krisis politik internal yang semakin memanas terkait wajib militer bagi kalangan Haredi (Yahudi ultra-Ortodoks).

Hal itu menempatkan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu—yang kini tengah diburu Mahkamah Pidana Internasional atas dugaan kejahatan perang—dalam posisi politik paling rapuh selama masa pemerintahannya.

Sejumlah analis memperkirakan bahwa pemerintahan koalisi yang ia pimpin bisa runtuh dalam hitungan pekan, membuka jalan bagi pemilu dini yang mungkin digelar pada November mendatang.

Menurut Dr. Muhannad Mustafa, pakar politik Israel, Netanyahu menghadapi pilihan yang amat sulit.

Ia dituntut untuk meyakinkan Ketua Komisi Luar Negeri dan Keamanan Knesset, Yuli Edelstein, agar mengajukan rancangan undang-undang yang memberi pengecualian bagi pemuda Haredi dari wajib militer atau paling tidak mengurangi jumlah mereka yang harus direkrut.

Jika upaya tersebut gagal, Dr. Mustafa meyakini bahwa pembubaran parlemen dan pemilu dini menjadi skenario paling masuk akal dalam waktu dekat.

Ketegangan kian meningkat

Krisis ini mencapai titik kritis ketika pembicaraan antara Edelstein dan perwakilan faksi Yahudi ultra-Ortodoks “Yahadut HaTorah” berujung pada kebuntuan. Sumber dari dalam faksi menyebut pertemuan itu sebagai “kegagalan total”.

Situasi kian panas ketika Moshe Gafni, ketua faksi tersebut, menerima instruksi langsung dari pemimpin spiritual Partai Degel HaTorah, Rabbi Dov Landau.

Dalam pernyataannya, Rabbi Landau menegaskan agar partainya mendukung pembubaran parlemen jika dalam pekan depan belum ada keputusan hukum yang membebaskan para pelajar yeshiva (seminari agama Yahudi) dari wajib militer.

Langkah tersebut dinilai sebagai bentuk ancaman politik yang belum pernah terjadi sebelumnya dari kubu Haredi terhadap pemerintahan koalisi.

Bukan soal perang Gaza, melainkan soal identitas dan eksistensi internal yang memicu potensi perpecahan pemerintahan.

Kubu Haredi melihat wajib militer sebagai ancaman langsung terhadap cara hidup dan nilai-nilai keagamaan mereka.

Tokoh-tokoh penting seperti Moshe Gafni dan ketua Partai Shas, Aryeh Deri, secara terbuka menolak semua bentuk rekrutmen militer yang mencakup pemuda dari komunitas mereka.

Cermin kesenjangan sosial yang mendalam

Menurut Dr. Ziad Majed, guru besar ilmu politik, krisis ini memperlihatkan celah yang semakin dalam antara komunitas sekuler dan religius dalam masyarakat Israel.

Ia menekankan bahwa perubahan demografis dan menguatnya kelompok konservatif agama membuat ketegangan ini makin sulit dijembatani, terlebih dalam konteks perang yang belum kunjung usai di Gaza.

Situasi perang juga turut mengubah perspektif publik terhadap isu ini. Jika sebelumnya perdebatan seputar wajib militer Haredi lebih banyak berkisar pada keadilan ekonomi, kini narasinya telah bergeser menjadi pertanyaan eksistensial: “Mengapa kami yang mati di medan perang, sementara mereka hidup tenang?”

Analis politik Ahmad Al-Haila menggarisbawahi dampak langsung krisis ini terhadap militer Israel.

Penolakan bertugas dari hampir separuh pasukan cadangan, ditambah penolakan Haredi untuk direkrut, membuat militer kesulitan besar dalam menjaga kekuatan tempurnya.

Dr. Mustafa menambahkan bahwa upaya merekrut 50% pemuda Haredi sebagaimana dikehendaki militer akan meruntuhkan seluruh struktur sosial, pendidikan, dan budaya komunitas tersebut.

“Bagi mereka, ini bukan sekadar isu administratif. Ini soal hidup atau mati secara budaya dan spiritual,” ujarnya.

Tekanan internasional meningkat

Di luar krisis domestik, Israel juga menghadapi tekanan internasional yang makin besar.

Ahmad Al-Haila mengutip hasil survei dari lembaga Amerika yang menunjukkan bahwa dari 24 negara yang disurvei, 20 di antaranya kini memandang Israel secara negatif.

Dr. Majed turut mencatat pergeseran tajam dalam sikap Uni Eropa terhadap Israel, terutama setelah bocornya dokumen internal yang menuduh Israel melakukan kejahatan perang.

Negara-negara seperti Prancis dan Belanda disebut mulai mempertimbangkan ulang hubungan bilateralnya dengan Tel Aviv.

Nilai strategis tekanan ini menjadi lebih jelas jika melihat data ekonomi: sekitar 33% ekspor Israel ditujukan ke Eropa, dan banyak proyek sains dan teknologi Israel tergantung pada kemitraan Eropa.

Arah masa depan: Tergantung 2 hari ke depan

Situasi diperkirakan akan makin terang dalam dua hari ke depan, saat Netanyahu dijadwalkan bertemu Edelstein.

Namun, mengingat posisi Edelstein yang dikenal sebagai penentang Netanyahu dan tidak bersedia mendukung usulan yang menguntungkan kubu Haredi, banyak analis menilai peluang penyelesaian krisis ini sangat kecil.

Apabila pemerintahan benar-benar runtuh, skenario pemilu dini kemungkinan besar akan membawa perubahan signifikan.

Berdasarkan jajak pendapat terbaru di Israel, blok oposisi diperkirakan dapat meraih hingga 72 kursi di parlemen—jumlah yang cukup untuk membentuk pemerintahan baru dan mengakhiri era Netanyahu.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular