Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) berencana membentuk pasukan internasional sekitar 10.000 tentara dari puluhan negara sebagai bagian dari International Stabilisation Force (ISF). Pasukan ini dimaksudkan untuk mengawasi Gaza dalam kerangka rencana perdamaian Presiden AS Donald Trump.
Washington dilaporkan telah mengirim permintaan resmi kepada sekitar 70 negara yang diharapkan dapat mengirim pasukan, tetapi sejauh ini respons yang diterima masih minim, kata pejabat kepada The Wall Street Journal pada Sabtu (13/12/2025).
Permintaan telah dikirim ke negara-negara seperti Malta, Italia, Prancis, dan El Salvador pada Senin lalu.
Pejabat AS menargetkan rekrutmen 10.000 tentara hingga akhir 2026, meskipun beberapa pihak menilai jumlah yang realistis mungkin tidak lebih dari 8.000 personel militer. Beberapa negara Timur Tengah dan sekutu AS, seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, telah bekerja sama dengan Washington untuk menjamin pendanaan pengiriman pasukan ke Gaza.
Dukungan logistik, tapi tentara masih enggan
Menurut seorang pejabat AS yang dikutip WSJ, 19 dari 70 negara telah menyatakan minat menyediakan dukungan logistik, transportasi, dan peralatan. Namun, sejumlah negara enggan mengirim pasukan karena khawatir akan diminta untuk melucuti senjata Hamas.
Isu pelucutan senjata memang menjadi persoalan sensitif. Hamas menolak permintaan untuk menyingkirkan persenjataannya, meskipun kelompok itu bersedia membekukan penggunaan senjata.
Pada Rabu lalu, tokoh senior Hamas Khaled Mashal mengatakan dalam wawancara dengan Al Jazeera bahwa “gagasan pelucutan senjata total tidak dapat diterima oleh perlawanan [Hamas].” Ia menambahkan bahwa diskusi yang berlangsung dengan mediator dapat menemukan kesepakatan dengan pendekatan pragmatis dari pemerintahan AS.
Israel dan AS terus menuntut Hamas menyerahkan persenjataannya. Pada Oktober lalu, Wakil Presiden AS JD Vance mengatakan pasukan internasional akan menjadi “kunci untuk melucuti Hamas.”
Negara-negara yang bersedia berpartisipasi dalam ISF menegaskan bahwa mereka hanya akan beroperasi di wilayah yang diduduki Israel di Gaza, di belakang garis demarkasi kuning yang membagi wilayah tersebut menjadi dua. Israel menyatakan telah menembak beberapa warga Palestina yang mencoba melewati garis tersebut, yang juga memicu kekhawatiran warga tentang kemungkinan perluasan garis menjadi perbatasan permanen. AS berharap pasukan internasional ini juga dapat beroperasi di wilayah yang dikendalikan Hamas.
Tugas ISF dan rencana perdamaian
ISF merupakan pasukan penjaga perdamaian yang diatur dalam rencana perdamaian AS untuk Gaza, bertugas membantu keamanan, melatih polisi Palestina, dan mengawasi pembangunan kembali Gaza yang hancur akibat konflik lebih dari dua tahun. ISF merupakan bagian penting dari fase kedua rencana perdamaian Trump.
Pada 17 November, Dewan Keamanan PBB mengesahkan Rencana Perdamaian Trump yang mencakup pembentukan badan internasional transisi untuk mendukung administrasi dan rekonstruksi Gaza, termasuk pengiriman ISF.
Pejabat AS mengatakan pasukan internasional bisa dikerahkan ke Gaza secepat bulan depan. Lebih dari 25 negara diperkirakan akan bertemu di Doha, Qatar, pekan depan untuk membahas komposisi pasukan dan berbagai topik terkait misi tersebut.
Indonesia menyatakan siap mengirim hingga 20.000 tentara untuk tugas kesehatan dan rekonstruksi di Gaza. Sumber media Israel, Haaretz, menyebut Italia juga berkomitmen mengirim pasukan sebagai bagian dari misi ISF.
Kondisi Gaza masih kritis
Gaza menerapkan gencatan senjata sejak 10 Oktober, tetapi Israel terus melakukan serangan terhadap wilayah tersebut. Setidaknya 385 warga Palestina tewas akibat serangan Israel sejak itu. Pada Minggu, Israel menarget beberapa wilayah di Rafah, Gaza City, dan Khan Younis, termasuk beberapa nelayan di perairan sekitar kota.
Gaza juga dilanda Badai Byron, yang menewaskan setidaknya 16 orang, termasuk tiga bayi. Bangunan yang sebelumnya rusak akibat serangan Israel runtuh karena hujan lebat dan angin kencang, menewaskan beberapa orang.
Ratusan ribu warga Palestina mengalami kerusakan sebagian atau total pada tenda pengungsian mereka, meningkatkan risiko kehilangan tempat tinggal. Suhu yang membeku dan kondisi hidup yang minim meningkatkan risiko munculnya penyakit, sementara otoritas Israel terus membatasi masuknya bantuan dan kebutuhan pokok.


