Monday, July 21, 2025
HomeBeritaANALISIS - Mengapa gencatan senjata di Suweida kali ini berbeda?

ANALISIS – Mengapa gencatan senjata di Suweida kali ini berbeda?

Dimulainya tahap pertama pelaksanaan perjanjian gencatan senjata di Provinsi Suweida, Suriah Selatan, membuka harapan baru bagi pemerintah Suriah dan masyarakat setempat.

Harapan tersebut adalah untuk mengakhiri ketegangan serta konflik bersenjata yang selama ini berkobar antara suku-suku Arab Badui dan kelompok bersenjata lokal. Pemerintah menyebutnya sebagai “kelompok di luar hukum”.

Tak seperti upaya-upaya sebelumnya, perjanjian kali ini dinilai lebih menjanjikan. Menurut para pengamat, terdapat sejumlah faktor yang kali ini bisa memberi daya tahan bagi perjanjian tersebut.

Bahkan. Menurutnya, menjadi jalan keluar yang nyata dari kekacauan berkepanjangan di provinsi yang mayoritas penduduknya beragama Druze itu.

Sejumlah kalangan meyakini bahwa perjanjian ini merupakan ujian sejati bagi kepemimpinan Presiden Suriah, Ahmad Al-Sharaa.

Jika berhasil, maka perjanjian ini tak hanya akan menstabilkan Suweida, tetapi juga menggagalkan upaya-upaya pihak asing yang dinilai ingin mendorong disintegrasi wilayah Suriah.

Kondisi kacau di Suweida pasca-penarikan pasukan pemerintah menyusul serangan udara Israel ke sejumlah titik vital Suriah pun menjadi pemicu perhatian internasional, termasuk dari Washington.

Dalam pernyataannya, Presiden Ahmad Al-Sharaa mengungkap bahwa ia menerima sejumlah seruan dari dunia internasional untuk segera campur tangan dan memulihkan keamanan di Suweida.

Ia menegaskan bahwa Suriah bukanlah ladang percobaan bagi proyek-proyek separatis atau disintegratif, sembari menyalahkan serangan Israel ke wilayah selatan dan ibu kota Damaskus sebagai pemicu utama eskalasi terakhir.

Peran internasional dan rancangan tiga tahap

Perjanjian gencatan senjata terbaru ini tak lepas dari peran aktif mediasi internasional, khususnya negara-negara Teluk Arab.

Perjanjian itu disusun dalam 3 tahap utama. Tahap pertama adalah penghentian bentrokan antara kelompok bersenjata lokal dan pasukan suku Arab Badui.

Tahap kedua menyangkut pengiriman bantuan medis serta pemulihan layanan dasar.

Sementara tahap ketiga, jika stabilitas telah tercapai, akan dilanjutkan dengan reaktivasi lembaga-lembaga negara dan penyebaran pasukan keamanan dalam negeri di seluruh wilayah Suweida.

Peneliti politik sekaligus kolumnis, Muayyad Ghazlan Qablawi, menilai bahwa keunggulan perjanjian ini terletak pada formulasi yang lebih realistis.

Kesepakatan kali ini menggunakan pendekatan bertahap dan bertumpu pada butir-butir yang bisa langsung diterapkan.

Menurut Qablawi, hal ini menjadi jaminan keseriusan kedua pihak serta memberi ruang bagi komunitas Druze untuk mendukung kehadiran kembali aparat keamanan nasional.

Pengamat Timur Tengah dari Brookings Institution, Steven Heydemann, menekankan peran penting Amerika Serikat (AS) dalam mendorong tercapainya kesepakatan ini.

Ia menyebut adanya perubahan signifikan dalam cara pandang pemerintahan Presiden Donald Trump terhadap keterlibatan Israel di Suriah.

Washington, menurut Heydemann, mulai menyadari bahwa intervensi militer Israel di wilayah Suriah telah menjadi faktor instabilitas baru.

Bahkan, Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio menyebut eskalasi Israel di Suriah sebagai tindakan yang “tidak menguntungkan”.

Sikap ini diperkuat dalam pertemuan segitiga di Amman, Yordania, yang mempertemukan utusan khusus AS untuk Suriah sekaligus Duta Besar untuk Turki, Tom Barrack, dengan Menteri Luar Negeri Yordania Ayman Safadi dan Menlu Suriah As’ad Al-Syaibani.

Dalam pertemuan tersebut, semua pihak menyatakan dukungan penuh terhadap kedaulatan, stabilitas, dan integritas wilayah Suriah.

Meski demikian, tak semua pihak menyambut positif gencatan senjata ini. Analis urusan Israel, Ihab Jabarin, menyebut bahwa Israel masih melihat gencatan senjata di Suweida ini belum mengubah peta besar konflik regional.

Namun, ia tak menampik bahwa perjanjian ini bisa menjadi momen krusial dalam proses pengikisan internal negara Suriah yang selama ini terus berlangsung.

Di sisi lain, pasukan Druze yang dipimpin tokoh karismatik, Hikmat Al-Hijri, juga menjadi faktor penting.

Pasukan ini mengalami kerugian besar dalam konflik terakhir melawan pasukan suku-suku Arab, dan tampaknya mulai mempertimbangkan jalur damai demi menghindari kerugian lebih lanjut.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular