Militer Israel kembali dituding melakukan pembantaian terhadap warga sipil Palestina, menyusul serangan mematikan di dekat pusat distribusi bantuan di Netzarim, Gaza Tengah, Selasa (10/6).
Dalam insiden tersebut, menurut pernyataan Gerakan Perlawanan Islam Hamas, setidaknya 20 orang meninggal dunia dan puluhan lainnya luka-luka.
Hamas mengecam keras serangan tersebut, menyebutnya sebagai bagian dari “mekanisme berdarah” yang dijalankan di bawah kedok kemanusiaan.
“Sejak penerapan skema ini, lebih dari 150 warga sipil—termasuk anak-anak dan perempuan—menjadi korban,” demikian pernyataan Hamas.
Mereka menuduh Israel secara sistematis memperpanjang kelaparan dan melemahkan populasi sipil, sebagai bagian dari perang genosida yang berlangsung terbuka di hadapan mata dunia.
Pernyataan itu merujuk pada skema distribusi bantuan pangan yang dicanangkan Israel dan Amerika Serikat sejak beberapa bulan terakhir.
Skema tersebut dilakukan melalui empat titik distribusi yang dikelola oleh lembaga bernama “Gaza Humanitarian Mission”.
Namun, alih-alih menjadi solusi, distribusi itu berubah menjadi kekacauan berdarah. Puluhan warga yang mencoba mengakses bantuan tewas ditembak oleh tentara Israel dan kelompok bersenjata yang diduga bekerja sama dengan mereka.
Kelaparan sebagai senjata perang
Sejak dimulainya agresi Israel ke Jalur Gaza pada Oktober 2023, pemerintah Israel telah memberlakukan tiga lapis blokade nyaris total terhadap wilayah tersebut.
Ketika peringatan akan kelaparan massal dilontarkan oleh PBB dan organisasi internasional lainnya, Israel sempat melonggarkan blokade.
Namun, kelonggaran itu hanya berlangsung sementara sebelum kembali diperketat, mengikuti pola berulang yang dipicu oleh tekanan diplomatik atau sorotan atas potensi kejahatan perang dan genosida.
Laporan terbaru dari International Crisis Group yang berjudul The Gaza Starvation Experiment menyoroti bahwa distribusi bantuan bukan sekadar upaya kemanusiaan, tetapi bagian dari strategi militer Israel.
“Israel menjadikan bantuan sebagai instrumen untuk mengukuhkan kontrol regional terbuka atas Gaza,” tulis laporan tersebut.
Pernyataan sejumlah pejabat tinggi Israel memperkuat temuan itu. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu pernah menyatakan bahwa pembatasan bantuan bertujuan untuk mengosongkan wilayah utara Gaza yang akan dibersihkan, dan memusatkan warga Palestina ke area yang “disterilisasi” di bawah kendali militer Israel.
Lebih ekstrem lagi, Menteri Keuangan Bezalel Smotrich menyatakan bahwa membiarkan warga Gaza mati kelaparan adalah tindakan yang adil dan bermoral.
Sementara Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir menekankan bahwa satu-satunya bantuan yang boleh masuk ke Gaza adalah yang mendorong “migrasi sukarela” warga Palestina.
“Selama para sandera belum dibebaskan, musuh tidak boleh menerima makanan, listrik, atau bantuan apa pun,” ujarnya.
Pangan sebagai kekuatan
Alasan yang dikemukakan militer Israel untuk menerapkan blokade ketat adalah bahwa Hamas menyalahgunakan bantuan kemanusiaan untuk memperkuat pasukannya dan melakukan serangan. Namun, di balik alasan keamanan itu, tampak strategi yang lebih mendalam.
Menurut World Food Programme (WFP) pangan adalah kekuatan dan menjadi inti dari strategi perang Israel.
International Crisis Group menguraikan bahwa inti dari strategi Israel adalah mengintegrasikan kontrol pangan ke dalam sistem militer.
Jalur distribusi bantuan dibentuk sedemikian rupa untuk mengarahkan pergerakan penduduk sipil sesuai tujuan militer.
Mereka yang dianggap berafiliasi dengan Hamas, langsung atau tidak, secara efektif kehilangan akses terhadap makanan.
Pada Mei lalu, PBB sempat mengusulkan mekanisme distribusi bantuan yang dianggap menyeluruh dan memenuhi kekhawatiran Israel. Namun, Israel menolaknya.
Alasan penolakan adalah karena sistem yang diusulkan PBB tidak memberikan informasi detail mengenai penerima bantuan. Hal yang dinilai Israel penting untuk keperluan pengawasan dan intelijen.
Penjarahan bantuan
Di balik narasi resmi Israel yang menuding Hamas sebagai dalang di balik penguasaan dan penjarahan bantuan kemanusiaan, sejumlah laporan independen justru mengungkap realitas berbeda.
International Crisis Group (ICG) menyatakan bahwa hingga kini, Israel belum pernah menyodorkan bukti konkret atas tuduhan bahwa Hamas secara sistematis menjarah bantuan.
Bahkan, dalam pertemuan tertutup, para pejabat Israel tidak pernah mengangkat isu tersebut, sebagaimana diungkapkan David Satterfield, utusan kemanusiaan pemerintahan Presiden AS saat itu, Joe Biden.
Sebaliknya, temuan dari lembaga-lembaga PBB dan bahkan militer Israel sendiri mengindikasikan bahwa aksi penjarahan paling terstruktur justru dilakukan oleh kelompok-kelompok bersenjata yang dilindungi oleh Israel—bukan oleh Hamas.
Salah satu nama yang mencuat dalam laporan ICG adalah kelompok bersenjata yang dikenal sebagai “Milisi Abu Syabab”.
Milisi Abu Syabab
Menurut pengamat keamanan dan militer, Osama Khaled, kelompok-kelompok yang kini aktif menjarah dan memperdagangkan bantuan kemanusiaan dengan harga selangit berasal dari kalangan kriminal yang telah dikenal jauh sebelum perang. Beberapa dari mereka adalah mantan narapidana.
Khaled menyebut kelompok yang dipimpin Yasser Abu Syabab sebagai yang paling menonjol. Berbasis di wilayah-wilayah suku antara Mesir dan Gaza, kelompok ini memanfaatkan kekacauan akibat agresi Israel untuk membentuk milisi yang terorganisir.
Dalam kekosongan otoritas di wilayah tertentu, mereka beroperasi secara brutal: merampas bantuan, menjualnya, dan menekan warga sipil.
Israel, yang selama berbulan-bulan kesulitan mematahkan perlawanan terorganisir Hamas dan ketahanan masyarakat sipil Gaza, menemukan mitra taktis dalam kelompok-kelompok ini.
Masih menurut Khaled, Israel membekali mereka dengan senjata, serta memberikan perlindungan militer dan intelijen. Tujuannya berlapis:
- Menekan masyarakat sipil dengan memutus jalur bantuan kemanusiaan dan melemahkan ketahanan mereka.
- Menguasai wilayah-wilayah kosong yang tidak lagi dikuasai Hamas atau yang telah ditinggalkan penduduknya.
- Menyediakan layanan keamanan dan informasi bagi militer Israel.
- Membentuk “tameng manusia” guna menghindari konfrontasi langsung antara tentara Israel dan warga sipil.
Persenjataan kelompok ini, menurut Khaled, berasal dari berbagai jalur. Baik secara langsung dari militer Israel, dari pasar senjata gelap di kawasan suku, bahkan dari negara-negara Arab yang diam-diam mendukung pembentukan milisi lokal.
Lebih mengkhawatirkan lagi, Abu Syabab mulai membuka jalur rekrutmen dengan menawarkan bayaran tetap dan perlindungan dari Israel, lengkap dengan makanan dan minuman di kamp-kamp yang mereka bangun di wilayah yang telah mereka kuasai.
Krisis kemanusiaan akut
Sementara itu, situasi kemanusiaan di Gaza memasuki fase paling kritis. Adnan Abu Hasna, juru bicara Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA), menyatakan bahwa kondisi di Gaza sangat berbahaya dan memburuk secara dramatis.
Ia menyebut seluruh stok kebutuhan dasar di Gaza telah habis, dan jumlah bantuan yang masuk “sangat kecil hingga tidak berarti.”
“Israel bertanggung jawab penuh secara hukum, politik, dan moral sebagai kekuatan pendudukan, sesuai hukum internasional dan Konvensi Jenewa Keempat,” tegasnya dalam wawancara dengan Al Jazeera Net.
Abu Hasna juga menyinggung upaya Israel membentuk citra positif melalui “Gaza Humanitarian Mission”—lembaga yang disebut-sebut menyalurkan bantuan ke Gaza.
“Itu hanya propaganda untuk membebaskan diri dari tanggung jawab. Lembaga itu tak memiliki pengalaman, data, ataupun pendekatan yang sesuai standar kerja kemanusiaan,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa lembaga bantuan semestinya mendatangi orang-orang kelaparan di tempat mereka berada, bukan memaksa mereka berjalan puluhan kilometer untuk mendapatkan makanan.
Sejak awal Maret 2025, Israel semakin memperketat blokade terhadap Gaza, sepenuhnya menghentikan distribusi bantuan.
Menurut data PBB, hal ini mendorong 2,3 juta penduduk Gaza ke dalam kondisi kelaparan ekstrem.
Kementerian Kesehatan di Gaza mencatat bahwa jumlah korban akibat agresi militer Israel kini telah melampaui 181.000 orang—gabungan antara yang tewas dan luka-luka.
Ribuan lainnya masih dinyatakan hilang, tertimbun di bawah reruntuhan, atau belum bisa dijangkau tim penyelamat akibat bombardir yang terus berlangsung.