Para pakar politik dan urusan Palestina sepakat bahwa operasi “Thaufan Al-Aqsha” bukan sekadar peristiwa militer yang mengguncang Israel, tetapi juga titik balik besar dalam dinamika politik, ideologis, dan strategis kawasan Timur Tengah.
Operasi itu, menurut mereka, telah mengguncang fondasi doktrin politik dan militer di wilayah tersebut, sekaligus mengembalikan isu Palestina ke jantung perhatian regional dan global.
Namun, perubahan besar itu tak hanya membawa tantangan baru bagi rakyat Palestina di luar negeri, tetapi juga membuka peluang yang belum pernah ada sebelumnya.
Tujuannya, untuk memperkuat peran politik dan sosial mereka, di tengah kemunduran peran lembaga-lembaga resmi Palestina dan menguatnya solidaritas internasional.
Hal itu mengemuka dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Pusat Studi dan Konsultasi Al-Zaytouna pada Rabu (22/10/2025) melalui platform Zoom, bertajuk “Palestina di Luar Negeri dan Perubahan Strategis Regional dan Internasional dalam Bayang-bayang Thufan Al-Aqsha”.
Para pembicara menyoroti perubahan besar yang ditimbulkan oleh operasi tersebut terhadap realitas warga Palestina di pengasingan dan diaspora, serta implikasinya terhadap strategi politik global dan regional.
Para ahli menilai, tahap baru ini ditandai oleh perubahan keseimbangan kekuatan di kawasan dan pergeseran pendekatan Barat terhadap isu Palestina.
Mereka menegaskan bahwa situasi saat ini menuntut warga Palestina di luar negeri untuk meninjau ulang alat dan pendekatan tradisional yang mereka gunakan selama ini, serta beralih dari peran sekadar pendukung menuju peran pelaku dan penggerak utama.
Hal itu harus dilakukan dalam kerangka strategi nasional yang mempersatukan barisan dan mampu memengaruhi pusat-pusat pengambilan keputusan, baik di dunia Arab maupun internasional.
Para pakar juga memperingatkan bahaya keterpecahan warga Palestina di luar negeri akibat ketiadaan representasi tunggal.
Mereka mendorong agar energi kolektif, terutama dari kalangan muda, dimobilisasi untuk memanfaatkan momentum solidaritas global dan cadangan dukungan dari dunia Arab dan Islam.
Mereka menekankan pentingnya pembentukan narasi politik Palestina yang baru, yang mampu menyesuaikan diri dengan realitas pasca-agresi Israel di Gaza serta menempatkan isu genosida dan akuntabilitas sebagai prioritas di agenda internasional.
Perubahan sikap Amerika Serikat
Dalam paparannya, Ibrahim Fraihat, dosen Studi Konflik Internasional di Institut Doha, mengupas secara mendalam pola kebijakan Amerika Serikat (AS) terhadap isu Palestina.
Ia menjelaskan bahwa sejak 1993 hingga masa pemerintahan Donald Trump, setiap administrasi AS mempertahankan kerangka negosiasi yang berporos pada solusi 2 negara, asalkan tidak mengabaikan kepentingan Israel—meski ada perbedaan gaya antara Partai Demokrat dan Republik.
Namun, menurut Fraihat, masa pemerintahan Trump membalikkan model ini secara total.
“Pendekatan Amerika Serikat bergeser dari prinsip hak dan hukum internasional menuju logika keuntungan pribadi bagi presiden dan kepentingan jangka pendek AS, tanpa mengindahkan legitimasi atau referensi hukum internasional,” katanya.
Ia menambahkan bahwa paradigma baru itu masih tampak jelas dalam kebijakan AS terhadap Gaza dan rencana rekonstruksinya.
“Keterikatan pada hukum internasional menghilang sepenuhnya, sementara tekanan terhadap Palestina untuk menerima solusi apa pun yang bisa disebut ‘kesepakatan’ terus meningkat—selama hal itu memberi AS kemenangan diplomatik, tanpa peduli pada keadilan isinya,” ujar Fraihat.
Pandangan ini sejalan dengan analisis Sami Al-Arian, pakar hubungan internasional dan kebijakan luar negeri AS.
Ia menjelaskan bahwa Amerika Serikat masih memainkan peran dominan dalam menata ulang tatanan global setelah runtuhnya Uni Soviet.
Melalui “poros moderasi dan normalisasi” yang diposisikan berhadapan dengan “poros perlawanan”, Washington berusaha mengatur ulang peta politik kawasan.
Namun, menurut Al-Arian, dominasi Amerika kini mulai retak seiring munculnya peran baru dari Tiongkok, Rusia, dan Iran.
Hal itu mengubah kalkulasi para aktor regional dan mempersulit upaya AS untuk ‘merekayasa ulang’ Timur Tengah.
Ia menilai, kegagalan AS menyelesaikan konflik Palestina menciptakan celah penting bagi rakyat Palestina, terutama di diaspora, untuk memperluas peran mereka.
“Namun itu hanya akan berhasil jika arah perjuangan jelas. Palestina tidak akan bisa menuntaskan perjuangannya sendirian. Masalah ini harus dipahami sebagai tantangan global terhadap proyek kolonial Israel, yang membutuhkan gerakan lintas batas dan multi-level,” tegas Al-Arian.
Pergeseran strategi Israel
Sementara itu, Muhannad Mustafa, pakar urusan Israel, memaparkan bahwa pasca-Operasi Thufan Al-Aqsha, konsep kemenangan dan deterensi militer Israel mengalami pergeseran mendasar.
“Doktrin militer 2015 menekankan bahwa keunggulan Israel dicapai melalui pemenuhan tujuan politik. Namun, setelah peristiwa Thufan Al-Aqsha, arah itu terbalik: kekuatan militer kini menjadi penentu batas politik,” jelasnya.
Mustafa menilai bahwa “filosofi pencegahan Israel telah runtuh.” Israel kini berupaya “membuat lawan membayar harga mahal dan melucuti semua kemampuan mereka untuk mengancam”, alih-alih mencapai perdamaian melalui kekuatan.
Di sisi lain, ia menambahkan, Israel semakin terisolasi di kancah internasional.
“Negara itu kini hidup dalam isolasi struktural meski pemerintahnya berusaha menggambarkan bahwa tekanan global hanya ditujukan kepada kabinet, bukan terhadap negara secara keseluruhan,” katanya.
Menurut Mustafa, kembalinya Israel ke proyek ekspansionisme klasiknya disertai dengan semakin dalamnya isolasi diplomatik.
“Hal ini akan memperdalam konflik regional dan global, serta membuka ruang bagi peran baru Palestina di luar negeri untuk menata ulang strategi perlawanan,” ujarnya.
Krisis respons dunia Arab dan Islam
Dalam pembahasannya, Atef Al-Joulani, pakar politik dan strategi, menyoroti dampak Thufan Al-Aqsha terhadap dunia Arab dan Islam.
Ia menilai bahwa operasi tersebut telah “mengembalikan isu Palestina ke puncak agenda kawasan”, namun pada saat yang sama menelanjangi kelemahan respons resmi dan kebuntuan institusi-institusi Arab dan Islam.
Ia mengidentifikasi 6 faktor yang memicu kebangkitan solidaritas Arab-Islam. Yaitu kemarahan publik atas kelemahan pemerintah, kegagalan perjanjian normalisasi dalam melindungi keamanan regional, kekhawatiran akan perluasan konflik, ancaman terhadap keamanan nasional Mesir dan Yordania akibat proyek aneksasi dan rencana pendudukan kembali Gaza, serta provokasi dari wacana Israel mengenai redelineasi wilayah.
Al-Joulani menegaskan bahwa kondisi ini menghidupkan kembali peran gerakan Islam dan kelompok rakyat yang berakar pada perlawanan, sekaligus mendefinisikan ulang peta kekuatan politik di Timur Tengah.
Solidaritas internasional dan ruang gerak baru
Dari perspektif media dan Eropa, Husam Shaker, pakar urusan Eropa dan komunikasi, menilai genosida yang menimpa warga Palestina selama 2 tahun terakhir merupakan “genosida pertama yang disiarkan langsung ke seluruh dunia”.
Tragedi ini, katanya, membuka kedok kegagalan sistem hukum internasional dan ketidakmampuan masyarakat global menghentikan kejahatan.
Meski terjadi lonjakan solidaritas luar biasa—ditunjukkan oleh unjuk rasa besar dan mobilisasi media digital—Shaker menilai respons resmi dunia tetap tidak memadai.
“Solidaritas global memang luar biasa, tetapi belum diterjemahkan menjadi perlindungan nyata bagi rakyat Palestina,” katanya.
Ia menegaskan bahwa momentum ini harus dijadikan batu loncatan untuk membangun narrative power baru yang mengubah simpati menjadi kekuatan politik dan tekanan hukum yang konkret.
Warga Palestina di luar negeri: Dari dukungan ke kepemimpinan
Dalam sesi khusus mengenai diaspora Palestina, diskusi Al-Zaytouna menghadirkan tiga makalah tematik.
- Krisis representasi dan tantangan peran politik.
Hisham Abu Mahfouz, pejabat sementara Sekretaris Jenderal Kongres Populer Palestina di Luar Negeri, menyoroti persoalan “kekosongan representasi nasional” setelah menurunnya pengaruh Organisasi Pembebasan Palestina (PLO).
“PLO tidak lagi berfungsi sebagai payung nasional yang menyatukan semua komponen,” ujarnya.
Akibatnya, jutaan warga Palestina di luar negeri terpinggirkan dari proses pengambilan keputusan nasional.
Namun, Abu Mahfouz melihat energi rakyat di luar negeri luar biasa besar—tercermin dari demonstrasi, kampanye solidaritas, dan dukungan terhadap perlawanan di dunia Barat.
“Semua ini masih parsial jika tidak diubah menjadi kerja politik yang terorganisir, sebanding dengan pengorbanan di dalam negeri,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa peran diaspora kini harus bertransformasi dari sekadar advokasi menjadi kepemimpinan yang memengaruhi arah perjuangan.
- Peluang dan konteks internasional baru.
Majed Al-Zeer, Ketua Dewan Eropa-Palestina untuk Hubungan Politik, menambahkan perspektif global tentang kompleksitas lingkungan internasional.
Ia menilai bahwa warga Palestina kini berinteraksi dengan masyarakat yang beragam secara hukum, budaya, dan geografis—dari Eropa hingga Amerika Latin.
Menurutnya, Thaufan Al-Aqsha telah mengguncang opini publik di Barat.
“Isu Palestina kini bukan lagi isu Timur Tengah semata, tapi menjadi isu domestik di sejumlah negara Eropa,” ujarnya.
Aktivisme media sosial, influencer Palestina, dan jaringan solidaritas di dunia maya menciptakan peluang besar untuk membangun tekanan politik dan budaya yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Namun, Al-Zeer memperingatkan bahwa peluang ini bisa terhambat oleh “perpecahan internal, intervensi lobi-lobi anti-Palestina, dan lemahnya koordinasi kelembagaan.”
Ia menyerukan penguatan otoritas kolektif diaspora, membangun jaringan aliansi lintas identitas, dan memperluas kehadiran Palestina di institusi-institusi Eropa.
- Kepemimpinan, gerakan rakyat, dan representasi politik.
Ma’in Al-Tahir, Direktur Jenderal Arab Center for Studies and Research (Yordania), mengajukan peta jalan konkret untuk mengaktifkan peran diaspora.
Ia menegaskan bahwa perang di Gaza dan Tepi Barat belum berakhir dan “akan berlanjut bertahun-tahun ke depan.”
Karena itu, katanya, warga Palestina di luar negeri memikul tanggung jawab besar dalam menopang ketahanan rakyat di tanah air dan memperkuat persatuan nasional.
Langkah pertama, menurutnya, adalah mendukung keteguhan warga Palestina di tanah air dengan segala cara yang sah.
Kedua, menghidupkan kembali peran rakyat di dunia Arab dan Islam untuk menjembatani kesenjangan antara pemerintah dan masyarakat.
Ketiga, memanfaatkan gelombang solidaritas di Barat dengan membangun jaringan organisasi masyarakat sipil dan kelompok tekanan (lobby groups) yang terstruktur.
Ia bahkan mengusulkan pembentukan masyarakat Palestina global virtual—sebuah platform daring yang berfungsi sebagai basis data komunikasi, partisipasi pemilihan, dan pelayanan sosial—sekaligus sarana untuk merevitalisasi PLO di atas dasar pluralisme dan demokrasi.
Dari seluruh pembahasan tampak jelas bahwa warga Palestina di luar negeri kini menghadapi peluang besar yang datang bersama risiko luar biasa.
Namun, mereka juga memiliki potensi untuk mentransformasikan diri dari sekadar pendukung simbolis menjadi kekuatan strategis yang menentukan arah masa depan nasional Palestina.
Para pembicara sepakat: era pasca-Thaufan Al-Aqsha menuntut warga Palestina di luar negeri naik kelas
Dari peran pembela menjadi pemimpin, dari retorika menjadi strategi, dan dari diaspora menjadi pusat pengambilan keputusan.
Momentum sejarah ini, kata mereka, adalah kesempatan untuk membangun ruang politik Palestina yang baru.
Ruang yang menyatukan perjuangan di tanah air dengan peran diaspora global dalam menghadapi tantangan kolonialisme modern, sekaligus menyusun masa depan bersama dalam era perubahan besar dunia.


