Menteri Keamanan Nasional Israel, Itamar Ben Gvir, kembali melontarkan ancaman untuk keluar dari pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.
Ancaman itu disampaikannya menyusul wacana penghentian serangan militer di Jalur Gaza dan semakin menguatnya desakan publik untuk menyelesaikan isu penyanderaan.
Ben Gvir menegaskan penolakannya terhadap pengiriman bantuan kemanusiaan ke Gaza, menyebutnya sebagai “kesalahan dan tindakan bodoh”.
Ia juga bersikeras bahwa serangan militer harus terus dilanjutkan.
“Kita harus terus menggencarkan operasi militer dan meraih kemenangan. Menghentikan perang saat ini adalah kesalahan historis,” ujarnya.
Terkait isu pertukaran tahanan, Ben Gvir menilai bahwa peluang memulangkan semua sandera Israel saat ini makin jauh dari kenyataan.
“Sikap saya sangat jelas. Tidak ada kesepakatan saat ini yang mampu mengembalikan semua sandera. Kita harus mengakui kenyataan itu,” ujarnya.
Dalam wawancara yang dikutip oleh Radio Tentara Israel, Ben Gvir menyatakan bahwa meskipun ia menghargai keteguhan Netanyahu selama satu setengah tahun terakhir, tetap ada kesalahan yang dibuat.
“Tidak semua hal berjalan sempurna. Jika pemerintah melewati garis merah saya—dan Netanyahu tahu betul apa itu—maka saya akan keluar dari koalisi,” kata Ben Gvir.
Pernyataan keras Ben Gvir ini muncul sehari setelah aksi unjuk rasa di Tel Aviv, Rabu malam (28/5).
Warga Israel menuntut pembebasan para sandera yang masih ditahan di Gaza. Aksi itu bertepatan dengan peringatan 600 hari sejak mereka disandera.
Sementara itu, laporan media Israel menyebutkan bahwa utusan khusus Amerika Serikat (AS) untuk Timur Tengah, Steven Wietkoff, telah menyampaikan kepada keluarga para sandera bahwa ada peluang besar tercapainya kemajuan dalam negosiasi dalam beberapa hari ke depan.
Sikap keras Ben Gvir terhadap Gaza juga diamini oleh Menteri Keuangan Bezalel Smotrich yang menyatakan bahwa Israel tidak akan menarik diri dari Jalur Gaza setelah menguasainya sepenuhnya, bahkan jika itu menjadi syarat pembebasan para sandera.
Di sisi lain, kritik tajam terus diarahkan kepada Netanyahu. Para oposisi dan keluarga sandera menuding sang perdana menteri sengaja mengulur-ulur penyelesaian kesepakatan demi kepentingan politik pribadi dan tekanan dari kelompok sayap kanan dalam koalisinya.
Sejak 7 Oktober 2023, Israel terus menggempur Jalur Gaza dalam perang yang oleh berbagai pihak disebut sebagai genosida.
Hingga kini, lebih dari 177.000 warga Palestina menjadi korban, baik meninggal maupun terluka—sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak. Lebih dari 11.000 lainnya masih dinyatakan hilang.