Perebutan Kota al-Fashir di wilayah Darfur, Sudan, bukan sekadar pertempuran militer biasa.
Menurut analis militer dan strategis, Brigadir Elias Hanna, kota ini memiliki arti strategis yang amat penting.
Menjadi titik balik yang dapat membuka jalur langsung menuju tiga negara tetangga: Libya, Chad, dan Republik Afrika Tengah.
Hanna menjelaskan, penguasaan wilayah Darfur oleh Pasukan Dukungan Cepat (RSF) bisa menjadi landasan untuk meluaskan pengaruh mereka ke wilayah Kordofan Utara, Selatan, bahkan Barat.
“Pertempuran kini bergerak ke arah Kordofan setelah jatuhnya al-Fashir,” ujarnya.
Namun ia menilai, RSF tidak akan mudah menguasai seluruh kawasan Kordofan karena luas wilayah yang sangat besar.
Pada 26 Oktober lalu, pasukan RSF berhasil merebut Kota al-Fashir. Laporan dari lembaga-lembaga lokal maupun internasional menyebutkan, pasca-penaklukan itu, terjadi pembantaian terhadap warga sipil.
Situasi tersebut memunculkan kekhawatiran baru: potensi menguatnya pembelahan geografis Sudan.
Brigadir Hanna menyoroti perbedaan kekuatan kedua pihak. Militer Sudan memiliki keunggulan berupa tank dan kekuatan udara, sedangkan RSF mengandalkan taktik tempur bergaya milisi serta penggunaan pesawat nirawak (drone).
“Setelah al-Fashir jatuh, mereka kini berupaya memperluas kendali ke Kordofan Utara dan Selatan serta wilayah-wilayah lainnya,” katanya.
Namun, persoalan geografis menjadi kendala besar bagi kedua pihak. Sudan memiliki luas wilayah yang amat besar dengan jaringan infrastruktur terbatas.
Dari sekitar 31 ribu kilometer jaringan jalan di seluruh negeri, hanya 7 ribu kilometer yang beraspal.
“Kondisi ini menjadi hambatan serius, baik bagi militer maupun bagi RSF,” jelas Hanna.
Mengenai korban manusia, Hanna memperkirakan lebih dari 12 juta orang kini terjebak di dalam negeri akibat konflik, sementara laporan tentang pembunuhan massal di al-Fashir terus bermunculan.
Ia menilai perang ini “tidak akan dimenangkan oleh siapa pun”.
“Ini perang panjang yang tidak akan berakhir kecuali ada kesepakatan internal dan pengendalian terhadap campur tangan asing,” tegasnya.
Sejak 15 April 2023, Sudan dilanda perang berdarah antara tentara pemerintah dan Pasukan Dukungan Cepat.
Upaya mediasi regional maupun internasional sejauh ini gagal menghentikan pertempuran.
Sementara itu, penderitaan kemanusiaan di lapangan terus memburuk—membayangi masa depan negara yang kini terancam terpecah.


