Friday, August 1, 2025
HomeAnalisis dan OpiniANALISIS - Langkah Inggris akui Palestina: Titik balik atau sekadar tekanan diplomatik?

ANALISIS – Langkah Inggris akui Palestina: Titik balik atau sekadar tekanan diplomatik?

Pemerintah Inggris menyatakan akan mengakui Negara Palestina paling lambat pada bulan September mendatang, kecuali jika Israel segera mengambil langkah konkret untuk menghentikan agresinya di Gaza dan kembali pada jalur perundingan damai yang kredibel.

Pengumuman tersebut disampaikan langsung oleh Perdana Menteri Keir Starmer dalam pernyataan resmi usai rapat kabinet darurat pada Selasa (30/7/2025).

Langkah Inggris ini dinilai sebagai perubahan besar dalam kebijakan luar negerinya dan mengikuti jejak Prancis, yang sebelumnya juga menyatakan akan mengakui Palestina dalam waktu dekat.

Pergeseran historis dalam diplomasi Inggris

Pengakuan tersebut diharapkan akan diumumkan sebelum Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York pada September.

“Kami akan mengakui negara Palestina sebagai kontribusi terhadap proses perdamaian yang sesungguhnya, pada momen yang paling berdampak untuk mewujudkan solusi dua negara. Dengan solusi itu kini berada dalam ancaman nyata, inilah saatnya untuk bertindak,” ujar Starmer.

Menteri Luar Negeri Inggris David Lammy, yang saat ini berada di New York dalam konferensi internasional yang diprakarsai Prancis dan Arab Saudi, turut menyampaikan dukungannya.

Lammy menyebut keputusan ini diambil “dengan sejarah yang membebani pundak kami”, mengacu pada peran Inggris dalam pendirian negara Israel melalui Deklarasi Balfour 1917.

Mengapa sekarang?

Menjawab pertanyaan soal waktu pengambilan keputusan, Starmer mengutip situasi “yang tak tertahankan” di Gaza dan semakin pudarnya harapan terhadap solusi dua negara.

Ia menekankan bahwa pengakuan ini diambil demi mendorong perubahan nyata di lapangan, termasuk menjamin masuknya bantuan kemanusiaan.

“Alasan langkah ini dilakukan sekarang adalah karena saya khawatir gagasan tentang solusi dua negara kini terasa lebih jauh dari sebelumnya,” katanya.

Langkah ini juga mencerminkan tekanan yang meningkat dari dalam Partai Buruh serta masyarakat Inggris yang mengutuk perang Israel di Gaza, yang telah menyebabkan lebih dari 60.000 warga Palestina tewas sejak serangan dilancarkan pada 7 Oktober 2023.

Serangan tersebut disebut Israel sebagai balasan atas aksi Hamas yang menewaskan lebih dari seribu warga di Israel, namun banyak organisasi HAM menilai respons Israel sebagai bentuk “pembumihangusan” dan dugaan genosida.

Syarat-syarat untuk pengakuan Palestina

Dalam pernyataannya, Starmer menyampaikan bahwa pengakuan negara Palestina telah lama menjadi bagian dari platform politik Partai Buruh dan kini menjadi pilar utama dari inisiatif perdamaian Inggris.

“Kedaulatan negara Palestina adalah hak yang tak dapat dicabut dari rakyat Palestina. Ini bukanlah pemberian dari negara tetangga mana pun dan merupakan hal mendasar bagi keamanan jangka panjang Israel,” tulis pernyataan resmi dari kantor Perdana Menteri.

Starmer menetapkan sejumlah syarat yang harus dipenuhi Israel agar Inggris menunda pengakuannya, antara lain:

  • Mengambil langkah nyata untuk mengakhiri bencana kemanusiaan di Gaza
  • Menyetujui gencatan senjata
  • Berkomitmen pada proses perdamaian yang berkelanjutan
  • Mengizinkan PBB kembali menyalurkan bantuan ke Gaza
  • Menyatakan dengan jelas bahwa tidak akan ada aneksasi lebih lanjut di Tepi Barat

Di sisi lain, Starmer juga menyampaikan tuntutan tegas kepada Hamas agar:

  • Membebaskan semua tawanan
  • Menyetujui gencatan senjata
  • Berkomitmen pada perlucutan senjata
  • Mengakui bahwa mereka tidak akan mengambil bagian dalam pemerintahan Gaza ke depan

Pemerintah Inggris akan mengevaluasi sejauh mana kedua belah pihak memenuhi syarat-syarat ini sebelum mengambil keputusan akhir pada September mendatang.

Apa arti pengakuan atas negara Palestina, dan siapa saja yang sudah melakukannya?

Rencana Inggris untuk mengakui Negara Palestina menandai babak baru dalam dinamika diplomatik global.

Meskipun dampaknya secara praktis terhadap penderitaan warga Gaza mungkin terbatas, pengakuan ini memiliki bobot simbolis dan politik yang tidak bisa diabaikan.

Siapa saja yang telah mengakui Palestina?

Hingga saat ini, 147 dari 193 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) — sekitar 75 persen dari komunitas internasional — telah secara resmi mengakui kedaulatan Negara Palestina.

Tiga negara Eropa, yakni Spanyol, Irlandia, dan Norwegia, menyampaikan pengakuan mereka tahun lalu, sementara Prancis telah mengonfirmasi akan memberikan pengakuan secara resmi pada Sidang Umum PBB bulan September mendatang.

Langkah ini dipandang sebagai bentuk tekanan politik terhadap negara-negara Barat lain yang selama ini enggan mengakui Palestina, termasuk Amerika Serikat (AS) — sekutu utama Israel.

Menurut William Lawrence, mantan diplomat AS, walaupun pengakuan ini tidak serta-merta membawa bantuan ke tangan warga Gaza yang tengah kelaparan, secara diplomatik langkah ini sangat besar artinya.

“Apa yang benar-benar mengejutkan saya adalah spesifikasi tuntutan dari Starmer,” katanya kepada Al Jazeera.

Lawrence menambahkan, “Jika seluruh dunia menyampaikan tuntutan terperinci dan seragam kepada Trump (Presiden AS), maka itu akan berdampak.

Semua ini penting, meski tidak menyelesaikan masalah secara instan. Dunia sedang bergerak ke arah yang benar — baik dalam menekan Israel maupun menekan AS.”

Apakah Inggris benar-benar akan akui Palestina?

Meski pernyataan Starmer terdengar tegas, analis memperingatkan bahwa Inggris belum sepenuhnya berkomitmen seperti Prancis.

Milena Veselinovic dari Al Jazeera melaporkan bahwa Starmer saat ini berada di bawah tekanan besar, baik dari publik maupun parlemen.

“Orang-orang tergerak oleh gambar-gambar warga Gaza yang kelaparan beberapa hari terakhir,” katanya dari London.

Pekan lalu, sebanyak 221 anggota parlemen dari sembilan partai politik menandatangani surat yang mendesak pengakuan Palestina. Kini jumlahnya telah meningkat menjadi 255 anggota parlemen.

Namun, Veselinovic mengingatkan bahwa ini bukan janji pasti seperti yang disampaikan Presiden Macron.

“Ini lebih merupakan taktik tekanan politik yang digunakan pemerintah Inggris terhadap Israel agar membaikkan kondisi kemanusiaan di Gaza,” ujarnya.

Apakah akan berdampak nyata di Gaza?

Menteri Luar Negeri Inggris David Lammy menyatakan harapannya bahwa langkah ini dapat mendorong perubahan situasi di lapangan, khususnya dalam mendorong gencatan senjata di Gaza.

Berbicara di PBB, Lammy menggambarkan bahwa dunia telah menyaksikan “pemandangan paling mengerikan” di Gaza, dan kini waktunya telah tiba untuk “mengurangi penderitaan rakyat Palestina”.

Namun, skeptisisme masih tinggi. Analis politik senior Al Jazeera, Marwan Bishara, mengatakan bahwa meskipun Inggris dan Prancis berbicara tentang perdamaian, mereka tetap mendukung Israel dalam perang di Gaza.

“Kita perlu melihat langkah konkret, bukan hanya retorika tinggi. Mereka tidak berada dalam posisi untuk bicara tentang perdamaian dan keadilan jika mereka masih terlibat dalam genosida,” ujarnya.

Bishara juga mengkritik kurangnya kejelasan dalam pengumuman kedua pemimpin soal pengakuan negara Palestina.

“Apakah yang mereka maksud negara di 10 persen wilayah Tepi Barat? Atau negara yang meliputi seluruh wilayah pendudukan 1967—termasuk Yerusalem Timur, Tepi Barat, dan Gaza—dengan wilayah yang utuh dan berdaulat?” katanya.

Bagaimana respons Israel?

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu langsung mengecam rencana Inggris. Dalam pernyataannya di media sosial X.

“Starmer menghadiahi terorisme biadab Hamas dan menghukum para korbannya,” tulisnya.

Kementerian Luar Negeri Israel juga menilai bahwa langkah Inggris justru menghambat upaya untuk mencapai gencatan senjata di Gaza dan kesepakatan pembebasan sandera.

Mereka menuding keputusan ini diambil bukan semata karena prinsip, melainkan dipicu oleh tekanan politik dalam negeri dan mengikuti langkah Prancis.

Sebagai catatan, Prancis menjadi negara pertama di kelompok G7 yang menyatakan niatnya untuk mengakui Palestina, dengan Presiden Emmanuel Macron menyebutnya sebagai bagian dari “komitmen historis” negaranya terhadap perdamaian yang adil dan abadi di Timur Tengah.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular