Wednesday, July 9, 2025
HomeBeritaANALISIS - Pembicaraan gencatan senjata Gaza: Sekadar jeda dari perang selamanya?

ANALISIS – Pembicaraan gencatan senjata Gaza: Sekadar jeda dari perang selamanya?

Putaran baru perundingan tidak langsung antara Hamas dan Israel kembali digelar di ibu kota Qatar, Doha, dengan mediasi dari Amerika Serikat (AS), Mesir, dan Qatar.

Namun, bagi rakyat Palestina di Jalur Gaza, proses ini tak lepas dari paradoks mendalam yang terus membayangi mereka.

Di satu sisi, kondisi kemanusiaan yang kian memburuk menuntut dihentikannya pertempuran secepat mungkin.

Namun di sisi lain, pengalaman panjang akan kesepakatan gencatan senjata yang dilanggar dan janji politik yang dikhianati, membuat masyarakat Gaza bertanya-tanya.

Apakah inisiatif gencatan senjata kali ini sungguh menjadi jalan menuju akhir perang, atau sekadar jeda dalam konflik panjang yang seakan tak berujung?

Sikap Hamas terhadap proposal terbaru AS memang digambarkan sebagai “positif”. Namun, respons itu jauh dari euforia atau rasa puas.

Sebaliknya, lebih mencerminkan perhitungan realistis di tengah situasi darurat. Rumah-rumah yang luluh lantak, rumah sakit yang tak lagi mampu menangani korban, ancaman kelaparan massal, dan lebih dari satu juta warga yang mengungsi.

Banyak di antaranya bertahan hidup di tenda-tenda atau reruntuhan lingkungan tempat tinggal mereka.

Pertanyaan pun bermunculan: apakah ini langkah awal menuju perdamaian sejati, atau strategi bertahan hidup dalam perang yang akhirnya tidak ditentukan oleh para korban, melainkan oleh kekuatan yang berada jauh dari batas Gaza?

Di Washington, Presiden AS, Donald Trump mengklaim bahwa proses menuju gencatan senjata di Gaza terus menunjukkan kemajuan.

Klaim itu disampaikan usai pertemuannya dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Gedung Putih, meskipun belum ada terobosan berarti dari perundingan akhir pekan lalu antara Israel dan Hamas.

“Mereka ingin bertemu dan mereka ingin mencapai gencatan senjata. Saya tidak melihat ada hambatan. Semuanya berjalan dengan sangat baik,” kata Trump kepada wartawan.

Namun, pernyataan Trump itu berdiri di atas realitas yang lebih kompleks. Perundingan tidak langsung yang dimediasi di Doha berakhir tanpa kesepakatan final.

Proses diplomatik diperkirakan masih akan berlanjut dalam beberapa hari ke depan, seiring upaya keras para mediator untuk mengakhiri serangan militer Israel yang telah menimbulkan kehancuran luas di Gaza.

Tanpa menyebut otoritas Palestina

Menariknya, dalam pernyataan Trump sama sekali tidak disebutkan peran Otoritas Palestina ataupun faksi-faksi politik Palestina lainnya.

Hal ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan pengamat bahwa pendekatan semacam ini bisa melegitimasi langkah-langkah sepihak Israel sekaligus mengabaikan representasi politik Palestina secara keseluruhan.

Dalam pertemuan di Gedung Putih itu, baik Trump maupun Netanyahu juga menyinggung soal kemungkinan “relokasi penduduk”.

Sebuah isu yang memunculkan kekhawatiran baru di kawasan mengenai potensi pembersihan etnis.

“Saya mendapat kerja sama dari negara-negara yang mengelilingi Israel,” kata Trump, tanpa menyebut negara mana yang dimaksud.

Ia menambahkan bahwa pembahasan soal masa depan warga Palestina di Gaza dan Tepi Barat juga mencakup “opsi relokasi”, yang memicu kegelisahan di kalangan aktivis hak asasi manusia.

Netanyahu dan rencana “relokasi”

Sementara itu, Netanyahu kembali menyuarakan ide relokasi warga Palestina dari Gaza, sebuah gagasan yang kerap digaungkan di kalangan sayap kanan Israel.

“Kami bekerja sama dengan Amerika Serikat untuk mengidentifikasi negara-negara yang dapat memberikan masa depan yang lebih baik bagi rakyat Palestina,” ujar Netanyahu.

Ia menggunakan narasi yang kerap digunakan untuk mendukung migrasi sukarela dari Jalur Gaza.

“Jika mereka ingin tetap tinggal, silakan. Tetapi jika mereka ingin pergi, mereka harus diberi kesempatan untuk pergi,” lanjutnya.

Pernyataan ini dipandang banyak pihak sebagai langkah awal menuju pengosongan Gaza secara perlahan melalui tekanan tidak langsung.

Pernyataan serupa sebelumnya telah menuai kecaman dari para pejabat Palestina, yang menilai bahwa retorika “migrasi sukarela” sebenarnya menyembunyikan kebijakan pemindahan paksa berkedok kepedulian kemanusiaan.

Gencatan senjata karena terpaksa, bukan karena pilihan

Sejak dimulainya agresi militer Israel yang dituding bersifat genosidal di Jalur Gaza hampir 20 bulan lalu, Hamas secara terbuka—meski penuh kehati-hatian—merespons berbagai upaya internasional untuk meredakan eskalasi.

Ini termasuk keterlibatan terbatas dalam proposal gencatan senjata yang diajukan baik oleh mantan Presiden AS Joe Biden maupun Presiden saat ini, Donald Trump.

Namun, pengalaman panjang telah mengajarkan rakyat Palestina satu hal penting: kesepakatan kerap tak pernah langgeng.

Terutama ketika tak ada mekanisme penegakan internasional yang tegas atau komitmen nyata dari pihak Israel.

Gencatan senjata besar terakhir yang dimediasi di awal perang hanya terlaksana sebagian. Israel menjalankan fase pertama berupa pertukaran tawanan dan tahanan, tetapi menghentikan pelaksanaan tahapan berikutnya.

Di saat yang sama, operasi militer Israel berlanjut di Gaza bagian utara dan tengah, serta memperketat kontrol atas Rafah—gerbang selatan terakhir yang sebelumnya menjadi jalur masuk bantuan dan evakuasi.

Mustafa Ibrahim, analis politik yang berbasis di Gaza, menyatakan kepada The New Arab bahwa keputusan Hamas untuk menanggapi proposal gencatan senjata kali ini lebih didorong oleh tekanan—baik dari dalam maupun luar—daripada karena keyakinan penuh.

“Rakyat benar-benar kelelahan. Persediaan makanan sangat terbatas, rumah sakit nyaris runtuh, dan wabah penyakit menjalar di kamp-kamp pengungsian. Itu saja sudah membuat sangat sulit untuk menolak gencatan senjata,” ujarnya.

Meski demikian, Ibrahim menekankan bahwa Hamas belum memberikan persetujuan final.

Kelompok itu masih mengajukan sejumlah keberatan, termasuk soal mekanisme distribusi bantuan, bentuk pemerintahan sipil pascaperang di Gaza, nasib senjata milik kelompok perlawanan, dan absennya jaminan internasional terhadap pelaksanaan kesepakatan.

Rangkaian catatan ini mencerminkan skeptisisme mendalam, tak hanya terhadap niat Israel, tetapi juga terhadap peran Amerika Serikat sebagai mediator utama.

Banyak warga Gaza yang khawatir bahwa inisiatif gencatan senjata lebih ditujukan untuk memperbaiki citra, bukan untuk menciptakan keadilan atau perdamaian yang berkelanjutan.

Sementara itu, Israel memanfaatkan waktu untuk memperkuat keuntungan politik dan militer.

Pemukiman Yahudi di Tepi Barat terus diperluas, sementara peran UNRWA (lembaga PBB untuk pengungsi Palestina) secara sistematis dilemahkan.

Di media Israel, kembali mencuat wacana tentang “model pemerintahan alternatif” bagi Gaza, mulai dari administrasi Liga Arab hingga otoritas sipil non-Palestina di bawah pengawasan internasional.

Bukan proses damai, tapi strategi krisis

Bagi rakyat Palestina, situasi ini jauh dari proses damai. Yang berlangsung lebih menyerupai strategi pengelolaan krisis—untuk membatasi kekerasan tanpa menyentuh akar konflik.

Keputusan untuk mengakhiri perang, menurut banyak analis, sepenuhnya berada di luar kendali rakyat Palestina.

Penentunya justru adalah kalkulasi politik dari dua tokoh utama: Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Presiden AS, Donald Trump. Dua pemimpin yang kepentingan dalam negerinya sangat memengaruhi arah konflik ini.

Netanyahu sendiri masih bergelut dengan proses hukum atas dugaan korupsi yang mengancam kelangsungan kekuasaannya.

Perang yang terus berlangsung menjadi pengalih perhatian publik, sekaligus alat untuk menjaga soliditas politik dalam negeri yang terbelah.

Selain itu, kampanye militer yang berlanjut memungkinkan Netanyahu memuaskan tuntutan kubu sayap kanan ekstrem yang menginginkan “kemenangan total” atas Hamas.

Di sisi lain, Presiden Trump ingin menampilkan diri sebagai pemimpin yang tangguh dalam diplomasi dan telah lama mengincar penghargaan Nobel Perdamaian.

Setelah mengklaim keberhasilan dalam menetralkan ancaman nuklir Iran, ia kini berusaha menambah prestasi baru dengan “mengakhiri” perang Gaza.

Namun, para pengkritik menyebut pendekatan pemerintahan Trump terlalu agresif tanpa memiliki komitmen mendalam yang diperlukan untuk menciptakan perdamaian yang berkelanjutan.

“Amerika ingin kesepakatan yang cepat, bukan yang adil. Mereka lebih tertarik menghentikan bunyi ledakan ketimbang menyelesaikan sumber ledakannya,” ujar Ayman Shaheen, guru besar ilmu politik di Gaza.

Shaheen memperingatkan bahwa setiap kesepakatan yang lahir dari proses semacam ini akan sangat rapuh.

Ia menunjuk pada gencatan-gencatan sebelumnya yang gagal akibat bahasa kesepakatan yang samar, komitmen yang tak terverifikasi, dan ketiadaan mekanisme akuntabilitas.

Ia juga mengungkapkan kekhawatiran bahwa kesepakatan gencatan senjata hanya akan dimanfaatkan untuk mencuci citra Israel di mata dunia internasional, sambil membuka jalan bagi upaya normalisasi dengan negara-negara Arab atas nama “stabilitas regional”.

Kekhawatiran serupa diungkapkan analis Gaza, Iyad al-Qarra. Ia menilai bahwa proses negosiasi saat ini masih berada di “zona abu-abu”, dengan terlalu banyak rincian yang belum diungkap ke publik.

“Setan bersembunyi dalam detail. Dan sampai saat ini, detail-detail itu belum dibuka,” ujarnya.

Al-Qarra menyoroti bahwa syarat utama Israel soal perlucutan senjata Hamas dan Jihad Islam menjadi ganjalan besar.

Salah satu usulan yang disebut-sebut tengah dipertimbangkan adalah penyimpanan senjata kelompok perlawanan di dalam gudang tersegel di bawah pengawasan internasional—model yang disebut-sebut mengacu pada Irlandia Utara pascakonflik.

Namun, banyak warga Gaza memandang gagasan semacam itu terlalu dini, terutama karena belum ada solusi politik nyata yang mengakui hak-hak nasional rakyat Palestina.

Selama belum ada peta jalan yang kredibel untuk mengakhiri pendudukan, membongkar permukiman ilegal, dan menjamin berdirinya negara Palestina merdeka sesuai perbatasan 1967, maka perlucutan senjata tidak akan dilihat sebagai kompromi—melainkan sebagai bentuk penyerahan diri.

Masa depan politik Gaza: Tak pasti, terpecah, dan dirancang dari luar

Ketika perhatian dunia mulai bergeser dari dentuman senjata ke masa depan Gaza pascaperang, satu pertanyaan besar mencuat: siapa yang akan memerintah Jalur Gaza?

Dalam proses perundingan terbaru, Otoritas Palestina terpinggirkan, dan relevansi diplomatik Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) pun terus memudar.

Di tengah kekosongan ini, sejumlah kekuatan internasional mulai mengajukan berbagai model pemerintahan alternatif.

Di antaranya adalah pemerintahan gabungan Arab, pengawasan internasional, hingga otoritas transisi yang diisi para teknokrat di bawah pengawasan asing.

Namun, berbagai usulan tersebut mendapat penolakan luas dari kalangan rakyat Palestina.

Banyak yang melihatnya sebagai bagian dari upaya sistematis untuk melemahkan institusi nasional Palestina dan mengubah konflik politik menjadi sekadar krisis kemanusiaan.

Esmat Mansour, analis politik dari Ramallah, menyebut salah satu indikator paling mencolok dari pergeseran ini adalah pembentukan Gaza Humanitarian Foundation yang didukung AS.

“Itu adalah upaya yang disengaja untuk menghapus narasi pengungsi. Dengan menggantikan peran UNRWA, Anda merongrong hak untuk kembali dan mereduksi perjuangan Palestina menjadi sekadar urusan logistic,” ujar Mansour.

Lebih jauh, Mansour mempertanyakan soal legitimasi. Jika baik Hamas maupun Otoritas Palestina tidak diberi ruang untuk memimpin proses rekonstruksi Gaza, lalu siapa yang berbicara atas nama rakyat Palestina? Siapa yang memiliki mandat untuk berunding, atau menerima, menolak, dan merevisi kesepakatan yang menyangkut masa depan mereka?

“Gerakan nasional Palestina sedang dikosongkan—dari dalam dan dari luar. Jika ini terus berlanjut, maka setiap gencatan senjata ke depan hanya akan dikelola oleh lembaga kemanusiaan, bukan oleh aktor politik. Itu bukanlah perdamaian. Itu adalah penelantaran,” katanya.

Suara serupa datang dari Mukhaimer Abu Saada, akademisi dan analis politik di Gaza.

Ia menyoroti risiko jangka panjang dari pemisahan antara bantuan kemanusiaan dan keadilan politik.

Meski mengakui adanya beberapa indikator yang menunjukkan bahwa perang mungkin mendekati akhir—seperti kelelahan publik di Israel dan penyesuaian strategi AS—ia memperingatkan bahwa gencatan senjata semata tidak cukup untuk membangun kembali sebuah bangsa.

“Jika gencatan senjata tidak mengarah pada solusi politik yang sejati, berdasarkan hukum internasional dan perbatasan tahun 1967, maka itu hanya akan menjadi plester bagi luka yang terus bernanah,” ujarnya.

Ia menambahkan bawah perdamaian bukan sekadar ketiadaan perang.

“Ia harus ditandai dengan hadirnya hak, kedaulatan, dan martabat,” tambahnya.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular