Thursday, June 5, 2025
HomeBeritaApa di balik kemunculan "Brigade Muhammed al-Dhaif" di wilayah Golan yang diduduki?

Apa di balik kemunculan “Brigade Muhammed al-Dhaif” di wilayah Golan yang diduduki?

Munculnya kelompok bersenjata yang menamakan diri “Brigade Muhammad Al-Dhaif” dan mengaku bertanggung jawab atas serangan roket terhadap pasukan Israel di Dataran Tinggi Golan memunculkan banyak pertanyaan tentang motif dan dampaknya terhadap dinamika kawasan.

Menurut pengamat isu-isu Israel, Muhannad Mustafa, kemunculan kelompok ini mencerminkan mulai goyahnya dominasi keamanan Israel.

“Sejarah Israel menunjukkan bahwa kelompok-kelompok bersenjata sering muncul dalam situasi di mana kontrol keamanan Israel mulai melemah,” ujarnya kepada Al Jazeera.

Muhammad Al-Dhaif, yang menjadi nama kelompok tersebut, adalah komandan sayap militer Hamas yang dikonfirmasi gugur pada awal tahun ini.

Karena itu, Mustafa melihat penggunaan namanya sebagai sinyal kuat bahwa kekuatan-kekuatan baru mulai menyusun ulang konstelasi perlawanan terhadap Israel di kawasan.

“Israel memang mencatat kemajuan keamanan di Lebanon dan Suriah. Namun, semua itu tidak diikuti pendekatan politik yang bisa menstabilkan hasilnya,” kata Mustafa.

Ia menambahkan bahwa tanpa pendekatan politik, prestasi militer Israel justru bisa menjadi beban strategis ke depan.

Mustafa juga mengaitkan perubahan ini dengan arah baru kebijakan regional, termasuk keterlibatan AS dengan kelompok Houthi di Yaman serta negosiasi nuklir antara AS dan Iran.

Menurutnya, perubahan lanskap Timur Tengah justru mengancam posisi strategis Israel.

Serangan roket dan klaim tanggung jawab

Radio militer Israel melaporkan bahwa dua roket Grad ditembakkan dari kawasan Daraa, Suriah selatan, dan jatuh di area terbuka di Dataran Tinggi Golan yang diduduki.

Serangan itu diklaim oleh kelompok yang menyebut diri mereka sebagai “Brigade Muhammad Al-Dhaif”.

Seorang komandan kelompok tersebut mengatakan kepada Al Jazeera bahwa serangan itu merupakan balasan atas pembantaian di Gaza dan akan terus berlanjut hingga “pengeboman terhadap warga tak berdaya” dihentikan.

Namun, klaim ini tidak diterima begitu saja oleh semua pihak. Kamel Abdu, Dekan Fakultas Ilmu Politik di Universitas Al-Shamal, Idlib, menilai bahwa penggunaan nama Muhammad Al-Dhaif adalah bentuk eksploitasi murahan.

Ia menyatakan keyakinannya bahwa kelompok ini tidak memiliki kaitan langsung dengan faksi-faksi perlawanan Palestina dan justru terkait dengan operasi intelijen regional, terutama Iran.

“Ini upaya untuk menyeret Suriah ke dalam konflik baru,” kata Abdu.

Menurutnya, Iran terganggu oleh kecenderungan Suriah yang belakangan terlihat membuka diri kepada Amerika Serikat (AS).

Abdu menyerukan semua pihak untuk segera menata ulang kondisi di selatan Suriah, mengingat situasi yang dianggapnya sangat berbahaya, baik bagi pemerintah Suriah maupun Israel sendiri.

Ia menyebut Israel bersikap arogan dalam menangani persoalan Suriah dan menyimpang dari berbagai kesepakatan tidak langsung yang sebelumnya telah terjalin dengan Damaskus.

Menanggapi serangan tersebut, Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz menyatakan bahwa Presiden Suriah Ahmad Al-Sharaa bertanggung jawab langsung atas setiap ancaman dan serangan dari wilayah Suriah.

“Kami akan menanggapi dengan tegas dalam waktu dekat,” tegasnya.

Media Israel melaporkan bahwa militer negara itu membalas serangan roket dengan menyerang lokasi peluncuran di Suriah.

Jet-jet tempur Israel bahkan dilaporkan melintasi wilayah udara Suriah dengan kecepatan tinggi hingga menembus batas suara.

“Peluru politik”, bukan militer

Sementara itu, pengamat militer Elias Hanna memperingatkan agar tidak terburu-buru menyimpulkan arah konflik.

Menurutnya, berulangnya serangan seperti ini menunjukkan adanya strategi yang dimotori oleh pihak-pihak tertentu, di mana pemerintah Suriah justru menjadi pihak yang paling dirugikan.

“Ini lebih merupakan peluru politik ketimbang operasi militer. Tidak akan mengubah posisi Israel di Golan,” ujarnya.

Hanna menilai bahwa kekuasaan Damaskus di wilayah selatan, termasuk Suwaida, dibatasi oleh dominasi militer Israel.

Ia menyimpulkan bahwa Israel melihat Suriah bukan semata sebagai tetangga, tetapi sebagai ancaman strategis regional yang bahkan menjangkau Turki.

Sejak 8 Desember 2024, kelompok oposisi bersenjata menguasai wilayah Suriah, mengakhiri kekuasaan 61 tahun Partai Ba’ath dan 53 tahun dinasti Assad.

Dalam kekosongan pascakudeta tersebut, Israel memperluas pendudukannya atas zona penyangga di Golan dan menyatakan bahwa kesepakatan pemisahan pasukan tahun 1974 antara kedua negara telah runtuh.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular