Pengumuman terbaru Israel terkait pembangunan permukiman di kawasan strategis E1, sebelah timur Yerusalem, memantik kembali kekhawatiran lama: rencana untuk menutup rapat kemungkinan berdirinya negara Palestina merdeka.
Ironisnya, langkah ini bertepatan dengan peringatan ke-56 tahun kebakaran Masjid Al-Aqsa, sebuah simbol luka sejarah bangsa Palestina.
Sebanyak 21 negara Barat dalam pernyataan bersama mengecam keras keputusan tersebut dan meminta Israel membatalkan proyek.
Namun, sebagaimana biasa, pernyataan itu sebatas kata-kata tanpa kekuatan memaksa.
Dalam diskusi di program Ma Wara al-Khabar (21/8/2025), Sekretaris Jenderal Inisiatif Nasional Palestina, Mustafa Barghouti, menegaskan bahwa proyek E1 bukan sekadar mengancam lahirnya negara Palestina, tetapi menghancurkan sama sekali gagasan perdamaian dan kompromi politik.
“Permukiman ini akan membelah Tepi Barat menjadi dua bagian yang tak terhubung, serta mengisolasi Yerusalem—yang seharusnya menjadi ibu kota Palestina—dari seluruh wilayah pendudukan,” kata Barghouti.
Pandangan serupa disampaikan pengamat isu Israel, Shadi al-Sharafa.
Menurutnya, inti bahaya proyek E1 terletak pada upaya mengepung Yerusalem Timur dalam kerangka proyek kolonial yang menargetkan penghilangan warga Palestina.
Tujuannya, katanya, untuk kemudian mengambil alih tanah berdasarkan tafsir keagamaan.
Ia mengingatkan bahwa rencana ini bukan monopoli kelompok sayap kanan Israel. Sejak 1975, Partai Buruh telah membangun permukiman Ma’ale Adumim yang kini menjadi penghubung proyek E1 dan memotong urat nadi Tepi Barat.
Lebih jauh, Sharafa menilai bahwa tujuan jangka panjang Israel adalah “menyingkirkan Palestina sepenuhnya, entah melalui pengusiran maupun pembasmian.”
Itu bukan analisis, tegasnya, melainkan apa yang dinyatakan terang-terangan oleh para pemimpin Israel dalam berbagai forum.
Proyek itu, lanjutnya, hendak mengubah Tepi Barat menjadi kantong-kantong kecil yang lebih buruk daripada sistem apartheid di Afrika Selatan, membuat warga Palestina hidup di enklave sempit menyerupai kamp-kamp penahanan besar.
Dimensi keagamaan
Sharafa juga menyinggung dimensi keagamaan yang menyertai proyek tersebut. Ia merujuk pada survei Universitas Ibrani yang menyebut 92 persen warga Israel yakin memiliki hak atas Masjid Al-Aqsha dan mendukung pembangunan “kuil” di atas reruntuhannya.
Keyakinan berbasis teks suci ini, menurut Sharafa, bukan lagi wacana pinggiran, melainkan bagian dari kurikulum sekolah dan menjadi doktrin politik resmi Israel.
Sementara itu, Barghouti menuding pemerintahan Amerika Serikat (AS) di bawah Donald Trump—yang kembali berkuasa—sebagai pihak yang sepenuhnya berpihak pada Israel.
Trump dan timnya, katanya, bahkan tidak pernah menyebut kata “negara Palestina” sejak kembali menduduki Gedung Putih.
Ketika ditanya mengenai kemungkinan Israel menganeksasi Tepi Barat, Trump justru menyebutnya “urusan domestik Israel”.
Sejalan dengan itu, James Robbins, peneliti senior di Dewan Kebijakan Luar Negeri AS, membela sikap Washington.
Menurutnya, permukiman di E1 hanyalah urusan internal Israel dan tidak otomatis menggugurkan solusi dua negara.
“Batas wilayah mungkin berbeda dengan yang dibayangkan sebagian pihak Palestina,” ujarnya.
Namun bagi Barghouti, kecaman internasional tanpa langkah nyata sama sekali tak berarti.
“Satu-satunya cara memberi efek adalah dengan menjatuhkan sanksi terhadap Israel. Mengapa ribuan sanksi bisa dijatuhkan kepada Rusia dalam hitungan bulan, tetapi tidak satu pun diterapkan pada Israel?” ujarnya retoris.
Lebih jauh, Barghouti menyinggung visi “Israel Raya” yang diyakini Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.
Yakni mencakup bukan hanya Tepi Barat dan Gaza, tetapi juga wilayah Yordania, Lebanon, separuh Suriah, Irak, Arab Saudi, Kuwait, bahkan sebagian subur Mesir.
Ia menilai, normalisasi hubungan yang dilakukan sejumlah negara Arab justru bukan membawa perdamaian, melainkan mempercepat agresi dan memperbesar nafsu ekspansi Israel.
Pernyataan Netanyahu baru-baru ini bahwa hadiah berupa negara Palestina tidak pantas diberikan kepada mereka yang ingin menghancurkan Israel.
Hal ini dipandang para analis sebagai upaya mengaburkan tujuan sesungguhnya.
“Target utamanya bukan keamanan Israel, melainkan melenyapkan eksistensi Palestina itu sendiri,” tegas para pakar.
Proyek E1 dengan demikian bukan sekadar pembangunan permukiman baru.
Ia bagian dari pola lama: mengunci Palestina dalam ruang sempit, melemahkan harapan politik, sekaligus membentuk realitas geografis yang sulit diputar balik.
Jika tidak ada langkah nyata—lebih dari sekadar kecaman—maka risiko “hapusnya Palestina dari peta” kian dekat menjadi kenyataan.