Sunday, March 23, 2025
HomeAnalisis dan OpiniBagaimana masa depan bank pemerintah di Suriah?

Bagaimana masa depan bank pemerintah di Suriah?

Bank-bank pemerintah Suriah bersiap untuk menjalani restrukturisasi sebagai bagian dari upaya resmi untuk meningkatkan kinerja dan efisiensinya. Hal itu sejalan dengan perkembangan teknologi yang telah terjadi di sektor perbankan global.

Menurut laporan Reuters, Gubernur Bank Sentral Suriah, Maysa Sabrin, mengatakan bahwa bank sentral sedang dalam proses merestrukturisasi bank-bank milik negara serta memperluas layanan perbankan Islam.

Hal ini dilakukan dengan memberikan opsi kepada bank konvensional untuk membuka cabang perbankan Islam. Mengingat adanya segmen masyarakat Suriah yang menghindari layanan perbankan konvensional.

Sumber yang sama juga menyebutkan bahwa rancangan amandemen terhadap undang-undang bank sentral sedang disusun untuk memperkuat independensinya.

Termasuk memberikan lebih banyak kebebasan dalam pengambilan keputusan terkait kebijakan moneter.

Sementara itu, Turki telah menyatakan kesiapannya untuk membantu mendukung sistem keuangan baru yang akan dibangun Suriah.

Turki berencana membantu dalam membangun sistem perbankan terbuka dan digital, dengan memanfaatkan pengalamannya di bidang tersebut.

Direktur Kantor Keuangan Kepresidenan Turki, Göksal Aşan, mengatakan bahwa jika Suriah mengadopsi sistem keuangan yang mirip dengan sistem Turki dalam layanan perbankan terbuka dan digital. Maka, negara tersebut dapat mencapai kemajuan dalam waktu 3 hingga 5 tahun, dibandingkan dengan 20 tahun jika menggunakan cara konvensional.

Ia juga menjelaskan bahwa sistem layanan perbankan yang akan dibangun nantinya akan memiliki biaya yang rendah. Negaran juga membutuhkan sumber daya manusia yang lebih sedikit, seperti yang dikutip oleh kantor berita Anadolu.

Di sisi lain, Uni Perbankan Arab juga menyatakan kesiapannya untuk membantu dalam restrukturisasi sektor perbankan Suriah.

Proyek ini mencakup pengembangan infrastruktur sektor perbankan serta pelatihan dan peningkatan kompetensi tenaga kerja perbankan, dengan partisipasi Bank Sentral Jerman.

Uni Perbankan Arab menilai bahwa pemerintahan baru Suriah menghadapi warisan ekonomi yang berat. Terutama krisis perbankan yang telah memengaruhi seluruh bank Suriah sejak sanksi internasional diberlakukan terhadap pemerintahan sebelumnya pada tahun 2011.

Sanksi tersebut menyebabkan meningkatnya jumlah kredit macet serta merosotnya nilai mata uang lira Suriah.

Sekretaris Jenderal Uni Perbankan Arab, Wissam Fattouh, menekankan pentingnya strategi yang efektif untuk menangani utang bermasalah.

Salah satu caranya adalah dengan membentuk perusahaan khusus yang menangani aset-aset bermasalah, sebuah model yang telah diterapkan di negara-negara lain.

Seperti Amerika Serikat (AS) setelah krisis perbankan pada 1980-an, Malaysia pada 1989, serta Irlandia setelah krisis keuangan pada 2009.

Fattouh juga menyebutkan bahwa salah satu solusi potensial adalah mengalokasikan sebagian utang yang tidak dapat ditagih kepada perusahaan manajemen aset bermasalah.

Dengan langkah ini, bank-bank Suriah dapat mengurangi dampak dari krisis keuangan yang tengah berlangsung.

Selain itu, sektor perbankan Suriah perlu meningkatkan modalnya agar mampu menghadapi risiko yang semakin besar.

Ia juga mengusulkan agar bank-bank pemerintah secara bertahap diprivatisasi guna meningkatkan efisiensi dan membangun kembali kepercayaan publik.

Dari bank menjadi layanan pemerintah

Suriah merupakan salah satu negara yang lebih dahulu mengalami perkembangan hubungan perbankan dan keuangan sejak awal abad ke-20.

Hubungan perbankan di Suriah dimulai dengan berdirinya Bank Kekaisaran Ottoman pada tahun 1856, yang mendapatkan hak eksklusif untuk menerbitkan uang hingga tahun 1925. Kemudian sebagian besar hingga 1935 selama periode mandat Prancis.

Dalam sebuah studi berjudul “Sektor Perbankan di Suriah: Sejarah dan Dimensinya”, pengusaha dan konsultan Suriah, Fares Mansour, menjelaskan bahwa bank Ottoman kemudian berkembang menjadi Bank Suriah.

Setelah itu, ia menjadi Bank Suriah dan Lebanon Besar, yang mendominasi likuiditas keuangan dan perbankan di negara itu selama 100 tahun (1856-1956).

Mansour mencatat bahwa puncak aktivitas perbankan di Suriah terjadi pada tahun 1957. Ketika jumlah bank Eropa yang beroperasi di negara itu mencapai tujuh, ditambah sembilan bank Arab dan lima bank Suriah.

Namun, keberhasilan sektor perbankan ini mulai menurun selama periode penyatuan Mesir-Suriah (1958-1961), ketika terjadi perubahan besar dalam jenis bank dan sistem keuangan.

Perubahan ini berakhir dengan nasionalisasi bank-bank tersebut dan menempatkannya di bawah kendali pemerintah.

Ketika Partai Baath berkuasa pada tahun 1963, mereka kembali melakukan nasionalisasi terhadap semua bank yang beroperasi di negara tersebut melalui keputusan legislatif.

Bank-bank tersebut kemudian dikelompokkan kembali, di mana bank komersial dilebur menjadi Bank Perdagangan Suriah. Sementara bank lainnya dikelola sesuai dengan spesialisasi mereka, seperti bank industri, pertanian, tabungan, dan kredit.

Menurut Fares Mansour, pemerintah saat itu membenarkan langkah tersebut. Alasannya, perlunya kontrol penuh atas sektor ekonomi, serta kebijakan pengeluaran langsung untuk mendanai rencana dan program pengembangannya.

Dengan demikian, sektor swasta dan kompetisi dalam perbankan dianggap tidak lagi diperlukan.

Akibat kebijakan ini, porsi kredit perbankan yang diberikan kepada sektor swasta menurun menjadi hanya 16% pada tahun 1962.

Selain itu, Bank Sentral Suriah kehilangan perannya sebagai pengawas dan regulator, dan seperti bank serta perusahaan lainnya, berubah menjadi lembaga layanan publik pemerintah.

Penurunan bank pemerintah

Selama masa kekuasaan keluarga Assad dari tahun 1970 hingga 2024, sektor perbankan publik di Suriah mengalami gangguan struktural meskipun telah diterapkan beberapa pembaruan pada sistemnya.

Namun, secara keseluruhan, sektor tersebut tetap berperan sebagai penyedia layanan pemerintah.

Sementara itu, bank-bank swasta yang mulai beroperasi sejak tahun 2004 mampu menjalankan peran yang lebih independen dan fleksibel dibandingkan dengan rekanan pemerintahnya.

Sehingga pada tahap selanjutnya menjadi kontributor utama bagi produk domestik bruto setelah aset-aset mereka mengalami pertumbuhan secara umum.

Sektor perbankan publik di Suriah terdiri dari enam bank milik negara. Yang tertua adalah Bank Pertanian Koperasi yang didirikan pada tahun 1888.

Setelah itu dilanjutkan dengan 3 bank modern yang bergerak di bidang perdagangan, industri, properti, serta dua bank yang menyediakan layanan kredit dan pinjaman pribadi.

Selain itu, terdapat 11 bank swasta dan 4 bank syariah yang didirikan dalam rentang waktu antara tahun 2004 hingga 2023. Setelah rezim yang digulingkan mengubah sistem perbankan swasta sehingga memenuhi standar syariah.

Serta diberikannya izin kepada bank-bank asing pada Desember 2002 berdasarkan undang-undang yang memungkinkan pendirian bank swasta dan bank bersama.

Kelemahan diversifikasi produk perbankan

Sebuah studi yang dilakukan oleh Bank Investasi Eropa pada tahun 2006 menggambarkan bahwa sektor perbankan Suriah relatif lemah dalam memenuhi kebutuhan jasa keuangan yang diperlukan oleh sektor swasta.

Baik dari segi ukuran maupun variasi produk perbankan, kesesuaian layanan yang diberikan dengan kebutuhan tersebut, kualitas layanan, maupun keandalannya.

Laporan tersebut—yang disusun melalui partisipasi pemerintah dan pihak swasta—mengemukakan beberapa kesimpulan, antara lain:

  • Terdapat kelemahan mendasar yang bersifat sistematik pada tingkat organisasi dan institusional.
  • Manajemen umum yang lemah disertai intervensi pemerintah yang tinggi.
  • Kualitas kompetensi pegawai bank yang tidak memenuhi standar perbankan internasional.
  • Kelemahan dalam sistem informasi dan teknologi informasi.
  • Keterbatasan hubungan antara pemberian kredit dan likuiditas.
  • Kelemahan dalam manajemen risiko.
  • Kekurangan penerapan standar akuntansi internasional.

Selain itu, laporan tersebut memberikan rekomendasi kepada pemerintah Suriah pada waktu itu, antara lain:

  • Melakukan restrukturisasi sektor perbankan publik melalui potensi penggabungan antara bank-bank yang ada.
  • Mendirikan perusahaan pengelola aset untuk mengambil alih dan mengelola pinjaman bermasalah dalam bank.
  • Mendirikan Bank Pembangunan Suriah untuk mendukung perusahaan kecil dan menengah.
  • Merevisi kebijakan suku bunga yang diterapkan oleh Dewan Moneter dan Pinjaman.
  • Mengizinkan penerbitan sertifikat deposito yang dapat dinegosiasikan.
  • Menerapkan sistem manajemen risiko yang efektif.
  • Mendirikan sistem nasional asuransi deposito.

Kebutuhan restrukturisasi
Akademisi Suriah, Dr. Ibrahim Qushji, berpendapat bahwa perkembangan ekonomi dan teknologi global, serta tugas rekonstruksi akibat kehancuran yang ditinggalkan oleh rezim sebelumnya, menuntut reformasi dan pengembangan sistem perbankan yang ada.

Hal ini bertujuan untuk membangun jaringan perbankan yang terintegrasi sehingga sektor perbankan dapat memainkan perannya dalam menghidupkan kembali perekonomian Suriah.

Dalam wawancaranya dengan Al Jazeera Net, Qushji menekankan pentingnya penggabungan bank-bank milik negara menjadi dua bank besar, yang kemudian dikonversi sepenuhnya menjadi sektor swasta atau perusahaan bersama.

Langkah ini mencakup evaluasi kembali aset tetap. Menjual kelebihan aset untuk memperkuat posisi keuangan. Serta, menyusun anggaran pembukaan yang dapat ditawarkan kepada publik dalam bentuk saham.

Qushji mengusulkan bahwa bank pertama akan berfokus pada investasi properti dengan sistem syariah. Tujuannya, guna mendukung pembangunan kembali kota-kota yang hancur akibat perang.

Sementara itu, bank kedua akan berorientasi pada investasi perdagangan dengan sistem syariah, mendukung perdagangan domestik dan internasional, serta membantu pemerintah dalam proyek rekonstruksi dan pengembangan ekonomi.

Menurutnya, skema penggabungan ini akan membawa masuk sebuah lembaga keuangan swasta yang sepenuhnya dimiliki oleh warga Suriah. Di samping bank-bank Arab dan internasional yang sudah ada.

Dalam hal pengembangan kinerja bank sentral, Qushji menyarankan agar tugas ini diambil alih oleh Komisi Pemerintah untuk Perbankan, yang akan menetapkan standar kinerja, kecukupan modal, dan likuiditas bagi semua bank—baik publik maupun swasta—berdasarkan undang-undang moneter yang baru.

Seharusnya, Komisi Pemerintah ini dapat kembali menjalankan fungsinya setelah sebelumnya kewenangannya terbagi ke 4 Lembaga.

Lembaga tersebut yaitu Kementerian Ekonomi, Kementerian Keuangan, Badan Pengawasan Keuangan Pusat, dan Otoritas Pengawasan serta Inspeksi Pusat.

Kurangnya interaksi bank pemerintah dengan teknologi

Perkembangan pesat dalam teknologi informasi, internet, dan jaringan komunikasi telah menarik perhatian dunia. Membawa transformasi besar dalam layanan sektor perbankan global selama dua dekade terakhir.

Laporan dari Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) yang diterbitkan sebelumnya menyoroti bahwa peningkatan penggunaan ponsel dan aplikasi digital telah mendorong bank-bank di seluruh dunia untuk meningkatkan dan mengembangkan layanan mereka secara signifikan.

Dalam konteks ini, pakar teknologi informasi Rashid Al-Bunni menegaskan bahwa pemanfaatan teknologi digital tidak hanya bertujuan untuk menarik pelanggan baru.

Tetapi juga untuk meningkatkan daya saing di sektor perbankan dengan menghadirkan layanan inovatif dan menjamin kualitasnya.

Al-Bunni, dalam wawancaranya dengan Al Jazeera Net, menjelaskan bahwa layanan digital justru menjadi beban bagi bank-bank pemerintah Suriah. Karena sebelum perang mereka tidak mampu mengikuti perkembangan teknologi dengan cepat.

Keterbatasan ini disebabkan oleh kurangnya keahlian dan tenaga kerja yang kompeten dalam bidang teknologi.

Selain permasalahan struktural dan organisasi yang dihadapi oleh bank-bank pemerintah, menurut Al-Bunni, mereka juga tidak memiliki sistem transaksi elektronik yang dapat mengidentifikasi kebutuhan pelanggan dan memenuhi permintaan mereka tanpa harus mengunjungi bank secara langsung.

Teknologi perbankan telah membuka pintu luas bagi layanan pelanggan dan mampu mengubah konsep perbankan tradisional.

Namun, bank-bank publik di Suriah masih tertinggal jauh dalam penerapan teknologi. Bahkan belum dapat menyediakan layanan seperti mobile banking, transfer dana elektronik, atau setoran tunai melalui mesin ATM—layanan yang saat ini telah digunakan secara luas di negara-negara tetangga.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular