Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dijadwalkan mengunjungi Amerika Serikat (AS) pada Senin (8/7), dalam sebuah kunjungan yang dinilai para analis akan difokuskan pada 2 hal utama.
Yaitu, perayaan kemenangan simbolik Israel-AS atas Iran dan pembahasan proposal gencatan senjata dalam perang berkepanjangan di Jalur Gaza.
Ini menjadi pertemuan ketiga Netanyahu dengan Presiden AS, Donald Trump sepanjang tahun ini.
Trump mengklaim bahwa selama perang 12 hari melawan Iran, Israel dan AS berhasil “menghancurkan” program nuklir Teheran, dan ia berjanji akan melanjutkan serangan udara bila Iran kembali mengaktifkan fasilitas nuklirnya.
Pekan lalu, Trump menyatakan bahwa Israel telah menyetujui syarat-syarat gencatan senjata selama 60 hari di Gaza.
Gencatan senjata ini disebut akan memberi ruang bagi semua pihak untuk menyusun langkah menuju penghentian permanen perang yang telah berlangsung selama 21 bulan di wilayah yang terblokade itu.
Pada 4 Juli lalu, Hamas menyampaikan tanggapan yang dinilai “positif” kepada para mediator dari Qatar dan Mesir terkait proposal terbaru gencatan senjata.
Apakah gencatan senjata realistis?
Setelah menerima tanggapan Hamas, Trump menyampaikan optimisme. Ia menyebut peluang tercapainya kesepakatan bisa terjadi “pekan depan”.
Ia juga berjanji akan bersikap “sangat tegas” terhadap Netanyahu guna memastikan implementasi gencatan senjata.
Namun, pemerintah Israel kemudian mengatakan bahwa Hamas telah mengajukan sejumlah perubahan terhadap proposal tersebut, yang menurut Tel Aviv “tidak dapat diterima”.
Kendati demikian, delegasi Israel tetap dijadwalkan bertolak ke Qatar pada Minggu untuk melanjutkan pembahasan.
Berdasarkan salinan dokumen yang bocor dan diperoleh Al Jazeera, usulan gencatan senjata itu mencakup penghentian sementara permusuhan selama 60 hari.
Selain itu juga pembebasan secara bertahap atas sebagian dari 58 tawanan Israel yang masih ditahan di Gaza sejak serangan Hamas pada 7 Oktober 2023.
Perang yang dilancarkan Israel di Gaza sejauh ini telah merenggut sedikitnya 57.000 jiwa, sebagian besar di antaranya adalah perempuan dan anak-anak.
Para pakar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), akademisi hukum, dan lembaga hak asasi manusia menyebut situasi ini sebagai bentuk genosida terhadap warga Palestina.
Namun demikian, sejumlah pakar menilai bahwa gencatan senjata sementara ini belum tentu akan berujung pada berakhirnya perang secara menyeluruh.
“Cara pembicaraan gencatan senjata ini dibingkai membuat saya skeptis,” ujar Omar Rahman, peneliti isu Israel-Palestina di Middle East Council for Global Affairs.
Ia menilai, fokus utama Trump tampaknya lebih pada pembebasan tawanan Israel, bukan pada penghentian perang ataupun penderitaan rakyat Gaza.
Trump sebelumnya juga sempat menjanjikan akhir perang setelah mendorong upaya gencatan senjata beberapa hari sebelum ia dilantik menjadi presiden pada Januari lalu.
Namun, dua bulan setelah pelantikannya, Trump tidak mengambil langkah apapun ketika Israel secara sepihak melanjutkan serangan militer ke Gaza yang kembali menewaskan ribuan orang.
Mairav Zonszein, analis di International Crisis Group, mengungkapkan keprihatinan serupa.
“Semuanya tergantung pada Trump dan tekanan nyata dari AS terhadap Netanyahu, tetapi hal itu sangat diragukan,” ujarnya kepada Al Jazeera.
Ia menambahkan, meski peluang terjadinya semacam gencatan senjata itu ada, keberlanjutan dan isi kesepakatannya masih jauh dari pasti. “
Bisa saja kita melihat gencatan senjata yang tidak bertahan lama karena Israel kerap melancarkan serangan ke Gaza tanpa ada konsekuensi,” imbuhnya.
Harapan warga Gaza: Antara doa dan ketidakpercayaan
Dari Gaza, jurnalis Palestina Yaser al-Banna menggambarkan bahwa masyarakat di wilayah itu terbelah dalam menyikapi kemungkinan gencatan senjata.
Di satu sisi, semua orang berharap perang segera berakhir. Namun di sisi lain, sebagian besar tidak percaya Netanyahu akan menepati janji kesepakatan damai.
Netanyahu sendiri tetap bersikukuh bahwa perang tidak akan berhenti sebelum Israel meraih apa yang ia sebut sebagai “kemenangan total” atas Hamas. Sebuah istilah yang sejauh ini belum pernah ia definisikan secara konkret.
“Sekitar setengah dari warga Gaza sangat pesimis. Namun separuh lainnya percaya kali ini bisa berbeda, karena ada kepentingan bersama di antara Israel, Palestina, negara-negara Arab, dan AS untuk mengakhiri perang ini,” ujar al-Banna.
Antara gengsi dan kepentingan
Para analis menilai bahwa dorongan utama Donald Trump dalam konflik Gaza bukan semata demi perdamaian, melainkan demi membangun citra diri sebagai pemimpin dunia dengan pencapaian besar dalam diplomasi global.
Dalam pertemuannya dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Senin ini, Trump diperkirakan akan mengklaim telah menghancurkan program nuklir Iran—meskipun keabsahan klaim itu masih diragukan—dan menyatakan tekadnya membebaskan seluruh tawanan Israel yang masih berada di Gaza.
Trump juga ingin “menyelesaikan urusan Gaza” agar dapat melanjutkan upaya normalisasi hubungan antara Israel dan negara-negara Arab di kawasan, menurut Khaled Elgindy, pakar isu Israel-Palestina dan dosen Studi Arab di Universitas Georgetown, Washington, DC.
“Trump ingin bisa berkata bahwa ia telah membebaskan tawanan Israel… dan mewujudkan negara Palestina. Lalu, ia akan menyebut dirinya penguasa jagat. Namun, meraih hal-hal itu jauh lebih sulit dari yang ia bayangkan,” kata Elgindy kepada Al Jazeera.
Kalkulasi politik Netanyahu
Pertanyaannya kini: apakah perhitungan politik Netanyahu sejalan dengan ambisi Trump?
Israel dijadwalkan menggelar pemilu legislatif sebelum Oktober 2026, namun Netanyahu bisa saja mempercepat pemilu dan meraih popularitas besar jika berhasil memulangkan tawanan Israel.
Seperti Trump, ia pun akan menjual narasi kemenangan besar atas Iran kepada publik Israel.
Namun, langkah menuju gencatan senjata permanen berisiko tinggi. Koalisi sayap kanan yang menopang kekuasaan Netanyahu sangat rapuh, dan sebagian besar kekuatannya bersandar pada hasrat mempertahankan perang di Gaza.
Jika gencatan senjata benar-benar tercapai, koalisi itu nyaris pasti runtuh, kata Hugh Lovatt, analis dari European Council on Foreign Relations.
“Setelah masa gencatan senjata 60 hari berakhir, Netanyahu bisa memilih untuk mengakhiri perang dan menuju pemilu—yang akan menghancurkan koalisinya. Atau, ia bisa kembali melanjutkan perang demi mempertahankan koalisi jika menilai waktu pemilu belum tepat,” ujar Lovatt.
Pertaruhan jabatan dan masa depan politik
Menjaga posisi sebagai perdana menteri menjadi semakin penting bagi Netanyahu, pemimpin terlama dalam sejarah Israel, yang kini tengah menghadapi sejumlah dakwaan hukum, termasuk tuduhan penipuan dan suap.
Pertemuan dengan Trump kali ini juga diyakini akan membahas isu sensitif tersebut—yang tak bisa dipisahkan dari manuver politik Netanyahu.
Sebagai kepala pemerintahan, Netanyahu memiliki kekuatan untuk mempengaruhi sistem peradilan Israel.
Di antaranya dengan menunjuk loyalis ke Mahkamah Agung dan menunda sidang-sidang penting. Namun, kekuatan itu akan lenyap bila koalisinya ambruk.
Trump tampaknya memahami betul dilema Netanyahu. Pada 25 Juni lalu, ia menyerukan agar Israel membatalkan semua dakwaan terhadap Netanyahu, menyebut proses hukum itu sebagai “perburuan penyihir”.
Menurut Elgindy, komentar Trump ini mencerminkan upaya menekan pihak oposisi Israel agar mempertimbangkan pengampunan terhadap Netanyahu—sebagai imbalan atas berakhirnya perang di Gaza.
Elgindy merujuk pada unggahan media sosial Trump baru-baru ini, yang secara tersirat mengancam akan menghentikan bantuan militer AS ke Israel kecuali Netanyahu dibebaskan dari dakwaan.
“Amerika Serikat menghabiskan miliaran dolar setiap tahun, jauh lebih banyak dari negara lain, untuk melindungi dan mendukung Israel. Kami tidak akan membiarkan ini terjadi,” tulis Trump pada 28 Juni lalu.
Langkah seperti itu, menurut Elgindy, merupakan keputusan besar yang nyaris tak terbayangkan bisa lahir dari pertemuan antara Trump dan Netanyahu.
“Saya tidak yakin ia akan benar-benar melakukannya, tapi inilah gaya khas Trump. Diplomasi versi dia adalah ancaman dan pemaksaan,” ujar Elgindy.
Yang mengkhawatirkan, menurutnya, bukan hanya isi ancaman itu, tetapi tujuan ancaman itu sendiri: Trump bersedia memotong bantuan militer untuk melindungi Netanyahu, bukan demi rakyat Palestina yang kelaparan dan terjepit di Gaza.
Keputusan untuk memberikan pengampunan berada di tangan Presiden Israel, Isaac Herzog. Namun hingga kini belum ada tanda bahwa Herzog mempertimbangkan langkah tersebut.
Kalangan analis menyebut, Herzog mungkin saja bersedia memberikan pengampunan jika Netanyahu berjanji mundur dari panggung politik, bukan semata demi menghentikan perang.
Zonszein, dari Crisis Group, menambahkan bahwa para pakar hukum dan hakim di Israel telah sejak lama memperingatkan bahwa demi kepentingan public.
Israel sebaiknya menyusun perjanjian pengakuan bersalah dengan Netanyahu—syaratnya hanya satu: Netanyahu harus bersedia meninggalkan dunia politik.
“Saya tidak melihat itu sebagai opsi yang tengah dipertimbangkan Netanyahu. Jika ia memang mau meninggalkan politik, ia bisa saja sudah merundingkan kesepakatan pembelaan sejak dulu,” ujar Zonszein.