Tuesday, August 5, 2025
HomeAnalisis dan OpiniANALISIS - Mengapa Netanyahu masih bisa perpanjang perang meski dihantam tekanan domestik?

ANALISIS – Mengapa Netanyahu masih bisa perpanjang perang meski dihantam tekanan domestik?

Meskipun tekanan internasional dan domestik kian menguat untuk menghentikan perang di Gaza, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, tetap bersikukuh melanjutkannya.

Ia memanfaatkan celah politik dalam negeri dan dukungan tak bersyarat dari Amerika Serikat (AS) untuk memperpanjang agresi, bahkan ketika kritik datang dari dalam institusi militer dan keamanan Israel sendiri.

Baru-baru ini, saluran berita Channel 14 melaporkan bahwa Netanyahu kembali mempertimbangkan opsi ekstrem: menginvasi dan menduduki Jalur Gaza sepenuhnya.

Padahal, gagasan ini ditentang oleh militer Israel sendiri, dengan laporan yang menyebut bahwa Kepala Staf Umum Eyal Zamir siap mengundurkan diri jika langkah tersebut benar-benar diambil.

Mantan Kepala Operasi Angkatan Bersenjata Israel, Yisrael Ziv, menyatakan bahwa tujuan pemerintah saat ini bukan lagi mengalahkan Hamas atau membebaskan sandera, melainkan mempertahankan perang itu sendiri.

“Mereka menjual ilusi kemenangan kepada rakyat,” ujarnya.

Hal itu menggambarkan situasi di Israel sebagai “kebuntuan yang disengaja”.

Menurut Ziv, Netanyahu menggunakan isu sandera bukan untuk menyelesaikannya, melainkan sebagai alat politik untuk menyalahkan Hamas dan menggagalkan berbagai upaya mencapai kesepakatan damai.

Beberapa laporan, baik dari dalam Israel maupun lembaga internasional, menyebut Netanyahu dengan sengaja menghalangi negosiasi gencatan senjata.

Sehingga membiarkan Hamas memetik kemenangan diplomatik secara cuma-cuma.

Kebuntuan ini juga tergambar dalam aksi-aksi protes yang terus berlangsung di kota-kota besar Israel seperti Tel Aviv dan Yerusalem.

Massa turun ke jalan membawa foto para sandera dan menyerukan penghentian perang.

Di saat yang sama, para pensiunan jenderal dan pejabat tinggi keamanan terus memperingatkan bahwa melanjutkan agresi hanya akan membawa kehancuran moral dan keterasingan internasional yang makin dalam.

Fondasi dukungan dari Amerika

Dalam lanskap geopolitik, posisi AS tetap menjadi penopang utama Netanyahu. Media Israel Yedioth Ahronoth mengungkap bahwa Presiden AS Donald Trump telah memberikan “lampu hijau” bagi operasi militer besar, kendati dikecam karena berisiko membahayakan keselamatan para sandera.

Dukungan ini, meski tidak selalu diungkap secara terang-terangan, memberi ruang manuver yang leluasa bagi Netanyahu.

Tanpanya, intervensi internasional untuk menghentikan perang mungkin sudah lebih kuat dan mendesak.

Analis politik Israel, Dr. Bilal Shobaki, dalam wawancara dengan program Masar al-Ahdath, menilai Netanyahu memainkan berbagai kontradiksi politik dalam negeri untuk menjaga kelangsungan koalisi pemerintahannya.

Isu-isu seperti sekularisme dan reformasi peradilan dimanfaatkan untuk mengalihkan perhatian publik dari kegagalan perang, sekaligus mempererat ikatan politik yang rapuh.

Shobaki menafsirkan wacana pendudukan Gaza bukan sebagai strategi militer sejati, melainkan sebagai alat taktis untuk menekan Hamas dan memengaruhi opini publik Israel.

Kebocoran informasi semacam itu, menurutnya, bisa digunakan untuk menguji respons masyarakat atau menciptakan pembenaran bagi kesepakatan yang lebih terbatas, namun tetap dibingkai sebagai “hasil ancaman invasi total”.

Mantan anggota parlemen Inggris, Claudia Webbe, melihat bahwa perang yang berlangsung di Gaza telah melampaui batas konflik militer biasa.

“Ini bukan lagi perang. Ini pembantaian sistematis,” tegasnya.

Ia mengkritik negara-negara Barat karena diam atau bahkan turut memperparah penderitaan, misalnya lewat penjualan senjata kepada Israel.

Seperti yang dilakukan pemerintah Inggris, meskipun ada keputusan pengadilan internasional yang mengindikasikan potensi kejahatan genosida.

Webbe menambahkan bahwa protes massal yang menyebar di kota-kota Eropa dan Australia menunjukkan kebangkitan kesadaran kolektif tentang tanggung jawab pemerintah Barat dalam mempertahankan kekerasan ini.

Menurutnya, jika tekanan publik terus berlanjut hingga ke kotak suara, sikap bungkam para pemimpin dunia tak akan bertahan lama.

Pendekatan Amerika

Sebaliknya, kalangan konservatif di Amerika Serikat tetap memegang narasi yang menyalahkan Hamas atas berlarutnya perang.

Dr. James Robbins dari American Foreign Policy Council misalnya, menegaskan bahwa satu-satunya cara menghentikan konflik adalah dengan “menyerahnya Hamas dan penyerahan senjata”.

Namun pandangan ini dikritik tajam oleh para narasumber lainnya. Penulis dan analis politik Ahmed al-Hila menyebut pendekatan seperti itu sebagai bentuk penghancuran terhadap prinsip hukum internasional.

Ia menuding Amerika Serikat telah memberikan Israel “izin” untuk menggunakan kelaparan dan pembunuhan massal sebagai alat tawar-menawar.

Menurut al-Hila, Netanyahu telah menggagalkan sejumlah tawaran negosiasi yang diajukan Hamas.

“Menuduh Hamas tidak siap berunding hanyalah dalih untuk menutupi keberpihakan Amerika yang terang-terangan,” ungkapnya.

Ia bahkan menambahkan bahwa hubungan antara Washington dan sayap kanan Israel telah berubah dari sekadar aliansi politik menjadi simbiosis ideologis yang berbahaya.

Dengan peta politik yang demikian, agresi militer Israel di Gaza tampaknya tak lagi dimaksudkan untuk mencapai tujuan strategis, melainkan menjadi tujuan itu sendiri.

Ia melayani kepentingan sempit elite politik, mengabaikan penderitaan rakyat sipil yang kian dalam.

Kebuntuan dalam pengambilan keputusan tidak lahir dari kelemahan, melainkan dari keterikatan antara kelangsungan karier politik Netanyahu dan hak veto Amerika terhadap setiap inisiatif damai yang berarti.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular