Pengesahan Dewan Keamanan PBB terhadap rancangan resolusi Amerika Serikat (AS) mengenai penghentian perang Israel di Jalur Gaza memicu gelombang reaksi di berbagai platform media sosial.
Percakapan warganet terbelah tajam antara mereka yang melihat keputusan itu sebagai peluang untuk menghentikan pertumpahan darah, dan mereka yang menilainya sebagai pintu masuk bagi pengawasan AS atas Gaza.
Dalam sidang terbuka, 13 anggota Dewan Keamanan memberi suara setuju, sementara Rusia dan Tiongkok memilih abstain.
Resolusi bernomor 2803 itu menyambut baik rencana 20 butir Presiden AS Donald Trump untuk mengakhiri perang Gaza—sebagaimana dipublikasikan PBB—dan menyerukan pelaksanaannya secara penuh serta menjaga keberlanjutan gencatan senjata.
Di ruang-ruang digital, sejumlah aktivis menilai resolusi tersebut memberi legitimasi politik kepada sebuah rencana yang mereka sebut berwatak “kolonial”.
Sebuah langkah yang—menurut mereka—menghidupkan kembali tujuan perang dengan membungkusnya melalui skema perwalian internasional atas Gaza.
Mereka juga melihat bahwa resolusi itu mengabaikan hak rakyat Palestina untuk menentukan nasib sendiri dan meraih keadilan.
Sebagian warganet memperingatkan bahwa isu bantuan kemanusiaan dapat berubah menjadi alat tekanan politik.
Mereka mengkritik mandat yang diberikan kepada kekuatan internasional, karena tugas yang melampaui ranah keamanan dinilai mengikis netralitas dan justru menguatkan posisi Israel di lapangan.
Beberapa blogger menyebut rencana itu disusun berdasarkan logika “pemenang dan pecundang”, tanpa melibatkan rakyat Palestina dalam perumusannya.
Dari sudut pandang ini, pilihan yang tersedia bagi Palestina tampak sempit.
Yaitu menerima, yang berarti menyetujui perwalian berkepanjangan, atau menolak, yang menurut utusan AS di Dewan Keamanan dapat membuka jalan bagi kembali meletusnya perang.
Di sisi lain, ada pula yang menilai bahwa meski sarat kekurangan politis maupun yuridis, resolusi itu mungkin menjadi “pilihan terbaik dari opsi buruk” jika berhasil menghentikan pembunuhan massal dan melindungi warga sipil Gaza.
Bagi kelompok ini, menyelamatkan nyawa berada di atas kepentingan politik jangka panjang.
Sejumlah pengguna media sosial juga menyoroti proses pemungutan suara: resolusi hanya bisa gagal apabila sedikitnya lima anggota menolak atau abstain, sesuatu yang akhirnya tidak terjadi.
Mereka mengingatkan bahwa pelaksanaan resolusi berpotensi membutuhkan pembentukan kekuatan internasional.
Salah satu mandat utamanya—yaitu perlucutan senjata kelompok perlawanan—berpotensi dijalankan lewat paksaan jika tidak dicapai kesepakatan.
Mereka memperkirakan bahwa isu rekonstruksi Gaza dapat dipakai untuk menekan kelompok perlawanan sebagai alternatif dari penggunaan kekuatan militer.
Ada pula warganet yang membandingkan keputusan ini dengan surat mandat era kolonial di awal abad ke-20, yang menempatkan Palestina di bawah kekuasaan asing.
Mereka melihat resolusi ini sebagai bentuk baru dari pola lama: Gaza ditempatkan di bawah mekanisme perwalian, meski dengan kemasan diplomasi modern.
Namun sebagian lainnya mengajak untuk tidak hanya terjebak pada sisi gelap resolusi.
Mereka mendorong pemanfaatannya untuk membuka jalur politik yang belum tersentuh, asalkan ada kehendak nasional yang kuat untuk mengubah situasi.
Beberapa komentator menutup diskusi dengan nada skeptis: keputusan PBB, menurut mereka, kerap memakan waktu panjang hingga implementasi, sementara dinamika lapangan berubah sangat cepat.
Ada kekhawatiran bahwa saat resolusi mulai berjalan, kondisi politik dan militer sudah bergeser, menjadikan keputusan itu usang.
Mereka menegaskan bahwa solusi internasional tidak akan memadai bila tidak disertai pemahaman mendalam atas akar konflik dan kompleksitasnya.


